sumber: https://mediaaceh.co/2019/08/17/rapai-geleng-massal-abdya-pecahkan-rekor-dunia/
MASYARAKAT DAN KESENIAN
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Pengantar
Pada masa akhir ini, manusia di seluruh dunia dihadapkan dengan berbagai peristiwa dan masalah, baik dalam skala regional maupun global. Tantangan itu berdensitas adat, terlebih-lebih setelah selesainya era perang dingin antara blok sosialis-komunis dengan liberalis. Tantangan itu berupa ideologis, ekonomi, politik budaya dan lainnya. Globalisasi adalah sebuah istilah yang populer dan banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat di Nusantara sampai sekarang ini. Istilah ini maknanya adalah merujuk kepada adanya pengaruh dari luar Indonesia yang bersifat global terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Walaupun pengaruh dari masyarakat lain selalu ada dan tidak pernah behenti sejak dulu, namun sekaranglah masanya istilah globalisasi menemukan bentuknya yang istimewa dan khas, karena besarnya dampak yang ditimbulkan. Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat manusia di dunia ini. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, masyarakat Nusantara telah menalami proses saling mempengaruhi dan dipengaruhi.
Secara prinsipil kalau kita memiliki identitas budaya yang kuat, pengaruh dunia luar adalah seauatu yang wajar dan tidak perlu ditakutkan. Pengaruh ini tentu saja mempunyai dua sisi, yaitu positif dan negatif. Misalnya adalah bagaimana kita dapat mengelola berbaai pengaruh untuk ke arah polarisasi yangbaik, yang dipandu oleh wahyu dan akl sekali gus. Pengaruh yang dihasilkan oleh globalisasi meliputi segala aspek kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah kebudayaan masyarakat Nusantara.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nlai-nilai dan budaya tertentu ke seluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture telah terlihat sejak lama. Embrio dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini.
Perjalanan mereka diikuti oleh perjalanan besar-besaran bangsa Eropa Barat ke Asia, Afrika, Amerika, dan Australia. Mereka tidak saja sebagi turis dan pengembara, tetapi orang-orang yang mencari daerah-daerah baru yang akan memberikan sumber-sumber kekayaan yang baru pula. Perjalanan tersebut diakhiri dengan menjajah (menduduki) wilayah tersebut. Dengan demikian berarti terjadi kontek budaya yang amat kompleks, yang membawa dampak besar. Tidak saja bagi bangsa-bangsa yang didatangi, tetapi juga bangsa pendatang.
Namun demikian, sebelum penjajahan bangsa-bangsa Eropa Barat tersebut, telah terjadi proses persebaran budaya dalam skala kecil. Budaya India dan China tersebur di Asia, sedangkan budaya Mesir dan Romawi memperluas pengaruhnya di wilayah-wilayah sekitar Laut Tengah. Persebaran budaya tersebut dapat dikatakan berskala kecil karena pengaruh India, China, Mesir, ataupun Romawi hanyalah mencakup bagian-bagian tertentu saja dari dunia, sehingga tidak dapat disebut sebagai globalisasi.
Interasi bangsa-bangsa Barat dengan bangsa-bansga Asia, Afrika, Amerika, dan Australia menunjukkan dominasi budaya Barat. Bangsa-bangsa yang merupakan penduduk asli keempat benua tersebut telah berusaha untuk menyerap nilai-nilai budaya Barat dengan cara bersikap dan bertingkah laku seperti orang Barat. Hal ini membawa konsekuensi bahwa mereka meninggalkan sebagian, kalupun tidak sebahagian besar, budaya asli mereka. Akibatnya adalah bangsa-bangsa di dunia semakin mirip satu sama lainnya. Proses seperti ini sebenarnya kalau kita melihat teori biologi adalah hubungan antara dominan dan resesif, yaitu yan resesif akan ditelan yang dominan. Proses seperti ini sama dengan hukum rimba, kembali ke zaman-zaman manusia tanpa peradaban. Yang diinginkan adalah globalisasi yang berjalan dengan saling pengertian akan anekaragam tetapi dalm bingkai kemitraan, bukan bingkai saling menguasai.
Globalisasi secara intensif terjadi di awal bad kedua puluh dengan berkebangnya teknologi komunikasi. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik, karena kontak melalui medai telah dimungkinkan. Karena kontak ini tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massif, yang melibatkan sejumlah besar orang. Berjuta-juta warga masyarakat terlibat dalam proses komunikasi global tersebut pada satu ketika dan dalam waktu yang bersamaan, yang berarti berjuta-juta pula menerima informasi, dan terkena dampak komunikasi tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal, sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi modern, melalui radio, mesin cetak, televisi, satelit televisi, dan kemudian internet.
Kemajuan teknologi komunikasi telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hipang dan tak berguna. John aisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt lebih lanjut mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnik, ang hanya dimilik oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia internasional. Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, dapat diletakkan pada masalah-masalah kesenian di Nanggroe Aceh Darussalam.
Nanggroe Aceh Darussalam
Sejarah terbentuknya Provinsi Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam) dapat djelaskan bahwa pada akhir tahun 1949 dengan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerinah No. 8/Des/Wk.PM/1949 tanggal 17 Desember 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Utara dan dibentuk menjadi provinsi tersendiri (Provinsi Aceh yang pertama). Wilayahnya meliputi Keresidenan Aceh dahulu ditambah dengan sebahagian Kabupaten Langkat yang terletak di luar daeah negara bagianSumatera Timur waktu itu.
Provinsi Acehini merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia yang pada waktu itu merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai gubernur Aceh diangkat Teungku Muhammad Daud Beureuh, yang sebelumnya adalah Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dengan terbentuknya Provinsi Aceh ini, maka disusunlah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum yang bertingkat dan demokratis, sesuai dengan Peraturan Daerah No. 3 tahun 1946. Segala sesuatu yang berkenaan dengan keadaan susunan pemerintahan dan perwakilan provinsi dan kabupaten-kabupaten disesuaikan menurut Undang-undang No. 22 tahun 1948. Kemudian dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan pernyataan bersama tangal 20 Juli 1950, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1950 yang menetapkan bahwa daerah Republik Indonesia serikat sudah membentuk negara kesatuan yang terbagi atas 10 provinsi administratif, di antaranya terdapat Provinsi Sumatera Utara yangeliputi daerah-daerah Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli dahulu. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 dikeluarkan oleh Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia, dibentuklah Provinsi Sumatera Utara yang otonom yang mulaiberlaku pada tanggal 15 Agustus 1950. Jadi sejak saat itu Aceh menjadi suatu Keresidenan Administratif yang dikepalai oleh seorang Residen.
Disebabkan oelhe peleburan Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara bertentangan dengan keinginan rakyat Aceh dan sesuai dengan perubahan kebijakan pemerintah pusat, melalui Undang-undang No. 24 tahun 1956, dibentuklah Provinsi Otonom Aceh yang kedua, yang kewilayahannya meliputi daeah bekas Keresidenan Aceh dahulu, terlepas dari Provnsi Sumatera Utara. Provinsi Aceh ini pembentukannya didasarkan pada ndang-undang No. 22 tahun 1948, dan dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 disesuaikan menjadi Daerah Swantara Tingkat I aceh. Berhubungan dengan pembentukan Provinsi Aceh yang baru, maka tanggal 27 Januari 1957, bertempat di Pendopo Residen Aceh dilantiklah Gubernur Provinsi Aceh, yaitu Ali Hasymi. Bersamaan itu pula dilakukan serah terima pemerintahan dari Gubernur Sumatera Utara, Sutan Kumala Pontas kepada Ali hasymi. Sealnjutnya sesuai dengan tuntutan rakyat Aceh dalam rangka keamanan, pada pertangahn tahun 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/missi/1959 tertanggal 26 Mei 1959 ditetapkan bahwa Daerah Swantara Tingkat I Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, yang bermakna diakui hak otonomi seluas-luasnya, terutama di bidang keagamaan, adat, danpendidikan. Kemudian melalui Perpres No. 6 Tahun 1960 dan Undang-undang No. 18 tahun 1965 sifat keistimewaan Aceh ditambah lagi yaitu diberi kedudukan hukum yang lebih kuat. Sampai akhirnya terjadi reformasi sosiopolitik di Indonesia tahun 1998, yang berdampak kepada situasi di Aceh. Akhirnya pemerintah Republik Indonesia menjadikan Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kalipertama pula syariat Islam diterapkan di daerahini, sebagai salah satu contoh di Indonesia. Bagaimanapun kesadaran tentang syariat ini begitu tinggi dalam budaya Aceh, yang dipercayai sebagai sebuah solusi krisis sosiobudaya.
Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi yang mendapat status otonomi istimewa. Daerah ini terletak di bagian paling utara Pulau Sumatera. Di daerah ini pada abad kesebelas terdapat dua kerajaan Islam tertua di Nusantara iaitu Samudera Pasai dan Perlak. Daripada daerah ini berlangsung penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Pada saat Sultan Ali Mughayatsyah memerintah Aceh, tahun 1514-1530, Kerajaan Aceh mencakup wilayah: Pasee, Perlak Aru, Pidie, dan Lamno (Pemerintah Daerah Istimewa Aceh 1972:5).
Kerajaan Aceh memiliki tentara yang kuat, maka tak heran daerah Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara sampai Melaka pernah menjadi daerah taklukannya pada abad keenam belas. Diperkirakan sebagian orang Aceh sudah migrasi ke Sumatera Timur sejak adanya kontak antara kedua daerah ini, baik melalui penaklukan, perdagangan, dan penyebaran agama Islam. Ulama dari Sumatera Utara yang terkenal menjadi bagian dari ulama Kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri yang berasal dari Pantai Barus Sumatera Utara.
Masyarakat Aceh
Secara umum, masyarakat Aceh terdiri atas kelompok-kelompok etnik (suku bangsa), yaitu: (1) Aceh Rayeuk, (2) Gayo, (3) Alas, (4) Tamiang, (5) Kluet, (6) Aneuk Jamee, dan (7) Semeulue. Keenam kelompok etnik ini masing-masing mendiami daerah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya. Daerah kebudayaan mereka ini adalah: (1) Aceh rayeuk memiliki wilaah budaya di Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, (2) etnik Alas berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara dan sekitarnya, (3) etnik Gayo mendiami Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya, (4) etnik Kluet mendiami Kabupaten Aceh Selatan dan sekitarnya, (5) etnik Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh Barat dan sekitarnya, (6) etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan Kepulauan Semeulue dan sekitarnya, serta (7) etnik Tamiang mendiami Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya. Etnik Tamiang secara budaya mempergunakan beberapa unsur kebudayaan etnik Melayu Sumatera Utara, dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu (wawancara dengan Prof. Dr. Tan Sri Kra Ali Hasymi, 1995).
Ditinjau daripada sudut geografisnya, etnik Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, dan Semeulue tinggal di daerah pesisir pantai, sedangkan suku Gayo dan Alas mendiami daerah pedalaman Aceh. Letak geografis ini mempengaruhi juga tingkat interaksi dengan berbagai budaya. Mereka yang tinggal di pesisir pantai cenderung lebih banyak menerima unsur-unsur budaya lainnya, dibanding mereka yang tinggal di daerah pedalaman Aceh. Masing-masing etnik ini mempunyai ciri khas budayanya.
Asal-usul orang Aceh menurut Dada Meuraxa yang termasuk rumpun bangsa Melayu, terdiri dari suku-suku Mante, Lanun, Sakai, Jakun, Senoi, Semang, dan lainnya, yang berasal daripada Tanah Semenanjung Malaysia. Ditinjau secara etologis mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang pernah hidup di Babilonia yang disebut Phunisia, dan daerah antara sungai Indus dan Gangga yang disebut Dravida (Dada Meuraxa 1974:12).
Hubungan antara Aceh dengan Dunia Melayu juga terjalin dengan akrab. Sultan pertama Negeri Deli, iaitu Gocah Pahlawan, adalah kepercayaan Sultan Aceh, untuk memerintah Deli. Menurut sumber-sumber Deli Gocah Pahlawan berasal dariIndia (Pelzer 1978:3).
Penguasaan wilayah jalur pantai yang terletak antara Kuala belawan dan Kuala Percut sebagai jalur yang potensial bagi sumber ekonomi Deli oleh Gocah Pahlawan, menyebabkan posisi Deli semakin menonjol. Selain itu, kekuasaan Gocah Pahlawan selaku wakil resmi Aceh didukung oleh kekuatan (tentara) Aceh (Ratna 1990:49).[1]
Kesenian
Musik
Alat-alat musik tradisional Aceh, berdasarkan sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel adalah sebagai berikut. Kelompok kordofon adalah arbab yaitu sebuah spike fiddle, lute berleher panjang, yang memaminkannya digesek. Terbuat dari tempurung kelapa, kulit kambing, kayu, dan senar dari ijuk. Fungsi utamanya adalah membawakan melodi. Alat musik lainnya dari Aceh adalah biola Aceh, yang umum dijumpai di daerah Pidie. Alat musik ini berasal dari Eropa. Istilah Aceh dalam musik ini, lebih menitikberatkan pada gaya musikal yang dihasilkannya. Alat musik ini tergolong dalam klasifikasi bowed short neck lute, lute berleher pendek yang memainkannya digesek. Dalam ensambelnya biasanya disertai sebuah gendang rapai.
Kelompok aerofon adalah bangsi Alas, yaitu jenis alat musik aerofon rekorder, yang terbuat dari bahan bambu, dengan panjang sekitar 40 cm. Berasal dari daerah pegunungan Alas. Lagu-lagu yang biasa disajikan pada bangsi ini adalah: Lagu Canang Ngaro, Canang Ngarak, Canang Patam-patam, Canang Jingjingtor, dan Lagu Tangis Dillo. Alat musik lainnya dalam keluarga aerofon adalah bebelen. Alat musik ini termasuk ke dalam klasifikasi aerofon reed tunggal, lima lobang nada, dan ujungnya memiliki bell. Alat musik Aceh lainnya adalah bensi. Alat musik ini tebuat dari bambu, termasuk kelas rekorder, dengan enam lobang nada. Kemudian alat musik aerofon tradisional Aceh lainnya disebut dengan bereguh. Alat musik ini terbuat dari tanduk kerbau, yang dijumpai di daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan lainnya. Termasuk ke dalam aereofon trumpet. Fungsi utamanya adalah untuk komunikasi antar warga masyarakat di hutan. Alat musik lainnya adalah buloh meurindu, yaitu alat musik aerofon lidah tunggal, yang terbuat dari bambu. Alat musik lainnya adalah lole yaitu aerofon lidah ganda yang terbuat dari batang padi. Alat musik lainnya adalah Seurune Kalee, sebuah serunai (shawm) yang sangat terkenal di daerah Aceh.
Kelompok alat-alat musik idiofon, adalah canang kayu, yaitu termasuk ke dalam klasifikasi alat musik xilofon dari Aceh. Bentuk lainnya adalah canang trieng yaitu canang yang terbuat dari bambu. Kemudian alat musik lainnya celempong, yaitu alat musik xilofon yang terbuat dari tujuh bilahan kayu tampu dan kayu senguyung. Lagu-lagu yang biasa disajikan oleh alat musik ini adalah Cico Mandi, Kuda Lodeng, Buka Pintu, Nyengok Bubu, dan Cik Siti. Celempong juga digunakan mengiringi tari Inai. Alat musik lainnya adalah doal, yaitu sebuah gong kecil terbuat dari kuningan, berasal dari Aceh Singkil. Alat musik berikutnya adalah genggong termasuk dalam klasifikasi jew’s harp. Kemudian alat musik lainnya adalah kekepak, yaitu alat musik jenis slit gong (seperti kentongan). Alat musik berikutnya adalah ketuk, yaitu alat musik idiofon yang terbuat dari dua ruas bambu, satu ruas untuk resonator, dan satu ruas yang dibagi dalam dua kerat untuk dipukul. Alat musik jenis gong disebut dengan memong, yang biasanya digunakan untuk berkomunikasi, misalnya dipukul malam hari, esok masyarakat bergotong royong. Alat musik berikutnya adalah canang, yaitu 5 gong kecil yang setiap instrumen ini dimainkan dengan cara dipegang dan dipukul dengan pemukul, terutama oleh pihak perempuan. Kecapi yaitu termasuk ke dalam alat musik idiokord yang terbuat dari bambu. Kecapi Oloh adalah alat musik tuber zither yang terbuat dari bambu.
Kelompok alat musik mebranofon di antaranya adalah yang disebut dengan gegedem, yaitu alat musik gendang satu sisi dari daerah Gayo. Alat musik lainnya adalah gendang Singkil, gendang barel dua sisi. Alat musik berikutnya adalah geundrang, yaitu termasuk dalam klasifikasi alat musik gendang barel dua sisi dipukul dengan satu stuk. Alatmusik lainnya adalah gendrang kaoy, alat musik gendang barel dua sisi. . Repana adalah alat musik perkusi yang berasal dari Aceh Tengah, biasanya digunakan untuk mengiringi Tari Guwel. Alat musik lainnya adalah tambo, gendang silindris satu sisi, selalu dijumpai di meunasah sebagai alat komunikasi.
Lagu-lagu Aceh yang terkenal adalah: Bungong Jeumpa, Bungong Keumang, Bungong Seulanga (ciptaan A. Manua dan Anzib), Bungong Sie Yung-Yung, Cut Nyak Dhien karya T. Djohan dan Anzieb, Dibabah Pinto, lagu populer tradisional, Doda Idi (lagu yang lazim disenandungkan oleh ibu-ibu agar anaknya tidur), Jak Kutimang (ciptaan Anzib), Lagu Mars Iskandar Muda, Meusaree-saree, Resam Berume (Kebiasaan Bersawah), dan lain-lain.
Dalail adalah genre musik vokal Aceh yang isi teksnya adalah ajaran-ajaran Islam. Dendang Sayang adalah genre kesenian tradisional Aceh di daerah Tamiang, Aceh Timur, yang berbentuk ensambel, yang terdiri dari alat-alat musik: biola, gendang, dan gong. Dipergunakan dalam berbagai aktivitas rakyat Aceh seperti upacara perkawinan, sunat Rasul, dan lainnya.
Rebani adalah salah satu genre musik vokal diiringi gendang rebana berbentuk bingkai (frame), yang tumbuh di Aceh Timur. Syaer adalah genre musik vokal yang temanya adalah ajaran-ajaran Islam, terdapat di kawasan Aceh Tengah.
Tari
Masyarakat Aceh memiliki warisan budaya yang sangat menarik, yang pada umumnya berakar dari nilai-nilai ajaran Islam. Ini semua bisa dilihat dari berbagai aktivitas masyarakat dalam bidang seni budaya. Misalnya pada tari-tarian, upacara-upacar adat, tata krama pergaulan sosial, hasil kerajinan. Kesemuanya kental dengan nuansa ajaran Islam. Aceh mengalami perkembangan kebudayaan sejak zaman dahulu kala. Ini terbukti di Aceh terdapat berbagai macam kebudayaan daerah, seperti di Pasai, Pidie, Gayo, Alas, Lahop, Tamiang, Singkil, Tapaktuan, Meulaboh, Simeuleu, dan lainnya.
Masyarakat Aceh sejak dahulu hidup di bidang pertanian, perkebunan, minyak dan gas, dan lainnya. Daerah Aceh Utara memiliki keseniannya sendiri dan begitu berkembang, seperti seni tari, drama, sastra, ukiran, pahat, dan lainnya. Tari-tarian daerah Aceh biasanya diiringi dengan vokal, dilakukan pada malam hari, setelah musim panen di sawah selesai. Di antara kesenian-kesenian Aceh itu adalah: seudati atau shaman, rapai Pasai, rapai dabus, rapai lahee, rapai grimpheng, rapai pulot, alue tunjang, poh kipah, biola Aceh, meurukon, dan sandiwara Aceh. Pada masa kini berkembang tari kreasi baru, yang berbasis dari tari-tarian tradisional. Di antara contoh tari kreasi baru adalah Tari Ranup Lampuan, Rampoe Aceh, Pemulia Jame, Tarek Pukat, Limong Sikarang, Ramphak Dua, dan lainnya.
Tari Sudati. Seudati berasal dari kata yahadatin, yang mengandung makna pernyataan atau penyerahan diri memasuki agama Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Tari Seudati dipertunjukkan oleh 8 orang laki-laki dan 2 orang aneuk syeh (syahie) yang bertugas mengiringi tarian dengan syair dan lagu. Seluruh gerakan Tari Seudati berada di bawah pimpinan seorang syeh sudati. Musik dalam Tari Seudati hanya berbetuk bunyi yang ditimbulkan oleh hentakan kaki dan kritipan tangan penari serta tepukan dada, yang diselingi dengan irama syair lagu dari aneuk syeh. Di dalam Tari Seudati jelas tergambar semangat perjuangan, kepahlawanan, sikap kebersamaan, dan persatuan. Gerakannya lincah dan dinamis. Pada saat ini Tari Sudati selain berfungsi sebagai hiburan rakyat juga merupakan simbol kekayaan seni budaya Aceh, sekali gus sebagai penyampai pesan=pesan komunikasi pembangunan. Tarian ini juga sering dipertandingkan sampai semalam suntuk, yang juga dikenali sebagai Tari Seudati Tunang.
Tari Poh Kipah. Tari ini merupakan seni tradisional Aceh yang menunjukkan gerakan-gerakan memukul kipas dengan ritme yang unik dan mengagumkan. Kipas yang digunakan dalam tarian ini dijalin khusus. Terbuat dari pelepah pinang yang terdiri dari tiga sampai empat lapis, yang menimbulkan bunyi nyaring saat dihentakkan penarinya. Disertai dengan berbagai ritme tepukan tangan. Tari Poh Kipah ini mengandung pesan-pesan keagamaan dan pembangunan. Lazim disajikan pada saat memperingati kelahiran Rasulullah Muhammad pada Maulid Nabi, dan hari besar Islam lainnya.
Biola Aceh. Kesenian biola ini telah cukup lama berkembang di Aceh Utara, terutama setelah berkembangnya Tari Seudati. Kesenian biola Aceh ini menjadi salah satu seni hiburan rakyat yang sangat diminati. Kesenian ini dipertunjukkan oleh tiga orang pria—masing-masing satu orang bertindak sebagai pemain bila yang disebut syeh, yang juga merangkap sebagai penyanyi. Dua orang lagi bertindak sebagai penari dan pelawak. Keduanya bertindak sebagai linto baro, yaitu sebagai suami dan isterinya, yang melakukan gerak tari dan banyolan. Ciri khas genre kesenian ini adalah biola dan tarian, dialog, dan berbalas pantun dengan tema ungkapan-ungkapan yang lucu, menggelikan, dan penuh rasa humor, serta warna-warni pakaian, sehingga membuat pertunjukan kesenian ini mengasyikkan penontonnya.
Rapai Pasai. Genre kesenian ini adalah sebuah pertunjukan yang mengutamakan nyanyian syair yang temanya adalah keagamaan Islam dan memiliki fungsi ritual. Komposisinya rapai kecil di depan dan rapai ukuran besar digantung di belakang pemain. Rapai-rapai kecil sebagai pendukung. Seluruh pemainnya berbaris membentuk garis lengkung dengan pakaian yang khas tradisi Aceh. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang khalifah dengan penyajian syair yang sinkron dengan irama gendangnya.
Rapai Daboih. Dalam penyajian Rapai Daboih ini titik utamanya adalah pada kemahiran spiritual dalam menggunakan senjata tajam yang ditusuk-tusukkan ke tubuh pemain tetapi atas ijin Tuhan mereka kebal. Rapai Daboih ini selalu dipertandingkan (urouh). Setiap kelompok biasanya terdiri dari satu kuru minimal 12 rapai dan pemainnya dan maksimal 6 kuru (60 pemain rapai). Pihak-pihak yang bertanding membentuk lingkaran dan di antara kedua pihak dibuat tanda batas. Di tengah-tengah pemain ada seorang khalifah yang mengangkat tangan tinggi-tinggi, dan kemudian terdengarlah teriakan melengking yang diikuti suara pukulan gendang rapai, yang dilanjutkan dengan zikee (salam selamat datang). Pada saat-saat pukulan rapai dimulai cepat, tampilan para pemain debus dengan kemahiran dan keberanian yang cukup tinggo dalam menggunakan senjata tajam dan membakar diri dengan api yang membuat setiap penonton menahan nafas. Apabila ada pemain debus yang mengalami cedera atau luka dalam atraksi tersebut, karena kesalahan dalam memukul rapai, atau pihak lain yang ingin mencoba ilmunya, khalifah akan segera turun tangan, dengan hanya menyapu bagian yang terluka dengan tangannya. Biasanya darah akan segera berhenti mengalir, luka itu pun akan lenyap seketika. Pertunjukan bercanda dengan maut ini biasanya berlangsung sampai menjelang subuh jika dilakukan pada malam hari.
Rapai Lagge. Kesenian tradisional Aceh ini berasal dari daerah Kandang, Kecamatan Muara Dua, dan Paya Bakong, Kecamatan Mantangkuli yang biasanya ditampilkan pada upacara-upacara adat, upacara resmi pemerintahan, serta hari-hari besar agama Islam. Fungsinya adalah hiburan rakyat yang bersifat sosial. Pertunjukan rapai ini dipimpin oleh syeh. Para pemain terdiri dari 12 orang pemain rapai, denganpakaian khas yang berwarna menyala. Syair yang dibawakan menyerupai syair Seudati yang bertujuan untuk membangkitkan semangat patriotisme, persatuan, gotong-royong, serta diiringi pantun jenaka dan terkadang pantun romantis, namun tetap tak dilupakan dasarnya agama Islam.
Bungong Seulanga adalah lagu daerah Aceh yang bersifat kreasi baru. Lagu ini populer di tengah masyarakat Aceh, dan diajarkan di sekolah-sekolah. Lagu ini ciptaan A. Manua dan Anzib. Bungong Seulanga yang artinya bunga kenanga, dalam budaya Aceh digemari oleh para ibu dan gadis. Ada pula lagu yang bertajuk Bungong Sie Yungyung, yang kemudian dijadikan tajuk lagu dan tarian. Lagu ini diciptakan oleh A. Manua tahun 1960-an. Demikian sekilas masyarakat dan seni di Nanggroe Aceh Darussalam.
Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian
Ardy, Mursalan. 1975. Peranan Adat-Agama Mewarnai Tari Tradisional Banda Aceh. Banda Aceh: (t.p.).
Barth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan. (Penerjemah Nining E. Soesilo). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, UI-Press.
Barth, Fredrik, 1964. “Ethnic Processes on the Pathan-Baluch Boundary, “ dalam G. Redard (ed.), Indo Iranica. Wiesbaden.
Daudy, Abd Rahim, 1987. “Sejarah Tanah dan Suku Gayo,” Renggali. Jakarta.
Djohan, Teuku, 1972. Lagu-lagu Daeah Aceh. Banda Aceh: PGSLP.
Hayat, Abdul dkk. 1987. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Husein, Muhammad, 1970. Adat Atjeh. Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh.
Meuraxa, Dada, 1978. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Hasmar.
Melalatoa, M.J., 1971. Kebudayaan Gajo. Djakarta: Koordinator Asisten Kabupaten Atjeh Tengah.
Naisbit, John, 1988. Global Paradox. London.
Ratna, 1990. Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XIX. Tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Talsya, T. Alibansyah, 1977. Aceh yang Kaya Budaya. Anda Aceh: Pustaka Meutia.
Zainuddin, H.M. 1965. Bungong Rampoe. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
[1]Dalam konteks kesenian Melayu di Sumatera Utara, masyarakat Aceh juga banyak yang terlibat menjadi seniman-seniman Melayu di kawasan ini. Mereka ada pula yang menjadi guru tari dan muzik. Atau bahkan sebagai ketua kelompok kesenian Melayu di kawasan Sumatera Utara. Misalnya saja Manchu, Hj. Jose Rizal Firdaus dan lain-lainnya. Selain itu kesenian Melayu ini didukung pula oleh etnik Melayu Minangkabau yang ada di Sumatera Utara.