KESENIAN DALAM KONTEKS BUDAYA MASYARAKAT MINANGKABAU
Pengantar
Dalam konteks negara bangsa Indonesia, banyak tokoh nasional yang berasal dari kawasan ini. Di antaranya adalah Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Haji Abdul malik Karim Amarullah (HAMKA), dan lain-lainnya. Mereka begitu menonjol dalam pergerakan nasional Indonesia. Begitu juga selain mereka ini sebagai tokoh nasional, umumnya mereka juga tokoh-tokoh Islam yang menonjol. Di era-era selepas Orde Lama juga muncul beberapa tokoh dari Minangkabau ini, misalnya Haji Tarmizi Taher, Azwar Anas, Amin Rais walaupun besar di Jawa tetapi adalah keturunan Minangkabau, Faisal Basri, dan lainnya.
Selain dari tokoh-tokoh pergerakan nasional, secara kultural etnik Minangkabau juga memiliki kemampuan manajerial di bidang ekonomi. Mereka banyak berkecimpung di bidang ini. Bahkan secara budaya, etnik Minangkabau memiliki potensi kuat untuk bekerja sebagai pedagang atau peniaga.
Orang-orang Minangkabau atau lazim disebut urang awak ini, memiliki budaya merantau, bahkan secara budaya mereka memiliki tiga kawasan budaya yaitu darek (darat) dan pasisie (pesisir) yang memang sebagai kawasan asal kebudayaan mereka. Kawasan ini disebut juga Ranah Minang. Di sisi lain mereka juga memandang wilayah baru sebagai daerah perantauannya yang disebut tanah rantau, yang meliputi kawasan-kawasan Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Ini membuktikan bahwa konsep tentang wilayah budaya Minangkabau mengalami perluasan dan pengembangan, bahkan melintasi geografi negara. Di samping itu orang-orang Minangkabau ini sering pula menganggap dan dipandang sebagai orang Melayu pula, dengan sebutan yang lazim yaitu suku Melayu Minangkabau. Namun dalm tulisan ini, orang Minangkabau ini akan dikaji secara tersendiri tidak diintegrasikan ke dalam kebudayaan Melayu secara umum.
Hal yang menarik lainnya, bahwa sebahagian besar masyarakat di dunia ini, menarik garis keturunannya adalah dari pihak ayah (patrialineal) , atau dari pihak ayah dan ibu sekali gus (parental). Bagi masyarakat Minangkabau mereka menarik garis keturunan dari pihak ibu atau emak (matrilineal). Ini menjadi identitas yang unik untuk dikaji dan dibahas. Mari kita lihat struktur masyarakat dan kesenian Minangkabau.
7.2.1 Wilayah Budaya
Menurut Adam, daerah suku bangsa Minangkabau ditandai dengan masyarakatnya yang menganut adat-stiadat Minangkabau, yang umumnya bermukim di Pulau Sumatera bagian tengah, meliputi Provinsi Sumatera Barat (tidak termasuk Mentawai), sebagian hulu sungai Rokan, Kampar, dan Kuantan di Provinsi Riau, batang Tebo, dan Muara Bungo di Provinsi Jambi serta hulu Sungai Merangin dan Muko-muko di Provinsi Bengkulu (Boestanoel Arifin Adam 1970).
Penghulu mengatakan bahwa daerah Minangkabau terdiri dari: (1) darek, (2) pasisie, dan (3) rantau. Secara tradisonal, masyarakat Minangkabau mempunyai dua wilayah pemerintahan adat. Pembagian ini disesuaikan dengan kondisi masa Kerajaan Pagaruyung masih berdiri, yaitu: luhak dan rantau. Daerah darek dikenal sebagai luhak nan tigo yang terdiri dari: (1) Luhak Tanah Data, (2) Luhak Agam, dan (3) Luhak Limo Puluah Koto. Ada keterkaitan erat antara luhak dan rantau (Penghulu 1978:12).
Berdasarkan mitologi yang terdapat dalam tambo Minangkabau, pada mulanya luhak hidup secara berkelompok pada daerah-daerah kecil yang bersifat kesatuan teritorial, bernama nagari. Nagari-nagari inilah yang merupakan daerah asal penduduk rantau. Setiap nagari sekurang-kurangnya ditempati oleh empat suku (klen) yang terdiri dari: Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang.
Orang-orang Minangkabau mempunyai mitos yang menceritakan bahwa mereka berasal daripada puncak Gunung Merapi, seperti yang dikemukakan Junus:
Umumnya orang Minangkabau mencoba menghubungkan keturunan mereka dengan suatu tempat, yaitu Periangan Padang Panjang. Mereka beranggapan bahwa nenek moyang mereka berpindah dari tempat itu dan kemudian menyebar ke daerah penyeberangan yang ada sekarang. Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan dongeng tentang nenek moyang orang Minangkabau yang berasal dari gunung Merapi ketika gunung itu masih kecil (Umar Junus 1971:241).
Adat istiadat Minangkabau, sebagaimana pula Melayu, terdiri dari empat klasifikasi: (1) adat nan sabana adat, (2) adat nan diadatkan, (3) adat nan taradat, dan (4) adat istiadat. Konsep adat mereka, sebagai landasan tertinggi adalah syariat Islam, seperti konsep: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato, adat mamakai (Penghulu 1978:105).
7.2.2 Agama
Agama Islam masuk ke Minangkabau diperkirakan secara historis terjadi pada abad ke-13, dan kemudian terjadi sinkretisasi dengan kepercayaan yang sedang berjalan saat itu, yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme. Kedua kepercayaan itu di Minangkabau masih terlihat di mana-mana, seperti dalam seni pertunjukan bakaba, randai, basijobang, talempong unggan, tari piriang, dan lain-lainnya. Juga akan kita lihat sebelum acara pertunjukan dimulai, seperangkat musik talempong diasapi dengan kemenyan dengan tujuan supaya dalam pertunjukan tidak mengalami gangguan.
Masuknya agama Islam di Minangkabau diperkirakan dibawa oleh para pedagang dari Arab dan juga sebahaginnya masuk dari wilayah Aceh. Pada mulanya hubungan antara penduduk setempat dengan para pedagang Arab ini merupakan hubungan biasa. Akan tetapi kemudian hubungan itu berkembang berdasar sistem religi yang bersifat Islami. Penyiaran dan perkembangan agama Islam melalui pedagang, dapat dipahami dari penggunaan kata lebai untuk sebutan bagi seorang guru agama Islam. Kata tersebut berasal dari bahasa Tamil illepa yang artinya adalah saudagar. Sumber lain memberikan petunjuk bahwa mula-mula agama Islam tersebut diajarkan oleh para saudagar yang berdagang lada di pesisir Barat Minangkabau (Syarifuddin 1984:134-135).
Dari kawasan pesisir timur Minangkabau berkembang pula ajaran agama Islam dan meluas sampai ke darek (luhak nan tigo) pada abad ke-14. Ajaran ini dibawa oleh Syekh Lebai Panjang Janggut yang berasal dari Siak Sri Indrapura bersama para muridnya. Oleh karena penyebar dari pesisir barat dan timur, maka kemudian muncullah pepatah adat yang menyatakan bahwa syarak mandaki, adat manurun. Artinya agama Islam mula-mula berkembang di pasisie dan kemudian meluas ke darek. Oleh karena darek mempunyai tempat yang lebih tinggi dari pesisir, maka digambarkan dengan kata syarak mandaki, sedangkan adat berasal dari darek, kemudian berkembang ke pesisir, oleh karenanya diibaratkan dengan kata adat manurun. Secara kuantitatif Islam berkembang secara merata di seluruh pelosok Minangkabau. Akan tetapi secara kualitatif adama Islam belum dijalankan secara penuh oleh para pengikutnya. Keadaan ini dikemukakan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut.
Kalau ada orang Minangkabau yang tidak menganut agama Islam, maka hal itu adalah suatu keganjilan yang mengherankan, walaupun kebanyakan dari orang Minangkabau mungkin menganut agama itu secara nominal saja, tanpa melakukan ibadahnya. Mereka boleh dikatakan tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan lain kecuali apa yang diajarkan Islam, mereka hanya percaya kepada Tuhan sebagaimana yang diajarkan Islam. Dalam keadaan yang luar biasa banyak juga yang percaya kepada hantu-hantu yang mendatangkan bencana dan penyakit kepada manusia (Koentjaraningrat 1982:254).
Dengan masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadi sinkretisasi antara kepercayaan lama dengan agama Islam. Sesuai dengan falsafah adat Minangkabau alam takambang jadi guru, maka etnik Minangkabau selalu selektif terhadap kebudayaan yang datang. Selanjutnya sesuai dengan perkembangan zaman, di Minangkabau muncul erakan pemurnian (puritanisasi) agama Islam selepas beberapa alim-ulama meniba ilmu di Arab Saudi, terutama yang beraliran Wahabiah. Gerakan ini adalah ingin menghapuskan bid’ah, khurafat, dan takhayul yang berkembang di dalam masyarakat Minangkabau. Mereka yang melakukan puritanisasi agama Islam ini disebut kaum Paderi. Akhirnya terjadilah pertarungan dengan kaum adat, yang akhirnya diterimalah agama Islam dalam konteks adat, yaitu adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Pada masa sekarang ini masyarakat muslim Minangkabai mayoritas bermazhab Sunni, dengan organisasi keagamaannya Muhammadiyah, serta banyak yang ikut dalam partai politik yang berbasis Muhammadiyah atau kaum modernis, seperti Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera.
7.2.3 Struktur Sosial
Ciri khas budaya Minangkabau adalah sistem sosial kemasyarakatan yang berdasar pada garis keturunan ibu (matrilineal). Inilah yang biasanya dianggap sebagai salah satu unsur yang memberi identitas kepada kebudayaan Minangkabau terutama yang dipopulerkan oleh roman-roman Balai Pustaka, pada periode pertama abad kedua puluh.
Kelompok masyarakat terkecil di Minangkabau menurut sistem garis keturunan ibu adalah kaum (sesuku). Setiap suku dipimpin oleh seorang kepala kaum yang disebut datuak (penghulu). Kaum merupakan kumpulan dari beberapa paruik (perut), dan paruik merupakan gabungan dari keluarga dalam sistem matrilineal. Sebuah paruik (setali darah) terdiri dari nenek, ibu, dan saudara-saudaranya (laki-laki dan perempuan), dan anak-anak dari saudara ibu yang perempuan. Sebuah paruik dipimpin oleh seorang tungganai. Salah seorang tungganai dipilih secara musyawarah untuk dituakan dan diangkat menjadi pemangku adat yaitu sebagai datuak (penghulu). Saudara laki-laki ibu disebut dengan tungganai dalam paruik yang bersangkutan, dan semua saudara laki-laki dari ibu disebut mamak oleh anak-anak dalam paruik, dan disebut kemenakan oleh saudara laki-laki ibu. Penghulu dalam sistem pemerintahan nagari berperan untuk “mengisi adat.” Dalam hal ini seorang penghulu hanya berkuasa untuk menjaga dan memelihara hubungan keluarga dalam satu organisasi kemasyarakatan.
Selain itu, di dalam sistem matrilineal yang garis keturunannya ditarik berdasarkan pada ibu, ibu memiliki “kekuasaan” khusus dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau. Ibu yang disebut bunda kanduang memiliki keistimewaan yang dikategorikan ke dalam lima pokok, yaitu: (1) keturunan ditarik dari garis ibu; (2) umah tempat kediaman; (3) sumber ekonomi diutamakan untuk perempuan; (4) yang menyimpan hasil ekonomi adalah perempuan; dan (5) wanita mempunyai hak suara dalam musyawarah (Penghulu 1988:77-81). Kelima kategori tersebut menunjukkan bahwa di Minangkabau telah ada emansipasi wanita, dan wanita ditempatkan pada kedudukan yang sewajarnya, sehingga wanitalah yang berkuasa dalam rumah tangga. Dalam hal ini tungganai, mamak-mamak, dan sumando (suami dari isteri) tidak boleh ikut campur dalam rumah ustri dan anak-anaknya. Kadang-kadang bila anak kandungnya sendiri akan dikawinkan oleh mamak tungganai, penghulu, dan sumando atau ayah dari si anak hanya diberi tahu saja dan tidak berhak membantah. Dengan demikian, tanggung jawab suami terhadap istri dan anak menurut pokok adat Minangkabau tidak begitu besar. Hal ini dikarenakan oleh interaksi dengan dunia luar belum ada sehingga kemungkinan untuk mengubah struktur sosial yang sudah ada sedikit sekali.
Selain itu, dalam sistem matrilineal Minangkabau ayah dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga istri dan anaknya, yang tujuan utamanya untuk memberikan keturunan terhadap keluarga istri. Dia disebut sumando atau urang sumando, karena didatangkan atau berasal dari keluarga suku lain. Tampaknya yang syah adalah dalam garis keturunan atau keluarga persukuan ibunya. Dalam keluarga tersebut ia berfungsi sebagai anggota laki-laki yang berpern sebagai mamak dari anak saudara-saudara perempuannya. Secara tradisional, tanggung jawabnya berada dalam keluarga itu. Ia menjadi wali serta pelindung harat benda milik persukuan tersebut. Akan tetapi ia harus menahan diri untuk tidak menikmati hasil sawah ladang persukuannya, karena yang berhak untuk semua itu adalah saudara perempuannya. Selain tidak berhak memperoleh hasil harta persukuan, ia juga tidak diberi atau mendapat tempat tinggal di rumah ibunya, sebab semua bilik atau kamar hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga perempuan untuk menerima suami mereka di malam hari (Mochtar Naim 1984:24).
Meskipun ada tempat atau kamar di rumah ibunya yang memungkinkan untuk ditempati, namun itu “tabu” untuk dilakukan. Masyarakat lain akan memandangnya sebagai orang yang tidak mempunyai rasa malu, karena serumah dengan sumando atau suami adik atau kakak perempuannya. Apabila untuk membawa istri dan anaknya bertempat tinggal di sana, sama sekali tidak mungkin dilakukan, sebab hal yang demikian juga aib atau tabu bagi keluarga istri. Keluarga istri akan merasa malu dan hina jika saudara atau kemenakannya bertempat tinggal di rumah persukuan lain, walau rumah tersebut milik keluarga persukuan suaminya.
Dampak negatif dari sistem matrilineal di atas antara lain, suami di rumah isteri dan keluarga isterinya seperti orang yang dimanjakan. Apabila suami merasa kurang mendapatkan pelayanan dari istri dan keluarga istrinya, sering dengan mudah suami meninggalkan atau menceraikan istrinya. Lebih-lebih lagi pada waktu itu undang-undang perkawinan dan perceraian dari pemerintah yang ada di luar Minangkabau seperti sekarang belum ada. Untuk menghindari perceraian semacam itu, maka banyak di antara istri yang kemudian berusaha memberikan layanan kepada suaminya secara berlebihan, agar suami tidak meninggalkannya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila seorang istri di Minangkabau memberi belanja atau uang belanja untuk suami yang sesungguhnya dipandang tidak pantas oleh masyarakat di luar Minangkabau, maupun oleh masyarakat Minangkabau sendiri.
Perubahan peranan ayah terhadap istri bisa terjadi karena berbagai faktor, di antaranya keinginan merantau dari orang Minangkabau dan masuknya Islam ke Minangkabau. Hal ini membawa perubahan-perubahan pada cara berpikir ayah dalam hal tanggung jawab hidup berkeluarga dengan istri dan anaknya. Dalam perantaunyya ia melihat struktur sosial yang berbeda antara masyarakat kampung yang ditinggalkannya dengan masyarakat daerah rantau yang ditemuinya. Dia melihat betapa akrabnya hubungan suam istri beserta anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri dan anak-anak ke daerah rantau akan terasa seperti hidup bebas merdeka dalam rumah sendiri. Apabila dalam perantauan sang ayah mendapatkan rezeki, ia akan membuatkan rumah untuk istri dan anaknya di kampung halaman. Rumah yang didirikan itu, walaupun masih di tanah kaum, naum menjadi hak tinggalnya bersama istri dan anaknya. Meskipun demikian secara kultural mereka masih terikat dalam satu keturunan dari rumah gadang itu. Dengan demikian jelas bahwa dalam struktur sosial Minangkabau, peranan kaum laki-laki juga sangat besar dalam keluarga ibunya sebagai pimpinan suku atau kaum, setidak-tidaknya sebagai tungganai rumah gadang (pimpinan keluarga rumah gadang).
Berdasarkan budaya merantau, orang Minangkabau banyak yang merantau ke Tanah Deli (Sumatera Utara). Orang Minangkabau sering melakukan merantau, iaitu bermigrasi ke rantau. Istilah rantau dapat diartikan sebagai dataran rendah atau daerah aliran sungai (Mochtar Naim 1984:2), sebagai tempat orang Minangkabau mencari nafkah dengan meningalkan kampng halaman yang terletak di dataran tinggi. Akan tetapi, kini istilah rantau tidak hanya terbatas kepada daerah rendah atau daerah aliran sungai, melainkan juga sudah berkonotasi dengan daerah luar kampung halaman mereka. Kebiasaan merantau ini sangat besar pengaruh dan peranannya daripada segi sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau.
Unsur-unsur pokok yang dikandung kata merantau adalah meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, dalam jangka waktu yang lama atau tidak lama, untuk mencari tingkat ekonomi yang lebih baik, menuntut ilmu, atau memperluas pengalaman. Pada saatnya mereka pulang. Merantau adalah bagian dari budaya Minangkabau. Orang yang merantau bukan meninggalkan susunan sosial, tetapi untuk memperkuatnya. Bermukim di rantau hanya salah satu cara untuk mencari tujuan. Para migran di rantau diharapkan menemukan identitas sendiri, dalam menghadapi berbagai kebudayaan dan susunan sosial lain. Para perantau daripada Minangkabau biasanya lebih menyadari akan pentingnya kerukunan, senasib, dan sepenanggungan, dibanding mereka yang berada di kampung halaman (Mochtar Naim 1984:3).
Migrasi orang Minangkabau ke Sumatera Timur, baru mulai pada akhir abad kesembilan belas, ketika perkebunan-perkebunan besar asing mulai dibuka (Mochtar Naim 1984:97). Kebanyakan mereka bukan bekerja sebagai buruh perkebunan, melainkan menjajakan barang dagangannya dari perkebunan yang satu ke perkebunan yang lain, atau menetap di kota-kota di Sumatera Timur untuk berdagang. Sesudah Revolusi Kemerdekaan berakhir, arus migrasi orang Minangkabau bertambah dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Terutama sewaktu berlangsungnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) terjadi arus migrasi yang paling besar (Mochtar Naim 1984:97).
Jika kita lihat jenis pekerjaan perantau Minangkabau, yang dominan adalah pedagang eceran sampai grosir, usaha penjahitan, rumah makan Minangkabau/Melayu, menjajakan sate Padang, industri kerajinan pakaian jadi; yang bersaing dengan orang Tionghoa atau menggantikan posisi orang Tionghoa yang sudah naik tingkat ekonominya. Selain pekerjaan-pekerjaan itu, usaha percetakan, usaha penerbitan, tokoh buku, toko alat tulis, dan bidang kewartawanan ditangani oleh orang Minangkabau dalam persentasi yang lebih tinggi, terutama sebelum perang kemerdekaan. Pejabat tinggi, guru-guru sekolah, dan dosen, serta mahasiswa di Sumatera Utara banyak dari Sumatera Barat. Oleh karena perkembangan pendidikan di Sumatera Barat mendahului daerah Sumatera Timur di bawah pemerintahan Hindia-Belanda, maka para migran Sumatera Barat diterima di instansi-instansi pemerintah atau usaha-usaha swasta sebagai pegawai, guru, juru tulis, ahli mesin, dan sebagainya.
Dalam pergerakan Nasional, orang Minangkabau memainkan peranan penting di rantau. Hal ini dikeranakan mereka tinggi kesadarannya atas agama Islam dan giat menggabungkan diri ke dalam organisasi sosial dan partai politik yang progresif, terutama di Muhammadiyah dan Masyumi.
Para perantau Minangkabau di Sumatera Timur berkelompok pula menurut tempat asalnya seperti sekampung, seluhak seperti wilayah Pariaman, Maninjau, Batu Sangkar, Pasaman, dan lain-lain demi menanggulangi masalah yang bersangkutan dengan kerukunan dan adat mereka.
Orang-orang Minangkabau dan Melayu sejak awalnya juga sadar tentang persamaan-persamaan budaya mereka. Daerah Negeri Sembilan di Semenanjung Malaysia termasuk ke dalam daerah rantau Minangkabau. Mantan Yang Dipertuan Agong Malaysia, Tengku Za'farsyah, adalah keturunan Minangkabau. Tidak jarang pula orang Minangkabau menyebutkan dirinya sebagai Melayu Minangkabau. Diperkirakan orang-orang Melayu Deli, Serdang, dan Langkat berasal dari pembauran etnik Minangkabau serta Johor (Ratna 1990:45).
Bukti lain adanya hubungan antara Minangkabau dengan Melayu Sumatera Utara ini dapat dilihat daripada dialek yang dipergunakan oleh masyarakat Melayu di Asahan Sumatera Utara mirip dengan bahasa Minangkabau. Selain itu nama-nama tempat di Asahan ada yang sama dengan nama-nama tempat di Minangkabau, seperti Lima Laras, Pesisir, dan Kota Lima Puluh.
Dalam konteks seni ronggeng ada beberapa etnik Minangkabau yang ikut serta menjadi seniman atau pengelolanya. Miss Ribut adalah salah seorang ronggeng terkenal keturunan Minangkabau dan Mandailing. Para seniman dan intelektual tari tradisi dan garapan baru Melayu Sumatera Timur banyak juga yang berasal daripada etnik Minangkabau, seperti Dra. Delinar Adlin, Syainul Irwan, S.H., Yusnizar Heniwaty, SST., Arifni Netriroza, SST., dan lainnya. Bahkan seorang pengusaha Minangkabau di Medan, yang mengelola hotel Garuda Plaza di Jalan Si Singamangaraja, memasukkan musik ronggeng sebagai salah satu acara hiburannya. Lagu daripada Minangkabau yang populer bagi masyarakat Sumatera Utara, yang dipergunakan pada seni ronggeng Melayu adalah lagu Haji Lahore dan Babendi-bendi.
7.3 Seni Pertunjukan
Segala bentuk kesenian di Minangkabau, khususnya yang berbentuk seni pertunjukan seperti musik, tari, dan teater dikategorikan ke dalam istilah pamainan anak nagari (permainan rakyat). Permainan rakyat itu bersifat demokratis, artinya milik bersama (Navis 1986:124). Apapaun bentuknya permainan rakyat itu sifatnya terbuka dan dipertunjukkan sebagai hiburan masyarakat Minangkabau dan yang lebih luas dari itu. Secara umum permainan anak negeri, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (a) bunyi-bunyian dan (b) pamainan (permainan). Konsep bunyi-bunyian diartikan sebagai musik (vokal dan instrumental), antara lain: talempong, dendang, rabab, saluang, sampelong, salawat, indang, basijobang, dikia, dan randai.
Peta 7.1
Wilayah Budaya Minangkabau: Darek, Pasisise, dan Rantau
Adapun konsep pamainan diartikan sebagai bentuk kesenian yang lebih menekankan aspek permainannya seperti kelincahan dan ketangkasan pada gerak. Dalam hal ini musik hanya sebagai pengiring atau pelengkap saja. Aspek utamanya adalah aspek lain dari pertunjukan itu misalnya isi dari cerita yang disajikan, unsur keindahan, unsur kerasukan dan kesurupan (poesessed dan trance), magis, dan sebagainya. Contohnya antara lain yang terdapat pada kesenian randai, dabus, pencak silat, dan lain-lainnya.
Semua bentuk kesenian di atas termasuk adat istiadat bagi masyarakat Minangkabau. Dikatakan demikian karena semuanya itu merupakan hiburan anak nagari (masyarakat) yang telah dibiasakan dan disepakati oleh ninik mamak dan penghulu sebagai pimpinan adat. Kesenian itu adalah milik rakyat dan dipertunjukkan untuk rakyat. Tidak ada di Minangkabau jenis kesenian yang khusus dipersembahkan kepada satu lapisan masyarakat tertentu, dan tidak ada pula bentuk kesenian yang menjadi milik pribadi atau milik kelompok dalam masyarakat Minangkabau, semua adalah milik bersama.
Kesenian talempong merupakan kesenian adat yang sifatnya tidak mengikat. Dikatakan kesenian adat, karena pertumbuhannya sama dengan pertumbuhan adat Minangkabau, dan sama asalnya dengan adat, dan dipergunakan dalam setiap upacara adat. Dapat dikatakan bahwa talempong merupakan suatu budaya, yaitu suatu budaya kesenian yang termasuk ke dalam kultur peradatan. Dikatakan tidak mengikat, karena kesenian talempong dalam adat Minangkabau bukan merupakan suatu yang wajib, dalam arti tidak harus ada. Kesenian dalam adat Minangkabau hanya bersifat pelengkap, yang digunakan untuk memeriahkan upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dan agama Islam.
Kesenian merupakan perhiasan nagari di Minangkabau yang diterima sebagai warisan budaya nenek moyang dari zaman dahulu sampai sekarang. Ia sebagai perhiasan nagari yang akan dipakai sepanjang masa, yang harus dapat menyesuaikan diri dengan zaman yang dilaluinya, dan dapat menerima unsur budaya asing asal tidak bertentangan dengan adat dan syarak (Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu 1988: 197).
Sifat keterbukaan orang Minangkabau terhadap masuknya budaya luar tidak meruntuhkan budaya yang sudah ada, bahkan akan memperkaya kebudayaan itu sendiri. Bagi mereka tidak dipersoalkan dari mana budaya itu datang, yang utama adalah tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan di Minangkabau, maka budaya itu mereka tradisikan sebagai milik mereka sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada musik talempong kreasi baru dengan sistem nada diatonik yang sekarang sudah menjadi musik tradisional Minangkabau. Sampai sekarang talempong berkembang baik dalam Kota Padang atau di luarnya.
Adapun alat-alat musik yang terdapat di wilayah budaya Minangkabau ini, menurut sistem klasifikasi tradisionalnya adalah sebagai berikut. Kelompok alat musik pertama yaitu alat musik Minangkabau asli, terdiri dari alat-alat musik yang dipukul (dipukua) adalah: talempong, celempong, celenang, canang, conang, mongan, mongmong, mongmongan (gong chimes). Kemudian ada talempong kayu, aguang, oguang, tawak, ogung jana, gung, dan gandang tigo. Kemudian gandang, gondang, gandang duo, gandang katindik. Ada pula adok, alu bakatentong, katuek-katuek, dan lasuang. Alat musik yang termasuk dalam klasifikasi nan dipupuik (ditiup) adalah: singkadu (cingkadu), saluang, bansi, sampelong, sarune, sarune batang padi, sadam, pupuik gadang, pupuik baranak, pupuik tandak, pupuik daun galundi. Kemudian alat-alat musik dalam klasifikasi nan dipatiek (dipetik) yaitu kucapi. Selanjutnya klasifikasi alat-alat musik nan ditarek (ditarik) yaitu: genggong (jews harp) dan kucapi bambu. Alat musik nan digesek yaitu rabab. Alat musik nan dipusiang (yang dipusing) yaitu gasiang. Kelompok kedua adalah alat-alat musik yang berasal dari kebudayaan Islam, terdiri dari nan dipukua adalah: tabuah, rabano, indang atau rapai, dulang atau talam (untuk salawek dulang), dol (gendang dua sisi), dan tasa (drum berbentuk ketel). Kelompok alat musik Islam nan dipatiek (dipetik) adalah: gambus (lute petik). Kelompok yang ketiga adalah alat-alat musik dari kebudayaan Barat, yang terdiri dari nan dipukua (yang dipukul) yaitu: bongo, nan dipupuik saksofon, nan digesek rabab pasisie dan biola, nan dipatiek gitar dan ukulele, dan lain-lain.
Musik vokal di Minangkabau terdiri dari: (a) dendang ratok (nyanyian ratapan), yaitu nyanyian-nyanyian yang dilagukan dengan disertai ratapan. Baratok atau meratap awalnya dipraktikkan oleh masyarakat Islam Syi’ah, yaitu meratapi kematian Hasan dan Husein cucunda Nabi Muhammad ketika terbunuh oleh tentara Yazid di Padang Karbala; (b) dendang kaba adalah dendang yang digunakan untuk menceritakan genre cerita rakyat Minangkabau yang disebut kaba, awalnya berkembang di pesisir Barat Minangkabau, dengan cerita pertama dan utama bertajuk Anggun nan Tongga Magek Jabang. Contoh cerita lain dari kaba adalah: Gadang Batipuah, Dayang Daini, Raimah Jaho, Aliyok (Talipuak Latua), Si Jobang, dan lainnya. (c) Dendang gembira (dendang tari) adalah dendang-dendang yang umum dipertunjukkan oleh masyarakat Minangkabau, yang mengekspresikan kegembiraan dan lebih banyak digunakan mengiringi tarian. Contohnya di Luhak Lima Puluah Koto adalah: Situjuah dan Indang Sari Lamak; di Luhak Agam adalah: Sibungsu Babilang Malam, Dendang Talu, Sikuabang Cari, Simarantang; di Luhak Tana Data adalah: Ini Din Tak Din Din, Sikanduang Iyo, Din Din, dan lain-lain. (d) Salawaik talam atau salawaik dulang, yaitu nyanyian salawat (pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad), muncul dikenalkan oleh Syekh Burhanuddin penyebar agama Islam di Minangkabau. Lagu-lagunya berbahasa Arab dan Minang. Genre ini ditandai dengan penggunaan alat musik berupa talam atau dulang. Bentuk penyajiannya adalah antifonal, dua grup saling bersahut-sahutan. (e) Baindang atau berindang adalah jenis nyanyain tradisional Minangkabau berupa pantun yang dinyanyikan oleh dua penyanyi yang saling bersahut-sahutan, dengan ciri utamanya mengunakan alat musik indang. Kemudian dari aspek musik etnik Minangkabau yang paling terkenal dan menjadi ciri khas yang kuat adalah genre musik talempong. Alat musik talempong adalah berupa gong kecil yang berpencu terbuat dari tembaga atau kuningan. Alat musik ini cara memainkannya ada yang dipegang (pacik), ada juga yang disusun di atas rak (rea).
Daftar Pustaka untuk Memperdalam kajian
A.A. Navis, 1986. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.
Amir Syarifuddin, 1984. Pelaksanan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, 1988a. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remadja Karya.
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, 1988b. Pegangan Penghulu Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat Minangkabau. Jakarta: Remaja Karya.
Koentjaraningrat, 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Mariaty Mochtar, 1973. Dendang Minang di Tengah-tengah Masyarakat Minangkabau. Padang Panjang: Skripsi Sarjana Muda ASKI Padang Panjang.
Mochtar Naim, 1984. Merantau Pola Migrasi suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Syeilendra, 1997. Musik Talempong Fungsinya pada Industri pariwisata di Kotamadya Padang, Sumaetra Barat. Yogyakarta: Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada.
Dalam konteks negara bangsa Indonesia, banyak tokoh nasional yang berasal dari kawasan ini. Di antaranya adalah Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Haji Abdul malik Karim Amarullah (HAMKA), dan lain-lainnya. Mereka begitu menonjol dalam pergerakan nasional Indonesia. Begitu juga selain mereka ini sebagai tokoh nasional, umumnya mereka juga tokoh-tokoh Islam yang menonjol. Di era-era selepas Orde Lama juga muncul beberapa tokoh dari Minangkabau ini, misalnya Haji Tarmizi Taher, Azwar Anas, Amin Rais walaupun besar di Jawa tetapi adalah keturunan Minangkabau, Faisal Basri, dan lainnya.
Selain dari tokoh-tokoh pergerakan nasional, secara kultural etnik Minangkabau juga memiliki kemampuan manajerial di bidang ekonomi. Mereka banyak berkecimpung di bidang ini. Bahkan secara budaya, etnik Minangkabau memiliki potensi kuat untuk bekerja sebagai pedagang atau peniaga.
Orang-orang Minangkabau atau lazim disebut urang awak ini, memiliki budaya merantau, bahkan secara budaya mereka memiliki tiga kawasan budaya yaitu darek (darat) dan pasisie (pesisir) yang memang sebagai kawasan asal kebudayaan mereka. Kawasan ini disebut juga Ranah Minang. Di sisi lain mereka juga memandang wilayah baru sebagai daerah perantauannya yang disebut tanah rantau, yang meliputi kawasan-kawasan Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Ini membuktikan bahwa konsep tentang wilayah budaya Minangkabau mengalami perluasan dan pengembangan, bahkan melintasi geografi negara. Di samping itu orang-orang Minangkabau ini sering pula menganggap dan dipandang sebagai orang Melayu pula, dengan sebutan yang lazim yaitu suku Melayu Minangkabau. Namun dalm tulisan ini, orang Minangkabau ini akan dikaji secara tersendiri tidak diintegrasikan ke dalam kebudayaan Melayu secara umum.
Hal yang menarik lainnya, bahwa sebahagian besar masyarakat di dunia ini, menarik garis keturunannya adalah dari pihak ayah (patrialineal) , atau dari pihak ayah dan ibu sekali gus (parental). Bagi masyarakat Minangkabau mereka menarik garis keturunan dari pihak ibu atau emak (matrilineal). Ini menjadi identitas yang unik untuk dikaji dan dibahas. Mari kita lihat struktur masyarakat dan kesenian Minangkabau.
- Minangkabau
7.2.1 Wilayah Budaya
Menurut Adam, daerah suku bangsa Minangkabau ditandai dengan masyarakatnya yang menganut adat-stiadat Minangkabau, yang umumnya bermukim di Pulau Sumatera bagian tengah, meliputi Provinsi Sumatera Barat (tidak termasuk Mentawai), sebagian hulu sungai Rokan, Kampar, dan Kuantan di Provinsi Riau, batang Tebo, dan Muara Bungo di Provinsi Jambi serta hulu Sungai Merangin dan Muko-muko di Provinsi Bengkulu (Boestanoel Arifin Adam 1970).
Penghulu mengatakan bahwa daerah Minangkabau terdiri dari: (1) darek, (2) pasisie, dan (3) rantau. Secara tradisonal, masyarakat Minangkabau mempunyai dua wilayah pemerintahan adat. Pembagian ini disesuaikan dengan kondisi masa Kerajaan Pagaruyung masih berdiri, yaitu: luhak dan rantau. Daerah darek dikenal sebagai luhak nan tigo yang terdiri dari: (1) Luhak Tanah Data, (2) Luhak Agam, dan (3) Luhak Limo Puluah Koto. Ada keterkaitan erat antara luhak dan rantau (Penghulu 1978:12).
Berdasarkan mitologi yang terdapat dalam tambo Minangkabau, pada mulanya luhak hidup secara berkelompok pada daerah-daerah kecil yang bersifat kesatuan teritorial, bernama nagari. Nagari-nagari inilah yang merupakan daerah asal penduduk rantau. Setiap nagari sekurang-kurangnya ditempati oleh empat suku (klen) yang terdiri dari: Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang.
Orang-orang Minangkabau mempunyai mitos yang menceritakan bahwa mereka berasal daripada puncak Gunung Merapi, seperti yang dikemukakan Junus:
Umumnya orang Minangkabau mencoba menghubungkan keturunan mereka dengan suatu tempat, yaitu Periangan Padang Panjang. Mereka beranggapan bahwa nenek moyang mereka berpindah dari tempat itu dan kemudian menyebar ke daerah penyeberangan yang ada sekarang. Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan dongeng tentang nenek moyang orang Minangkabau yang berasal dari gunung Merapi ketika gunung itu masih kecil (Umar Junus 1971:241).
Adat istiadat Minangkabau, sebagaimana pula Melayu, terdiri dari empat klasifikasi: (1) adat nan sabana adat, (2) adat nan diadatkan, (3) adat nan taradat, dan (4) adat istiadat. Konsep adat mereka, sebagai landasan tertinggi adalah syariat Islam, seperti konsep: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato, adat mamakai (Penghulu 1978:105).
7.2.2 Agama
Agama Islam masuk ke Minangkabau diperkirakan secara historis terjadi pada abad ke-13, dan kemudian terjadi sinkretisasi dengan kepercayaan yang sedang berjalan saat itu, yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme. Kedua kepercayaan itu di Minangkabau masih terlihat di mana-mana, seperti dalam seni pertunjukan bakaba, randai, basijobang, talempong unggan, tari piriang, dan lain-lainnya. Juga akan kita lihat sebelum acara pertunjukan dimulai, seperangkat musik talempong diasapi dengan kemenyan dengan tujuan supaya dalam pertunjukan tidak mengalami gangguan.
Masuknya agama Islam di Minangkabau diperkirakan dibawa oleh para pedagang dari Arab dan juga sebahaginnya masuk dari wilayah Aceh. Pada mulanya hubungan antara penduduk setempat dengan para pedagang Arab ini merupakan hubungan biasa. Akan tetapi kemudian hubungan itu berkembang berdasar sistem religi yang bersifat Islami. Penyiaran dan perkembangan agama Islam melalui pedagang, dapat dipahami dari penggunaan kata lebai untuk sebutan bagi seorang guru agama Islam. Kata tersebut berasal dari bahasa Tamil illepa yang artinya adalah saudagar. Sumber lain memberikan petunjuk bahwa mula-mula agama Islam tersebut diajarkan oleh para saudagar yang berdagang lada di pesisir Barat Minangkabau (Syarifuddin 1984:134-135).
Dari kawasan pesisir timur Minangkabau berkembang pula ajaran agama Islam dan meluas sampai ke darek (luhak nan tigo) pada abad ke-14. Ajaran ini dibawa oleh Syekh Lebai Panjang Janggut yang berasal dari Siak Sri Indrapura bersama para muridnya. Oleh karena penyebar dari pesisir barat dan timur, maka kemudian muncullah pepatah adat yang menyatakan bahwa syarak mandaki, adat manurun. Artinya agama Islam mula-mula berkembang di pasisie dan kemudian meluas ke darek. Oleh karena darek mempunyai tempat yang lebih tinggi dari pesisir, maka digambarkan dengan kata syarak mandaki, sedangkan adat berasal dari darek, kemudian berkembang ke pesisir, oleh karenanya diibaratkan dengan kata adat manurun. Secara kuantitatif Islam berkembang secara merata di seluruh pelosok Minangkabau. Akan tetapi secara kualitatif adama Islam belum dijalankan secara penuh oleh para pengikutnya. Keadaan ini dikemukakan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut.
Kalau ada orang Minangkabau yang tidak menganut agama Islam, maka hal itu adalah suatu keganjilan yang mengherankan, walaupun kebanyakan dari orang Minangkabau mungkin menganut agama itu secara nominal saja, tanpa melakukan ibadahnya. Mereka boleh dikatakan tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan lain kecuali apa yang diajarkan Islam, mereka hanya percaya kepada Tuhan sebagaimana yang diajarkan Islam. Dalam keadaan yang luar biasa banyak juga yang percaya kepada hantu-hantu yang mendatangkan bencana dan penyakit kepada manusia (Koentjaraningrat 1982:254).
Dengan masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadi sinkretisasi antara kepercayaan lama dengan agama Islam. Sesuai dengan falsafah adat Minangkabau alam takambang jadi guru, maka etnik Minangkabau selalu selektif terhadap kebudayaan yang datang. Selanjutnya sesuai dengan perkembangan zaman, di Minangkabau muncul erakan pemurnian (puritanisasi) agama Islam selepas beberapa alim-ulama meniba ilmu di Arab Saudi, terutama yang beraliran Wahabiah. Gerakan ini adalah ingin menghapuskan bid’ah, khurafat, dan takhayul yang berkembang di dalam masyarakat Minangkabau. Mereka yang melakukan puritanisasi agama Islam ini disebut kaum Paderi. Akhirnya terjadilah pertarungan dengan kaum adat, yang akhirnya diterimalah agama Islam dalam konteks adat, yaitu adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Pada masa sekarang ini masyarakat muslim Minangkabai mayoritas bermazhab Sunni, dengan organisasi keagamaannya Muhammadiyah, serta banyak yang ikut dalam partai politik yang berbasis Muhammadiyah atau kaum modernis, seperti Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera.
7.2.3 Struktur Sosial
Ciri khas budaya Minangkabau adalah sistem sosial kemasyarakatan yang berdasar pada garis keturunan ibu (matrilineal). Inilah yang biasanya dianggap sebagai salah satu unsur yang memberi identitas kepada kebudayaan Minangkabau terutama yang dipopulerkan oleh roman-roman Balai Pustaka, pada periode pertama abad kedua puluh.
Kelompok masyarakat terkecil di Minangkabau menurut sistem garis keturunan ibu adalah kaum (sesuku). Setiap suku dipimpin oleh seorang kepala kaum yang disebut datuak (penghulu). Kaum merupakan kumpulan dari beberapa paruik (perut), dan paruik merupakan gabungan dari keluarga dalam sistem matrilineal. Sebuah paruik (setali darah) terdiri dari nenek, ibu, dan saudara-saudaranya (laki-laki dan perempuan), dan anak-anak dari saudara ibu yang perempuan. Sebuah paruik dipimpin oleh seorang tungganai. Salah seorang tungganai dipilih secara musyawarah untuk dituakan dan diangkat menjadi pemangku adat yaitu sebagai datuak (penghulu). Saudara laki-laki ibu disebut dengan tungganai dalam paruik yang bersangkutan, dan semua saudara laki-laki dari ibu disebut mamak oleh anak-anak dalam paruik, dan disebut kemenakan oleh saudara laki-laki ibu. Penghulu dalam sistem pemerintahan nagari berperan untuk “mengisi adat.” Dalam hal ini seorang penghulu hanya berkuasa untuk menjaga dan memelihara hubungan keluarga dalam satu organisasi kemasyarakatan.
Selain itu, di dalam sistem matrilineal yang garis keturunannya ditarik berdasarkan pada ibu, ibu memiliki “kekuasaan” khusus dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau. Ibu yang disebut bunda kanduang memiliki keistimewaan yang dikategorikan ke dalam lima pokok, yaitu: (1) keturunan ditarik dari garis ibu; (2) umah tempat kediaman; (3) sumber ekonomi diutamakan untuk perempuan; (4) yang menyimpan hasil ekonomi adalah perempuan; dan (5) wanita mempunyai hak suara dalam musyawarah (Penghulu 1988:77-81). Kelima kategori tersebut menunjukkan bahwa di Minangkabau telah ada emansipasi wanita, dan wanita ditempatkan pada kedudukan yang sewajarnya, sehingga wanitalah yang berkuasa dalam rumah tangga. Dalam hal ini tungganai, mamak-mamak, dan sumando (suami dari isteri) tidak boleh ikut campur dalam rumah ustri dan anak-anaknya. Kadang-kadang bila anak kandungnya sendiri akan dikawinkan oleh mamak tungganai, penghulu, dan sumando atau ayah dari si anak hanya diberi tahu saja dan tidak berhak membantah. Dengan demikian, tanggung jawab suami terhadap istri dan anak menurut pokok adat Minangkabau tidak begitu besar. Hal ini dikarenakan oleh interaksi dengan dunia luar belum ada sehingga kemungkinan untuk mengubah struktur sosial yang sudah ada sedikit sekali.
Selain itu, dalam sistem matrilineal Minangkabau ayah dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga istri dan anaknya, yang tujuan utamanya untuk memberikan keturunan terhadap keluarga istri. Dia disebut sumando atau urang sumando, karena didatangkan atau berasal dari keluarga suku lain. Tampaknya yang syah adalah dalam garis keturunan atau keluarga persukuan ibunya. Dalam keluarga tersebut ia berfungsi sebagai anggota laki-laki yang berpern sebagai mamak dari anak saudara-saudara perempuannya. Secara tradisional, tanggung jawabnya berada dalam keluarga itu. Ia menjadi wali serta pelindung harat benda milik persukuan tersebut. Akan tetapi ia harus menahan diri untuk tidak menikmati hasil sawah ladang persukuannya, karena yang berhak untuk semua itu adalah saudara perempuannya. Selain tidak berhak memperoleh hasil harta persukuan, ia juga tidak diberi atau mendapat tempat tinggal di rumah ibunya, sebab semua bilik atau kamar hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga perempuan untuk menerima suami mereka di malam hari (Mochtar Naim 1984:24).
Meskipun ada tempat atau kamar di rumah ibunya yang memungkinkan untuk ditempati, namun itu “tabu” untuk dilakukan. Masyarakat lain akan memandangnya sebagai orang yang tidak mempunyai rasa malu, karena serumah dengan sumando atau suami adik atau kakak perempuannya. Apabila untuk membawa istri dan anaknya bertempat tinggal di sana, sama sekali tidak mungkin dilakukan, sebab hal yang demikian juga aib atau tabu bagi keluarga istri. Keluarga istri akan merasa malu dan hina jika saudara atau kemenakannya bertempat tinggal di rumah persukuan lain, walau rumah tersebut milik keluarga persukuan suaminya.
Dampak negatif dari sistem matrilineal di atas antara lain, suami di rumah isteri dan keluarga isterinya seperti orang yang dimanjakan. Apabila suami merasa kurang mendapatkan pelayanan dari istri dan keluarga istrinya, sering dengan mudah suami meninggalkan atau menceraikan istrinya. Lebih-lebih lagi pada waktu itu undang-undang perkawinan dan perceraian dari pemerintah yang ada di luar Minangkabau seperti sekarang belum ada. Untuk menghindari perceraian semacam itu, maka banyak di antara istri yang kemudian berusaha memberikan layanan kepada suaminya secara berlebihan, agar suami tidak meninggalkannya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila seorang istri di Minangkabau memberi belanja atau uang belanja untuk suami yang sesungguhnya dipandang tidak pantas oleh masyarakat di luar Minangkabau, maupun oleh masyarakat Minangkabau sendiri.
Perubahan peranan ayah terhadap istri bisa terjadi karena berbagai faktor, di antaranya keinginan merantau dari orang Minangkabau dan masuknya Islam ke Minangkabau. Hal ini membawa perubahan-perubahan pada cara berpikir ayah dalam hal tanggung jawab hidup berkeluarga dengan istri dan anaknya. Dalam perantaunyya ia melihat struktur sosial yang berbeda antara masyarakat kampung yang ditinggalkannya dengan masyarakat daerah rantau yang ditemuinya. Dia melihat betapa akrabnya hubungan suam istri beserta anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri dan anak-anak ke daerah rantau akan terasa seperti hidup bebas merdeka dalam rumah sendiri. Apabila dalam perantauan sang ayah mendapatkan rezeki, ia akan membuatkan rumah untuk istri dan anaknya di kampung halaman. Rumah yang didirikan itu, walaupun masih di tanah kaum, naum menjadi hak tinggalnya bersama istri dan anaknya. Meskipun demikian secara kultural mereka masih terikat dalam satu keturunan dari rumah gadang itu. Dengan demikian jelas bahwa dalam struktur sosial Minangkabau, peranan kaum laki-laki juga sangat besar dalam keluarga ibunya sebagai pimpinan suku atau kaum, setidak-tidaknya sebagai tungganai rumah gadang (pimpinan keluarga rumah gadang).
Berdasarkan budaya merantau, orang Minangkabau banyak yang merantau ke Tanah Deli (Sumatera Utara). Orang Minangkabau sering melakukan merantau, iaitu bermigrasi ke rantau. Istilah rantau dapat diartikan sebagai dataran rendah atau daerah aliran sungai (Mochtar Naim 1984:2), sebagai tempat orang Minangkabau mencari nafkah dengan meningalkan kampng halaman yang terletak di dataran tinggi. Akan tetapi, kini istilah rantau tidak hanya terbatas kepada daerah rendah atau daerah aliran sungai, melainkan juga sudah berkonotasi dengan daerah luar kampung halaman mereka. Kebiasaan merantau ini sangat besar pengaruh dan peranannya daripada segi sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau.
Unsur-unsur pokok yang dikandung kata merantau adalah meninggalkan kampung halaman, dengan kemauan sendiri, dalam jangka waktu yang lama atau tidak lama, untuk mencari tingkat ekonomi yang lebih baik, menuntut ilmu, atau memperluas pengalaman. Pada saatnya mereka pulang. Merantau adalah bagian dari budaya Minangkabau. Orang yang merantau bukan meninggalkan susunan sosial, tetapi untuk memperkuatnya. Bermukim di rantau hanya salah satu cara untuk mencari tujuan. Para migran di rantau diharapkan menemukan identitas sendiri, dalam menghadapi berbagai kebudayaan dan susunan sosial lain. Para perantau daripada Minangkabau biasanya lebih menyadari akan pentingnya kerukunan, senasib, dan sepenanggungan, dibanding mereka yang berada di kampung halaman (Mochtar Naim 1984:3).
Migrasi orang Minangkabau ke Sumatera Timur, baru mulai pada akhir abad kesembilan belas, ketika perkebunan-perkebunan besar asing mulai dibuka (Mochtar Naim 1984:97). Kebanyakan mereka bukan bekerja sebagai buruh perkebunan, melainkan menjajakan barang dagangannya dari perkebunan yang satu ke perkebunan yang lain, atau menetap di kota-kota di Sumatera Timur untuk berdagang. Sesudah Revolusi Kemerdekaan berakhir, arus migrasi orang Minangkabau bertambah dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Terutama sewaktu berlangsungnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) terjadi arus migrasi yang paling besar (Mochtar Naim 1984:97).
Jika kita lihat jenis pekerjaan perantau Minangkabau, yang dominan adalah pedagang eceran sampai grosir, usaha penjahitan, rumah makan Minangkabau/Melayu, menjajakan sate Padang, industri kerajinan pakaian jadi; yang bersaing dengan orang Tionghoa atau menggantikan posisi orang Tionghoa yang sudah naik tingkat ekonominya. Selain pekerjaan-pekerjaan itu, usaha percetakan, usaha penerbitan, tokoh buku, toko alat tulis, dan bidang kewartawanan ditangani oleh orang Minangkabau dalam persentasi yang lebih tinggi, terutama sebelum perang kemerdekaan. Pejabat tinggi, guru-guru sekolah, dan dosen, serta mahasiswa di Sumatera Utara banyak dari Sumatera Barat. Oleh karena perkembangan pendidikan di Sumatera Barat mendahului daerah Sumatera Timur di bawah pemerintahan Hindia-Belanda, maka para migran Sumatera Barat diterima di instansi-instansi pemerintah atau usaha-usaha swasta sebagai pegawai, guru, juru tulis, ahli mesin, dan sebagainya.
Dalam pergerakan Nasional, orang Minangkabau memainkan peranan penting di rantau. Hal ini dikeranakan mereka tinggi kesadarannya atas agama Islam dan giat menggabungkan diri ke dalam organisasi sosial dan partai politik yang progresif, terutama di Muhammadiyah dan Masyumi.
Para perantau Minangkabau di Sumatera Timur berkelompok pula menurut tempat asalnya seperti sekampung, seluhak seperti wilayah Pariaman, Maninjau, Batu Sangkar, Pasaman, dan lain-lain demi menanggulangi masalah yang bersangkutan dengan kerukunan dan adat mereka.
Orang-orang Minangkabau dan Melayu sejak awalnya juga sadar tentang persamaan-persamaan budaya mereka. Daerah Negeri Sembilan di Semenanjung Malaysia termasuk ke dalam daerah rantau Minangkabau. Mantan Yang Dipertuan Agong Malaysia, Tengku Za'farsyah, adalah keturunan Minangkabau. Tidak jarang pula orang Minangkabau menyebutkan dirinya sebagai Melayu Minangkabau. Diperkirakan orang-orang Melayu Deli, Serdang, dan Langkat berasal dari pembauran etnik Minangkabau serta Johor (Ratna 1990:45).
Bukti lain adanya hubungan antara Minangkabau dengan Melayu Sumatera Utara ini dapat dilihat daripada dialek yang dipergunakan oleh masyarakat Melayu di Asahan Sumatera Utara mirip dengan bahasa Minangkabau. Selain itu nama-nama tempat di Asahan ada yang sama dengan nama-nama tempat di Minangkabau, seperti Lima Laras, Pesisir, dan Kota Lima Puluh.
Dalam konteks seni ronggeng ada beberapa etnik Minangkabau yang ikut serta menjadi seniman atau pengelolanya. Miss Ribut adalah salah seorang ronggeng terkenal keturunan Minangkabau dan Mandailing. Para seniman dan intelektual tari tradisi dan garapan baru Melayu Sumatera Timur banyak juga yang berasal daripada etnik Minangkabau, seperti Dra. Delinar Adlin, Syainul Irwan, S.H., Yusnizar Heniwaty, SST., Arifni Netriroza, SST., dan lainnya. Bahkan seorang pengusaha Minangkabau di Medan, yang mengelola hotel Garuda Plaza di Jalan Si Singamangaraja, memasukkan musik ronggeng sebagai salah satu acara hiburannya. Lagu daripada Minangkabau yang populer bagi masyarakat Sumatera Utara, yang dipergunakan pada seni ronggeng Melayu adalah lagu Haji Lahore dan Babendi-bendi.
7.3 Seni Pertunjukan
Segala bentuk kesenian di Minangkabau, khususnya yang berbentuk seni pertunjukan seperti musik, tari, dan teater dikategorikan ke dalam istilah pamainan anak nagari (permainan rakyat). Permainan rakyat itu bersifat demokratis, artinya milik bersama (Navis 1986:124). Apapaun bentuknya permainan rakyat itu sifatnya terbuka dan dipertunjukkan sebagai hiburan masyarakat Minangkabau dan yang lebih luas dari itu. Secara umum permainan anak negeri, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (a) bunyi-bunyian dan (b) pamainan (permainan). Konsep bunyi-bunyian diartikan sebagai musik (vokal dan instrumental), antara lain: talempong, dendang, rabab, saluang, sampelong, salawat, indang, basijobang, dikia, dan randai.
Peta 7.1
Wilayah Budaya Minangkabau: Darek, Pasisise, dan Rantau
Adapun konsep pamainan diartikan sebagai bentuk kesenian yang lebih menekankan aspek permainannya seperti kelincahan dan ketangkasan pada gerak. Dalam hal ini musik hanya sebagai pengiring atau pelengkap saja. Aspek utamanya adalah aspek lain dari pertunjukan itu misalnya isi dari cerita yang disajikan, unsur keindahan, unsur kerasukan dan kesurupan (poesessed dan trance), magis, dan sebagainya. Contohnya antara lain yang terdapat pada kesenian randai, dabus, pencak silat, dan lain-lainnya.
Semua bentuk kesenian di atas termasuk adat istiadat bagi masyarakat Minangkabau. Dikatakan demikian karena semuanya itu merupakan hiburan anak nagari (masyarakat) yang telah dibiasakan dan disepakati oleh ninik mamak dan penghulu sebagai pimpinan adat. Kesenian itu adalah milik rakyat dan dipertunjukkan untuk rakyat. Tidak ada di Minangkabau jenis kesenian yang khusus dipersembahkan kepada satu lapisan masyarakat tertentu, dan tidak ada pula bentuk kesenian yang menjadi milik pribadi atau milik kelompok dalam masyarakat Minangkabau, semua adalah milik bersama.
Kesenian talempong merupakan kesenian adat yang sifatnya tidak mengikat. Dikatakan kesenian adat, karena pertumbuhannya sama dengan pertumbuhan adat Minangkabau, dan sama asalnya dengan adat, dan dipergunakan dalam setiap upacara adat. Dapat dikatakan bahwa talempong merupakan suatu budaya, yaitu suatu budaya kesenian yang termasuk ke dalam kultur peradatan. Dikatakan tidak mengikat, karena kesenian talempong dalam adat Minangkabau bukan merupakan suatu yang wajib, dalam arti tidak harus ada. Kesenian dalam adat Minangkabau hanya bersifat pelengkap, yang digunakan untuk memeriahkan upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dan agama Islam.
Kesenian merupakan perhiasan nagari di Minangkabau yang diterima sebagai warisan budaya nenek moyang dari zaman dahulu sampai sekarang. Ia sebagai perhiasan nagari yang akan dipakai sepanjang masa, yang harus dapat menyesuaikan diri dengan zaman yang dilaluinya, dan dapat menerima unsur budaya asing asal tidak bertentangan dengan adat dan syarak (Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu 1988: 197).
Sifat keterbukaan orang Minangkabau terhadap masuknya budaya luar tidak meruntuhkan budaya yang sudah ada, bahkan akan memperkaya kebudayaan itu sendiri. Bagi mereka tidak dipersoalkan dari mana budaya itu datang, yang utama adalah tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan di Minangkabau, maka budaya itu mereka tradisikan sebagai milik mereka sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada musik talempong kreasi baru dengan sistem nada diatonik yang sekarang sudah menjadi musik tradisional Minangkabau. Sampai sekarang talempong berkembang baik dalam Kota Padang atau di luarnya.
Adapun alat-alat musik yang terdapat di wilayah budaya Minangkabau ini, menurut sistem klasifikasi tradisionalnya adalah sebagai berikut. Kelompok alat musik pertama yaitu alat musik Minangkabau asli, terdiri dari alat-alat musik yang dipukul (dipukua) adalah: talempong, celempong, celenang, canang, conang, mongan, mongmong, mongmongan (gong chimes). Kemudian ada talempong kayu, aguang, oguang, tawak, ogung jana, gung, dan gandang tigo. Kemudian gandang, gondang, gandang duo, gandang katindik. Ada pula adok, alu bakatentong, katuek-katuek, dan lasuang. Alat musik yang termasuk dalam klasifikasi nan dipupuik (ditiup) adalah: singkadu (cingkadu), saluang, bansi, sampelong, sarune, sarune batang padi, sadam, pupuik gadang, pupuik baranak, pupuik tandak, pupuik daun galundi. Kemudian alat-alat musik dalam klasifikasi nan dipatiek (dipetik) yaitu kucapi. Selanjutnya klasifikasi alat-alat musik nan ditarek (ditarik) yaitu: genggong (jews harp) dan kucapi bambu. Alat musik nan digesek yaitu rabab. Alat musik nan dipusiang (yang dipusing) yaitu gasiang. Kelompok kedua adalah alat-alat musik yang berasal dari kebudayaan Islam, terdiri dari nan dipukua adalah: tabuah, rabano, indang atau rapai, dulang atau talam (untuk salawek dulang), dol (gendang dua sisi), dan tasa (drum berbentuk ketel). Kelompok alat musik Islam nan dipatiek (dipetik) adalah: gambus (lute petik). Kelompok yang ketiga adalah alat-alat musik dari kebudayaan Barat, yang terdiri dari nan dipukua (yang dipukul) yaitu: bongo, nan dipupuik saksofon, nan digesek rabab pasisie dan biola, nan dipatiek gitar dan ukulele, dan lain-lain.
Musik vokal di Minangkabau terdiri dari: (a) dendang ratok (nyanyian ratapan), yaitu nyanyian-nyanyian yang dilagukan dengan disertai ratapan. Baratok atau meratap awalnya dipraktikkan oleh masyarakat Islam Syi’ah, yaitu meratapi kematian Hasan dan Husein cucunda Nabi Muhammad ketika terbunuh oleh tentara Yazid di Padang Karbala; (b) dendang kaba adalah dendang yang digunakan untuk menceritakan genre cerita rakyat Minangkabau yang disebut kaba, awalnya berkembang di pesisir Barat Minangkabau, dengan cerita pertama dan utama bertajuk Anggun nan Tongga Magek Jabang. Contoh cerita lain dari kaba adalah: Gadang Batipuah, Dayang Daini, Raimah Jaho, Aliyok (Talipuak Latua), Si Jobang, dan lainnya. (c) Dendang gembira (dendang tari) adalah dendang-dendang yang umum dipertunjukkan oleh masyarakat Minangkabau, yang mengekspresikan kegembiraan dan lebih banyak digunakan mengiringi tarian. Contohnya di Luhak Lima Puluah Koto adalah: Situjuah dan Indang Sari Lamak; di Luhak Agam adalah: Sibungsu Babilang Malam, Dendang Talu, Sikuabang Cari, Simarantang; di Luhak Tana Data adalah: Ini Din Tak Din Din, Sikanduang Iyo, Din Din, dan lain-lain. (d) Salawaik talam atau salawaik dulang, yaitu nyanyian salawat (pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad), muncul dikenalkan oleh Syekh Burhanuddin penyebar agama Islam di Minangkabau. Lagu-lagunya berbahasa Arab dan Minang. Genre ini ditandai dengan penggunaan alat musik berupa talam atau dulang. Bentuk penyajiannya adalah antifonal, dua grup saling bersahut-sahutan. (e) Baindang atau berindang adalah jenis nyanyain tradisional Minangkabau berupa pantun yang dinyanyikan oleh dua penyanyi yang saling bersahut-sahutan, dengan ciri utamanya mengunakan alat musik indang. Kemudian dari aspek musik etnik Minangkabau yang paling terkenal dan menjadi ciri khas yang kuat adalah genre musik talempong. Alat musik talempong adalah berupa gong kecil yang berpencu terbuat dari tembaga atau kuningan. Alat musik ini cara memainkannya ada yang dipegang (pacik), ada juga yang disusun di atas rak (rea).
Daftar Pustaka untuk Memperdalam kajian
A.A. Navis, 1986. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.
Amir Syarifuddin, 1984. Pelaksanan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, 1988a. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remadja Karya.
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, 1988b. Pegangan Penghulu Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat Minangkabau. Jakarta: Remaja Karya.
Koentjaraningrat, 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
Mariaty Mochtar, 1973. Dendang Minang di Tengah-tengah Masyarakat Minangkabau. Padang Panjang: Skripsi Sarjana Muda ASKI Padang Panjang.
Mochtar Naim, 1984. Merantau Pola Migrasi suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Syeilendra, 1997. Musik Talempong Fungsinya pada Industri pariwisata di Kotamadya Padang, Sumaetra Barat. Yogyakarta: Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada.