MASYARAKAT DAN KESENIAN JAWA
10.1 Pengantar
Bagi kita bangsa Indonesia, menyadari bahwa suku Jawa adalah suku yang mayoritas jumlahnya di Indonesia, walau asal mereka adalah dari Pulau Jawa yang relatif lebih kecil dibanding pulau-pulau besar lainnya. Selain itu, dalam sejarah di Nusantara, orang-orang Jawa ini pernah menjadi penguasa Nusantara terutama di era Majapahit. Mereka menguasai kawasan-kawasan di seluruh Indonesia sampai ke Dataran Asia Tenggara. Saat itu yang terjadi memang adalah ambisi perluasan teritorial demi sebuah kerajaan besar.
Selepas Indonesia merdeka pun kekuasaan politik tetap dipegang oleh orang-orang Jawa. Presiden Republik Indonesia pun sebagian besar dipegang oleh etnik Jawa sejak kita merdeka. Namun wakil presidennya telah diisi oleh berbagai kelompok etnik yang ada di Indonesia. Orang-orang Jawa juga terkenal dengan pola adaptasinya yang lentur dengan berbagai kelompok etnik di Indonesia. Karena mereka memiliki jumlah yang besar dan pulau Jawa tak lagi mampu menampung kehidupan mereka, sebahagian orang-orang Jawa ini merantau atau bermigrasi ke berbagai tempat di Nusantara, seperti ke Kalimantan, Sumatera (terutama Sumatera Utara), bahkan sampai ke Semenanjung Malaya, dan yang jauh sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan berbagai tempat lainnya di dunia. Mereka juga membawa kesenian dan sistem budanyanya di tempat perantauan dan juga beradaptasi dengan budaya setempat. Mari kita lihat masyarakat dan kesenian suku Jawa ini.
10.2 Msyarakat Jawa
Daerah kebudayaan Jawa dapat dikatakan sangat luas, yang meliputi bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Walaupun demikian ada daerah‑daerah yang secara kolektif sering disebut daerah Kejawen. Sebelum ada perubahan status wilayah seperti sekarang ini daerah itu meliputi Banyumas Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di tuar tersebut dinamakan daerah pesisir dan ujung timur.
Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan terjadinya perjanjian Giyanti 1755 pusat kebudayaan Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang Jawa terdapat variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Namun kalau diteliti lebih jauh hal‑hal itu masih merupakan suatu pola atau satu sistem daalm satu kebudayaan Jawa.
Agama yang dianut mayoritas, penduduknya adalah agama Islam, kemudian agama Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Orang santri adalah mereka yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan orang Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa, dan tidak bercita‑cita naik haji, tetapi mereka mengakui ajarn-ajaran agama Islam pada umumnya. Orang Jawa mempunyai kepercayaan adanya suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah mereka kenal, yakni kesakten, kemudian arwah atau roh le1uhur dan mahluk‑mahluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, jin, dan lain sebagainya. Mahluk‑mahluk tersebut bertempat tinggal di sekitar kediaman mereka. Menurut kepercayaan masing‑masing mahluk‑mahluk tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan--tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pemikiran, kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Bila seseorang ingin hidup tanpa menderita ganguan, ia harus berbuat sesuatu untuk mernpengaruhi alarn sernesta dengan berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan‑makanan tertentu, berselarnatan, dan bersaji. Kedua cara terakhir ini kerap kali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa‑desa pada waktu tertentu dalam peristiwa kehidupan sehari‑hari.
Orang Jawa meskipun pada umumnya diketahui sebagai penghuni daerah agraris, merek sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai bentuk seperti perdagangan, pendudukan kerajaan-kerajaan Jawa, migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di Nusantara, terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirdjo 1988:10). Kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau Sumatera di antaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawannya merupakan keturunan orang-orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan dengan pihak Kerajaan Jawa. Begitu juga Kerajaan Malaka. Kampung Jawa di sana-sisni dibangun sejak zaman dahulu, seperti di Daerah Deli terdapat pemukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut Kota Jawa (Luckman Sinar 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson (Anderson 1971:136).
Di Semenanjung Malaya juga terdapat sejumlah migran orang Jawa yang kini sudah turun-temurun dan menetap di situ. Di samping itu, perpindahan orang Jawa secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia adalah yang didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880, dengan menggantikan kuli orang Tionghoa mereka mulai dibawa ke Sumatera Timur dan setelah tahun 1910 kedatangan mereka bertambah banyak. Mereka awalnya terikat dengan sebuah kontrak dengan disertai peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka yang disebut Penale Sanctie. Namun demikian, sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja tersebut didasarkan pada kontrak yang merugikan para buruh (Reid 1987:82-83).
Pada masa kini, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah. Trasmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan penduduk dan padatnya penduduk di pulau Jawa, kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Orang Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan orang di lingkungannya, dan mementingkan keharmonisan. Meskipun orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera sering disebut Pujakesuma, watak dan kebiasaan yang berdasarkan budaya mereka sendiri tetap disampaikan daripada orang tuanya. Mereka mengatasi ego dan nafsu demi ketenangan hidup dan kebijaksanaan, dan sukarela bekerja untuk umum dengan cara gotong-royong. Para migran orang Jawa yang umumnya terdiri dari petani kecil hidup sederhana, dan menerima kesengsaraan dengan menganggap hidupnya memang begitu. Namun tak lupa mempertahankan nama dan harga dirinya (Sadarmo dan R. Suyono 1985:2).
Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat. Menurut informasi Bapak Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat yang berarti keluarga--mendapat suku kata awalan (prefik) be. Dalam budaya Jawa brayat berarti sistem bekeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan sistem ini, mereka meyakini bahawa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran tanggung jawab selalu dikonsepkan dengan paseduluran: (1) sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; (4) sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; (6) bala yaitu yang menurut anggapan mereka mash saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan.[1]
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama yang telah dibagikan doa sebelum dibagi‑bagikan. Selamatan itu tidak terpisah dari pandangan alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk‑makhluk halus tadi. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan‑gangguan apapun. Hal itu juga terlihat pada nama upacara sendiri, yakni kata selarnat. Upacara ini biasa dipimpin oleh modin, yakni salah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewapban mengumandangkan adzan. la dipanggil karena dianggap malur membaca doa keselarnatan yang intinya berasal dari ayat‑ayat Al Qur'an.
Upacara selamatan dapat digolongkan kedalam enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalarn kehidupan manusia, sehari‑hari yaitu: (1) Selamatan dalam. rangka lingkaran hidup seorang, seperti hamil tujuh bulan (mitoni), kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali (tedak siten), upacara menusuk telinga (tindik), sunat (khinatan), kernatian, serta saat‑saat setelah kernatian. (2) Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi. (3) Selarnatan yang berhubungan dengan hari‑hari serta bulan‑bulan besar Islam. (4) Selamatan pada saat‑saat yang tidak tertentu berkenaan dengan kejadian‑kejadian, seperti membuat peijalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain‑lain. Di antara keempat macarn golongan upacara selamatan tadi, maka upacara selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan dengan kematian serta sesudahnya, adalah suatu adat kebiasaan yang arnat diperhatikan dan kerap kali dilakukan di salah satu tempat dalam lingkungan istana (ratawijaya), secara terbuka. Oleh kalangan masyarakat orang Jawa, terutama yang datang dari kalangan pedesaan, air bekas siraman tersebut dapat membawa berkah. Sedangkan tokoh raksasa Batara Kala adalah raksasa yang mempunyai yang dapat mendatangkan bencana pada benda‑benda ataupun manusia. Misalnya seorang anak tunggal (bocah ontang‑anting) dianggap hidupnya senantiasa diancam oleh raksasa ini. Maka untuk menghidari bahaya tersebut, orang tua dari si anak mengadakan ruwatan, biasanya disertai dengan pertunjukan wayang kulit sehari semalam, dengan mengambil cerita sekitar tokoh raksasa Batara Kala.
Sistern kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki‑laki serta kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing‑masing diklasifikasikan menjadi satu, yaitu dengan istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik‑adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan kst dalarn dua golongan yang berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik laki‑laki dan bibi bagi adik perempuan.
Pada masyarakat berlaku adat‑adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila: (a) saudara kandung, (2) pancer lanang, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki‑laki, 3. Pihak laki‑laki lebih muda menurut ibunya dari pada pihak perempuan. Adapun perkawinan yang diperbolehkan adalalah perkawinan antara dua orang dua orang yang tidak terikat karena hubungan‑hubungan kekerabatan seprti tersebut diatas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal beberapa istilah sebagai berikut: (a) ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya, (b) wayuh, yaitu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), (c) kumpul kebo, yaitu laki‑laki dan perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak dalam kurun waktu tertentu akan tetapi belum menikah. Hal ini merupakan suatu bentuk perkawinan yang menyimpang dari tradisi dan ajaran agama, (d) pisah kebo, yaitu berpisahnya suami‑istri tetapi tidak diikuti oleh perceraian secara resmi.
Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan, biasanya terdapat beberapa pendahuluan, di antaranya: (1) Nakokake, yaitu ketika seorang pria ingin meminang kekasihnya harus menanyakan dahulu kepada orang tua (wali) si gadis apakah masih legan (belum ada yang meminang). (2) Paningsetan, yaitu apabila sudah mendapat jawaban bahwa si gadis masih legan clan belum ada yang melainar, dan kehendaknya mempersunting tadi diterima, maka akan segera ditetapkan kapan diselenggarakan paningsetan, yaitu upacara pemberian harta benda kepada calon istri berupa sepotong kain dan kebaya, yang semua itu disebut pakaian sakpengadek. Kadang‑kadang disertai cincin kawin, inilah yang sekarang sering disebut pertunangan, yang berarti si gadis telah terikat untuk melangsungkan pemikahan atau wis dipacangke. (3) Asok tukon, yaitu suatu tanda penyerahan harta kekayaan dari pihak laki‑laki kepada pihak perempuan secara simbolis. Hal ini biasanya dilakukan dua atau tiga hari sebelum upacara pemikahan dilangsungkan. Harta itu berupa sejumlah uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak, dan sebagainya. Asok tukon juga disebut srakah atau sasrahan yang sebenarnya tidak lain berupa mas kawin. Sehari menjelang saat upacara pemikahan, pada pagi hari pihak anggota keluarga berkunjung ke makam para leluhumya untuk meminta doa restu. Sedangkan pada sore hari diadakan upacara selamatan berkahan yang dilanjutkan dengan leklekan (berjaga malam). Dalarn hal ini para kerabat pengantin perempuan serta tetangga dekat dan kenal‑kanalannya berada di rumahnya hingga larut malam bahkan sampai pagi hari. Malam ini disebut malam tirakatan atau malam midadareni. Karena pada malam itu bidadari turun dari kayangan memberi restu pada perkawinan tersebut. Setelah tiba hari perkawinan, pengantin laki‑laki dengan diiringkan oleh orang tua atau walinya serta handai taulannya dan juga para tetangga atau sedukuh atau sedesa, pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada kaum, yaitu salah seorang perangkat desa yang bertugas mengurus pernikahan, talak, dan rujuk. Sesudah selesai menuju kantor urusan agama di kecamatan menghadap penghulu, yaitu salah seorang yang bertugas untuk melangsungkan ijab kabul atau akad nikah. Upacara disaksikan oteh wali kedua belah pihak.
Setelah pengantin laki‑laki menyerahkan sejurnlah uang sebagai tanda mas kawin hukum perkawinan Islam. Ijab kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita, yaitu dengan memanggil penghulu. Setelah upacara ini berakhir lalu dilakukan upacara pertemuan (temon) antara kedua mempelai yang akhimya dipersandingkan di atas pelaminan. Apabila mempelai laki‑laki berkehendak membawa istrinya, hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar atau lima hari sesudah upacara perkawinan. Pemboyongan yang disertai pesta upacara lagi ditempat kediaman mempelai laki‑laki ini disebut ngunduh temanten. Demikian sekilas struktru amsyarakat dan budaya Jawa, termasuk dalam bidang pengantin.
10.3 Kesenian10.3.1 Wayang Kulit
Masyarakat Jawa mempunyai kekayaan hasil budaa, antara lain sebagai berikut. (a) Pertunjukan wayang dengan kemahiran sang dalang, dapat menyajikan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup berupa nilai‑nilai budaya dan berbagai unsur budaya seni yang terpadu dalam seni pendalangan. Pertunjukan wayang yang didalamnya terdapat perpaduan antara sesuara, seni musik (gamelan) dan seni rupa, merupakan bentuk kesenian sangat disukai masyarakat Jawa. Menurut penelitian para ahli, wayang (wayang kulit) diciptakan oleh Sunan Kalijaga (salah seorang dari wali songo) pada abad 15 dan 16 di daerah Pesisir Utara Jawa dipakai untuk menyebarkan agama Islam.
Cerita pewayangan ini bersumber pada epos Ramayana dan Mahabrata yang diadopsi dari India. Kemudian cerita pertunjukan wayang dalam perkembangan selanjutnya juga menampilkan cerita‑cerita di luar patokan yang ada, sehingga merupakan bentuk variasi untuk menghilangkan kebosanan para penontonnya. Cerita‑cerita tersebut pada akhimya juga kembali lagi pada inti atau sumber cerita. Semula pertunjukan kesenian wayang hanya wayang kulit, kemudian berkembang menjkadi pertunjukan wayang golek, wayang beber, wayang orang dan sebagainya.
10.3.2 Reyog Ponorogo Kapan pastinya reyog Ponorogo dilahirkan, sampai sekarang orang masih meraba-raba. Sudah semestinya kalau orangbelum tahu juga bagaimana bentuk kesenian reyog tersebut ketika ia menampakkan diripertama kali. Menurut Prasasti Diyono tahun 682 Saka atau 760 Masehi Prabu Gajayana raja Kanyuruhan (daerah Malang) adalah raja yang elah mengupas kebenaran sejarah adanya reyog Ponorogo. Jika berpegang pada prasasti tersebut, maka ada tanda-tanda bahwa reyog memang sudah tua betul usianya. Namun jika mendasarkan pada legenda, yang bersumber dari zaman Kediri atau Jenggala (tahun 1045-1222), maka kelahiran reyog Ponorogo tergolong masih muda.
Reyog dilahirkan dan menjadi besar di Kota Ponorogo, namu akhirnya berkembang di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Johor Malaysia. Reyog biasanya disajikan dalam bentuk sendratari, yang terdiri dari empat babak, yang menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju Kerajaan Kediri ketika beberapa pembesar Ponorogo mempersunting putra-putri raja Kediri. Dalam prosesi ini pertunjukan reyog terdiri dari pemeran: kelompok pengawal, kelompok pendamping, kelompok pemain (penari), kelompok pemusik, dan kelompok pengiring. Ada satu ciri khusus pada kesenian reyog yang sekarang sudah mengalami degradasi yaitu ilmu mistik. Mereka menganggap bila reyog tidak didukung oleh ilmu mstik, maka maka tidak lengkap. Reyog juga memiliki lagu-lagu khusus dari daerah Ponorogo seperti: Ijo-ijo, Patrojayan, Sampak, Iring-iring, dan lainnya. Alat-alat musik pengiring reyog adalah gong, terompet, kendhang, ketipung, angklung. Alat-alat untuk penari atau pemain adalah: barongan dan dhadhak merak, topeng, dan kuda kepang.
10.3.3 Teater Ludruk Ludruk sebagai sebuah genre kesenian Jawa dapat dicari makna etimologisnya yang diperoleh dari berbagai informasi yang relevan. Informasi ini diperoleh dari tokoh seniman dan budayawan ludruk secara etimologis berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk. Molo-molo berarti mulutnya penuh dengan tembakau sugi (dan kata-kata koma yang pada saat keluar tembakau sugi) tersebut hendak dimuntahkan dan dikeluarkan kata-kata dalam bentuk kidung dan dialog. Manakala gedrak-gedruk berarti kakinya menghentak-hentak pada saat menari. Pendapat lainnya menyatakan bahwa istilah ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Gelo-gelo berarti menggeleng-gelengkan kepala pada saat menari, dan gedrak-gedruk berarti menghentakkan kaki dipentas saat menari. Jadi ludruk adalah pertunjukan dalam bentuk dialog, menggelengkan, kepala, dan menghentakkan kaki di pentas.
Era perkembangan ludurk dapat diklasifikasikan melelui beberapa tahapan genre. Secara historis perkembangan kesenian ini bermula dari ludruk bandan yaitu di abad 12 sampai 15. Abad 16 sampai 17 muncullah kesenian lerok yang dipelopori oleh Pak Sentik dari Jombang. Tahun 1915 pementasan sudah dimulai mengambil pemain besutan. Tahun 1931 bentuk besutan berubah menjadi ludruk yang berbentuk sandiwara dengan tokoh yang semakin bertambah jumlahnya. Tahun 1937 muncul tokoh baru dari Surabaya yaitu Cak Durasim, dan ludruk mulai menggunakan cerita legenda. Ludruk sebagai seni pertunjukan telah tercatat sejak 1822 yang menampilkan dua pelaku laki-laki yang seorang menjadi pelawak yang membawakan cerita dan seorang lagi sebagai penari yang berdandan wanita. Tahun 1942 tentara pendudukan Jepang menggunakan ludruk sebagai sarana propaganda politik. Berdasarkan pertumbuhannya ludruk merupakan fusi dari tiga genre, yaitu ngremo (tari kepahlawanan), dagelan (lawakan), dan cerita.
Adapun fungsi ludruk adalah: (a) sebagai sarana pendidikan masyarakat, (b) sebagai pemupuk rasa solidaritas kolektif, (c) sebagai alat hiburan yang memperkaya jiwa dan nilai estetika, dan (d) sebagai sarana alternatif cara berpikir dan mengendalikan kehidupan budaya. Jenis-jenis cerita ludruk adalah: mitologi, epos kerakyatan, sejarah, kehidupan sehari-hari, dan humor kerakyatan. Adapun temanya adalah tentang keadilan, pandangan hidup, dan keyakinan.
10.3.4 Teater Ketoprak
Membicarakan seni pertunjukan tradisional khususnya kethoprak tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tata hidup dan kehidupan masyarakat lingkungannya. Teater rakyat ini mempunyai keistimewaan dapat berkomunikasi langsung dengan rakyat untuk ikut memecahkan masalah-masalah pembangunan, dengan pengungkapan sederhana dan mudah diterima pikiran rakyat (A. Kasim 1980‑1981). Pada umumnya kelahiran teater rakyat didorong kebutuhan masyarakat terhadap hiburan, lalu meningkat untuk kepentingan lain, seperti kebutuhan akan mengisi upacara‑upacara. Teater rakyat kethoprak disangga oleh masyarakat Jawa, terutama Daersh Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Menurut Umar Kayam (1981), kebudayaan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan respons terhadap lingkungannya dan merupakan bentuk proses yang dinamis. Tradisi dalam kethoprak terutama tradisi Jawa mencakup bahass, akting, bloking, busana, rias, lagu, setting, properti, dan lain‑lainnya (Handung Kus Sudyarsana 1989:25). Sampai sekarang kethoprak terus ditopang masyarakatnya dalam menegakkan budaya bangsa, khususnya budaya seni pertunjukan berwarna lokal Jawa. .Kethoprak merupakan teater rakyat, sebagaimana dikemukakan A. Kasim Achmad, kethoprak merupakan teater tradisional Jawa. Seni pertunjukan kethoprak biasanya dilaksanakan pada malarn hari selama 3 sampai 4 jam.
R.M.A. Harymawan (1993:231) mengernukakan bahwa ciri‑ciri kethoprak itu sangat khas yakni: a. Kethoprak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam dialog, b. Cerita tidak terikat pada salah satu pakem, tetapi ada tiga kategori pembagian jenis, yaitu: (1) Cerita‑cerita tradisional seperti Timun Mas, Ande‑ande Lumut, Buto Ijo, dan Roro Mendut Pronocitro; (2) Cerita‑cerita babad, baik cerita lama maupun setelah Belanda masuk ke Indonesia; (3) Cerita-cerita masa kini seperti Gagak Sale, Ngulandara. c. Musik pengiringnya adalah gamelan Jawa, baik pelog maupun slendro. (4) Seluruh cerita dibagi‑bagi dalam babak besar dan kecil, perkembangannya sangat urut, tidak mengenal flash back seperti dalam film. (5) Dalam cerita kethoprak selalu ada peranan dagelan yang mengikuti tokoh‑tokoh protagonis maupun antagonis.
Bahasa Jawa dalam seni pertunjukan kethoprak meliputi 4 ragam yaitu: (1) ragam krama inggil ( halus dan tinggi); (2) ragam krama madya (halus sedang ); (3) ragam krama desa (halus desa), dan 4) ngoko (kasar). Adanya ragam berbahasa dalam kethoprak ini menunjukkan etika menyatu, sehingga disana termuat: (a) keindahan bahasa, (b) sifat peran, (c) tingkat darah dan kedudukan, (d) tingkat umur, dan (e) suasana dramatik.
Dalam tulisan ini perihal periodisasi kethoprak mengikuti pola pembabakan waktu seperti tercermin dalam uraian Lokakarya Kethoprak Tahap I di Yogyakarta pada tahun 1974. Handung Kus Sudyarsana (1989:15) menuliskan periodisasi kethoprak sebagai berikut: (1) Tahun 1887‑ 1925, periodisasi kethoprak lesung, dengan ciri ‑ciri: a. tetabuhan lesung; b. tari; c. nyanyian atau tembang; d. cerita; dan e. pakaian. (2) Tahun 1925‑1927, periodisasi kehoprak peralihan dengan ciri‑ciri: a. tetabuhan campur (lesung, rebana, alat musik Barat ); b. tari; c. nyanyian atau tembang; d. cerita; e. pakaian; dan e. rias. (3) Tahun 1927 sampai sekarang, periodisasi kethoprak gamelan, dengan ciri‑ciri : a. tetabuhan gamelan; b. cerita; c. nyanyian atau tembang; d. pakaian; dan e. rias. Hal yang penting selain periodisasi dalarn seni pertunjukan kethoprak adalah aspek‑aspek seni ( Handung Kus Sudyarsana 1989:24‑25 ) yang meliputi : 1. lakon, adalah susunan peran dengan pola perwatakan dan permainannya, pembabakan dan pengadeganan serta aspek‑aspek lain yang bersangkutan dengan kebutuhan lakon, baik tertulis rinci maupun tidak berdasarkan cerita kadang‑kadang dialog dalarn susunan lakon kethoprak ditulis secara full play, atau hanya garis besarnya; 2. Pemain, adalah orang‑orang yang membawakan peran-peran dalarn lakon; 3. Dialog, adalah percakapan antar pemain sebagai salah atu bentuk permainannya; 4. Akting, adalah bentuk‑bentuk dan sikap‑sikap pernain ketika membawakan peran dalarn lakon; 5. Bloking adalah posisi pernain ketika bermain; 6. Busana, adalah pakaian yang clikenakan para pernain; 7. Rias, adalah coretan ‑coretan, baik pada muka pernain maupun pada anggota badan mereka, termasuk rambut. 8. Bunyi ‑ bunyien, adalah suara‑ suara instrumen musik dan vokal, baik sebagai pengiring maupun ilustrasi babak, adegan, maupun tekanan‑tekanan gerak tertentu para pemain 9. Tradisi, adalah ketentuan‑ketentuan yang sudah menjadi kebiasaan. Tradisi dalarn kethoprak terutama tradisi Jawa, yang mencakup bahasa, akting, bloking, busana, rias, lagu, setting, properti , dan lain lainnya.
Kethoprak tak pemah berhenti sebagai seni pertunjukan, baik dari segi artistik, pengelolaan organisasi terus mengalami inovasi yang digerakkan seniman dan ditopang masyarakat penyangganya. Kethoprak dalam perkembangan budaya tetap berpijak pada tradisi Jawa, secara khusus tampak. pada bahasa, lakon, perneranan, dhalang atau sutradara, sehingge tradisi Jawa merupakan aspek penting yang menggerakkannya. Sisi lain hadimya modemisasi dalam bidang tehnologi seperti radio dan televisi dimanfaatkan oleh Seniman kethoprak guna mendukung eksistensi seni pertunjukan kethoprak dalam kebudayaan masyarakat Jawa
10.3.5 Tari Gambyong
Pura atau istana Mangkunegaran di Surakarta merupakan istana yang sangat produktif dalam melahirkan karya‑karya pertunjukan. Langendriyan, sebuah opera tari dari Jawa yang ditarikan oleh penari wanita semuanya tercipta di Istana Mangkunegaran pada tengah kedua abad ke‑19. Teknik tari yang banyak meminjam teknik tan Jawa gaya Yogyakarta, dilakukan pula oleh pura Mangkunegaran. Tari Gambyong yang merupakan penghalusan dari yang aslinya dilakukan oleh penari ledhek dilahirkan oleh para Mangkunegaran. Bahkan ketika Mangkunegaran mengirim misi kesenian ke negari Belanda pada masa pemerintahan Mangku Negara V (1881‑1896). Tari Gambyong untuk pertarna kahnya ditampilkan pada forum yang sangat bergengsi. Temyata perhatian para paka‑r budaya dari negeri Belanda terhadap tari yang diangkat.dari tari rakyat ini cukup besar. Maka sejak pengiriman misi kesenian ke negeri Belanda itu Tari Gambyong selalu ditampilkan dalam. menyambut tamu‑tamu istana (Sri Rohana W. 1994).
Pertunjukan yang fungsi utamanya sebagai ritual kesuburan pemikahan dan pertanian ini pada menjelang tengah malarn berubah menjadi pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan pribadi bagi kaum pria. Penampilan tayub sebagai hiburan pribadi ini hanya bisa terlaksana dengan hadimya ledhek yaitu penari wanita yang bertugas sebagai penghibur para pria yang ngibing atau manari bersamanya. Yang menjadi sumber penggarapan Gambyong di istana Mangkunegaran bukanlah ledhek yang sedang menari bersama penari pria, akan tetapi penampilannya ketika ia sedang menari sendiri sambil berusha menarik para pria yang berduit yang ingin ngibing bersamanya. Sudah barang tentu oleh karena tujuan penciptaan tari Gambyong sangat berbeda dengan penampilan penari ledhek pada waktu menari sendiri sambil menarik perhatian pria yang berada di sekitarnya, tembang atau nyanyian Jawa yang dilantunkan ditiadakan. Selain itu apabila penari ledhek dalam menari ia lebih banyak melakukan gerak‑gerak improvisasi, Gambyong memiliki patokan‑patokan yang telah ditentukan oleh istana.
Dalam perkembangannya yang lebih kemudian, Gambyong menjadi sebuah reportoar tari tunggal yang bisa pula ditampilkan dalam bentuk koreografl kelompok, bahkan juga massal. Walaupun telah diperhalus, namun Gambyong yang berasal dari rakyat ini, pada tata busananya masih tetap ditampilkan dalam busana yang cukup sederhana. Penari Gambyong hanya mengenakan kain pembalut tubuh bagian bawah dengan diberi lipatan‑lipatan (wiru) di bagian depan, serta pembalut torso yang disebut dengan angkin yang masih memperlihatkan sedikit bagian atas dari dadanya. la sama sekali tidak menggunakan sabuk, sedangkan selendang atau sampurnya hanya disampirkan di pundak kanan. Kepala yang digelung hanya diberi hiasan sekedarnya, yaitu sisir serta bunga. Penampilannya di atas pentas juga masih memperlihatkan bahwa asalnya dari tari yang menghibur para pria, yaitu dengan sedikit senyuman yang menawan. Para koreografer masih memiliki peluang untuk mencipta Gambyong dengan gaya pribadi, yang biasanya diberi nama sesuai dengan gendhing atau lagu gamelan yang mengiringi, seperti misalnya Gambyong Pangkur, Gambyong Sumyar, dan Gambyong Ayun‑ayun. Ada sebuah tari Gambyong yang lain daripada yang lain yaitu Gambyong Pareanom. Nama Gambyong ini mengacu pada warna bendera Mangkunegaran yang memiliki warna hijau dan kuning. Untuk menandai Gambyong ini, mekak yaitu busana bagian atas sejenis strapless berwarna hijau dan sampur selendangnya berwarna kuning.
10.3.6 Tari Bedhoyo KetawangMenurut penulis kitab Wedhapradangga, pencipta tai Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613‑1645), raja pertama terbesar dari Kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu. Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan. parapakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon pencipta gendhing pun menjadi sempurna. setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya, dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi juga dipertunjukkan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau Tingalan Dalem Jumenengan.
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke‑XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk tatanan pertunjukannya, masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan. Busana Tari Bedhoyo Kelawang menggunakan dodot ageng dengan motif Banguntulak alas‑alasan yang menjadikan penarinya terasa.anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo. Instrumen gamelan yang dimainkm hanya beberapa, yakni kemanak, kethuk, kenong, kendhang ageng, kendhang ketipung, dan gong ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua buah kendang ageng bernama Kanjeng Kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab bemaina Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta sehuah gong ageng bemama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII kini diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya’ban dalam kalender Jawa. Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan: (1) adat upacara (seremoni); (2) sakral; (3) religius; (4) tarian percintaan atau tari perkawinan.
1. Adat upacara. Bedhaya Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan semata‑mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khusus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidak dibenarkan orang merokok. Makanan, minuman, atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalwmya upacara adat yang suci ini. Sakral Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk halus. Bahkan dipercaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang penciptanya selalu hadir bahkan ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, kecuali mereka yang peka indrawinya saja, sang pencipta mampu dilihat. Konon dalam latihan‑latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini terlihat membetul‑betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka terkadang penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya. Ada dugaan, bahwa semula Bedhaya Ketawang itu adalah suatu tarian di candi‑candi.
2.Religius Segi religius dapat diketahui dari kata‑kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya. Antara lain ada, yang berbunyi : ... tanu astra kadya agni urube, kantar‑kantar yen mati ngendi surupe, kyai?" ( kalau mati kemana tujuannya, kyai?). 3.Tari Percintaan atau Tarian Perkawinan. Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam gerak‑gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah dibuat demikian halusnya, hingga mata awam kadangkadang sukar akan dapat memahaminya. Satu‑satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan suatu perkawman ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai lazimnya temanten/mempelai yang akan dipertemukan. Tentang hal kata‑kata yang tercantum dalam nyanyian yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng Ratu, merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta dirasakan, pemirsa yang mengerti kata‑katanya, dianggap akan mudah membangkitkan rasa birahi. Aslinya pergelaran ini berlangsung selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan pengurangan, hingga akhimya menjadi hanya satu setengah jam saja. Bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khusus ini berlaku suatu kewajiban khusus. Sehari sebelum tarian ditarikan para anggota kerabat Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa‑masa dahulu masih ditaati benar. Walaupun terasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhaya Ketawang yang khusus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan penuh rasa tulus dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhaya Ketawang merupakan suatu karya pusaka yang suci. Untuk inilah mereka semua mematuhi setiap peraturan tatacara yang berlaku.
Bagi para penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat yang dipercaya, mereka ini akan langsung berhubungan dengan Sang Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalain keadaan suci, baik pada masa‑masa latihan maupun pada waktu pergelarannya. Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng Ratu Kidul hanya dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila cara menarinya masih kurang betul. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang diadakan pada hari‑hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), setiap penari dan semua pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci. Persiapan‑persiapan untuk suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik‑baiknya, dengan sangat teliti. Bila ada yang merasa menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping sejumlah penari yang tersedia diperlukan penari-penari cadangan. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari‑penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunan menarinya, akan lebih dapat terjamin.
Siapakah Pencipta Bedhoyo Ketawang ? Pertanyaan ini timbul, karena orang mulai berpikir, mengapa. Bedhaya Ketawang itu dipandang demikian sucinya. Menurut tradisi, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai karya Kangjeng Ratu Kidul Kencanasari, yang adalah Ratu mahluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar Samudera. Pusat daerahnya adalah Mancingan, Parangtritis, di wilayah Yogyakarta. Tetapi menurut R.T. Warsadftiingrat (abdidalem nryaga Kraton Solo), sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul hanya menambahkan dua orang penari lagi, sehingga, sembilan orang, kemudian penari tersebut dipersembahkan kepada Raja Mataram. Menurutnya penciptanya awal justru adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah satu rombongan yang terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut Lenggotbawa. Iringan gamelan awalnya hanya lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas: 1. gending ‑ kemanak, laras jangga kecil /manis penunggul; 2. kala – kendhang 3. sangka, ‑ gong 4. pamucuk ‑ kethuk 5. sauran ‑ kenong.
Jika demikian, maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umr Bedhaya Ketawang sudah tua sekali, lebih tua daripada Kangjeng Ratu Kidul. Bahkan menurut G.P.H. Kusumadiningrat, pencipta Lenggotbawa adalah Bathara Wisnu, tatkala duduk di Balekambang. Tujuh buah permata yang indah‑indah telah diciptanya dan diubah wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita yang kemudian menari‑nari mengitari Bathara Wisnu dengan arah memutar ke kanan . Melihat hal ini sang Bathara sangat senang hatinya, karena dewa dianggap tidak pantas menoleh ke kanan dan ke kiri, maka diciptanyalah mata yang banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di seluruh tubuhnya.
Menurut Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta Kangjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun selalu dapat dielakkan oleh Sunuhun, bahkan Ratu Kidul lalu memohon, agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rwnawijaya di dasar lautan.). Namun Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai sangkan paran. Selanjutnya begitu beliau mau mempensunting Kangjeng Ratu Kidul, konsekuensinya secara turun temurun. Keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada saat peresmian kenaikan tahtanya. Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta datang di daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari‑penari kesayangan Sinuhun. Pelajaran tarian ini diberikan setiap hari Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kangj eng Ratu Kidul diperkirakan akan hadir.
Gendhmg yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang geron.g Garnelan iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dan lima macam jenis: kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar ialah suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak). Anehnya, di tengah‑tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga akhimya. Pada bagian (babak) pertana diiringi sindhen Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari ke luar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat garnelannya ditambah dengan rebab, gender garnbang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng Sasanasewaka, dengan bedalan berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana (dhampar). Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain‑lainnya, para penari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka. Pada tarian bedhaya atau serimpi biasa, penari‑penari keluar‑masuk dari sebelah kanan Sinuhun, dan kembalt melalut jalan yang sama.
10.3.7 Wayang Wong
Wayang Wong adalah nama sebuah drama tari yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Di Bali, wayang wong merupakan drama tari bertopeng yang menggunakan dialog bahasa Kawi yang selalu menampilkan wiracarita Ramayana. Di Jawa Tengah isitilah ini dipergunakan untuk menyebut pertunjukan drama tari berdialog Jawa prosa yang biasanya membawakan lakon‑lakon dan cerita Mahabharata dan Ramayana, yang diciptakan oleh Adipati Mangku Negara I pada akhir tahun 1750‑an. Pada akhir abad ke‑19, pertunjukan istana ini berhasil dikeluarkan dari tembok istana oleh pengusaba China kaya bernama Gan Kam dan dikemas sebagai pertunjukan profesional dan komersial. Oleh karena itu, jangkauan penontonnya sangat luas. Istilah wayang wong sering disebut pula wayang orang. Bahkan oleh karena pertunjukannya ditampikan di atas panggung dan bukan pendapa lagi, drama tari Jawa yang pernah mengalami masa jaya pada tahun 1950‑an dan awal tahun 1960‑an ini, untuk membedakan dengan pertunjukan wayang wong yang lain disebut wayang orang purwa. Di daerah Istimewa Yogyakarta pernah berkembang pula dengan baik sebuah drama tari berdialog bahasa Jawa prosa yang j uga bernama wayang wong. Berbeda dengan wayang wong yang diciptakan oleh Adipati Mangku 1, wayang wong dari istana Yogyakarta merupakan drama tari ritual kenegaraan, yang diciptakan oleh Hamengku Buwana I pada akhir tahun 1756. Di Jawa Barat, pernah berkembang pula sebuah tontonan berbentuk drama tari berdialog bahasa Sunda prosa yang disebut wayang wong. Dari aspek kesejarahannya, jelas bahwa wayang wong Priangan ini mendapat pengaruh yang sangat besar dari wayang wong Jawa Tengah. Yang akan dibahas dalam bagian ini adalah wayang wong gaya Yogyakarta yang sampai pada tahun 1929 merupakan pertunjukan ritual kenegaraan yang sangat megah.
Apabila dilacak sejarahnya, sebenarnya pertunjukan drama tari yang bernama wayang wong itu sudah sangat tua. Sebuah prasasti Jawa Kuna yaitu prasasti Wimalasmara yang berangka tahun 930 M., telah menyebut pertimjukan ini dengan istilah Jawa Kuna, wayang wwang. Namun demikian kita tidak bisa membayangkan pertunjukan itu seperti apa. Sebuah karya sastra kakawin Sumanasantaka dari Jawa Timur dari abad ke‑12 juga menyebutkan pertunjukan wayang wwang ini. Walaupun tidak jelas gambaran cerita‑cerita yang berasal dan wiracerita yang dibawakan pasti berkisar pada Ramayana atau Mahabharata. Ketika pusat kebudayaan Jawa berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sejak abad ke‑10, para sastrawan Jawa, mulai menampilkan. ceritera yang benar‑benar berpijak pada. sumber‑sumber Jawa, yaitu Panji. Bisa diperkirakan bahwa seniman Jawa, pada masa Jawa Timur juga berupaya, untuk menghadirkan sebuah drama tari yang tidak menampilkan wiracerita Ramayana dan Mahabarata, melainkan menampilkan cerita Panji. Drama tari itu disebut raket. Kakawin Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, pada tahun 1365 telah membicarakan panjang lebar pertunjukan raket ini. Walaupun kita tidak bisa. mendapatkan gambaran bentuk tontonan istana ini dengan jelas, namun setidak‑tidaknya ada petunjuk bahwa raket merupakan pertunjukan ritual untuk kesuburan dan kemakmuran negara. Sang raja sendiri, Hayarn Wuruk serta ayah sang raja Kertawardhana sering tampil pula dalam pertunjukan ini (Theodore G.Th. Pigeaud 1960‑1963).
Robson dalam disertasinya yang berjuudul Wangbang Widey: A Javanese Panji Romance (1971), mengutarakan. bahwa raket (juga disebut raket lalangkaran) merupakan bentuk lain atau nama lain dari gambuh. Diduga keras bahwa di samping lahirnya drama tari yang disebut raket, drama. tari wayang wwang yang membawakan wiraceritera, Ramayana dan Mahabharata, masih tetap berkembang. Asumsi ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa di Bali yang merupakan pelestari budaya Jawa. Timur, baik gambuh maupun wayang wwang atau wayang wong sampai kini masih hidup. Hanya saja drama tari yang sudah sangat tua, yang diperkirakan. masuk ke Bali dari Jawa Timur pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke‑15, terdesak oleh genre‑genre drama tari yang lebih baru. Dengan cara membandingkan pertunjukan wayang wong Bali dengan relif candi Panataran yang menampilkan wiracerita Ramayana, bisa diperkirakan penampilan wayang wwang pada zaman Jawa Timur itu seperti pada penampilan yang tergores pada relif candi Panataran. Adapun teknik tarinya kemungkinan besar seperti wayang wong Bali yang selalu menampilkan ceritera Ramayana.
Di Bali pertunjukan wayang wong selalu membawakan wiraceritera Ramayana, dan semua penarinya mengenakan topeng penuh. Apabila drama tari yang membawakan lakon dan wiracerita Mahabharata dinamakan parwa; kemungkinan besar nama,lengkap dari kedua drama tan itu adalah wayang wong Ramayana dan wayang wong Parwa. Mengenai kedua drama tan Beryl de Zoete dan Walter Spies (1973) yang pernah tinggal lama di Bali pada, tahun l930‑an sering menyaksikan kedua bentuk seni pertunjukan. itu sebenarnya merupakan genre yang sama. Bedanya, wayang wong dipertunjukkan pada sore han, sedangkan parwa pada malam hari menyusul pertunjukan wayang wong. Wayang wong yang merupakan drama tari bertopeng dengan menampilkan Rama sebagat sang pahlawan pada sore hari, parwa merupakan drama tari tak bertopeng yang menampilkan Muna sebagai pahlawan pada malam. hari.
Dengan cara. membandingkan antara relif candi Panataran yang menggambarkan wiracenta Ramayana serta relief candi‑candi di Jawa. Timur yang menampilkan. wiracenta Mahabharata seperti candi Jago, Tigawangi, Surawana, dan Kedaton dengan pertunjukan wayang wong dan parwa dan Bali, dapat diperkirakan bahwa pertunjukan wayang wwang pada zaman Jawa Timur mirip dengan pertunjukan wayang wong dan parwa Bali sekarang ini. Dugaan ini bisa diperkuat lagi apabila busana yang terekarn pada relif candi Panataran dan candi‑candi lain di Jawa Timur dibandingkan dengan busana yangg tersungging pada wayang kulit Bali yang menampilkan. lakon‑lakon dari wiracerita Ramayana dan Mahabharata. Pertunjukan. wayang kulit Bali yang membawakan ceritera Ramayana. biasa disebut sebagai Wayang Ramayana, sedangkan yang menampilkan lakon‑lakon dari wiracerita Mahabharata, disebut Wayang Parwa.
Apabila dilacak sejarahnya, sebenarnya, penciptaan wayang wong di istana Yogyakarta merupakan upaya, untuk menghidupkan. kembali pertunjukan wayang wwang dari masa Majapahit. Kiblat Sultan Hamengku Buwana I ke Majapahit sangat beralasan, oleh karena sebagai raja yang baru dan kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram Surakarta, ia ingin menampilkan sebagai raja yang sah yang mewarisi takhta dari garis keturunan Majapahit. Dalam tradisi Jawa, seorang yang ingin menjadi raja bukan saja karena ia terbukti masih merupakan keturunan dan raja terdahulu akan tetapi ia harus memiliki wahyu, berbagai benda pusaka, serta bisa menjaga keseimbangan dunia dengan melakukan. hubungan spiritual dengan berbagat kekuatan alarn (Heine Geldern 1956). Ada tiga wahyu penting yarig harus dimillki oleh raja, yaitu wahyu nubuwah, whiyu hukumah, dan waliyu wilayah. Wahvu nubuwah mengesahkan raja sebagal wakil Tuhan; wahyu huumah mengesahkan raja adalah sumber hukum; dan wahyu wilayah mengesahkan raja sebagai penguasa dunia (SeloSoemardjan 1962; juga Darsiti Soeratman 1989).
Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan setengahnya yang menjadi hak Sultan Hamengku Buwana I yang menggunakan nama kerajaan barunya, Kasultanan Ngayogyakarta Adiningrat. Ada beberapa pusaka yang diserahkan oleh Paku Buwana III kepada pamannya, Sultan Hamengku Buwana . Pusaka‑pusaka itu yang merupakan warisan dari raja‑raja terdahulu ada yang berupa senjata tajam seperti tombak Kanjeng Kyai Plered, Kanjeng Kyai Baru, Kanjeng Kyai Megatruh, Kanjeng Kyai Gadatapan, Kanjeng Kyai Gadawedana, yang berupa keris yaitu Kanjeng Kyai Kopek, Kanjeng Kyai Bethok, Kanjeng Kyai Sengkelat, dan Kanjeng Kyai Jakapiturun; yang berupa bendera yaitu Kanjeng Kyai Tunggulwulung, Kanjeng Kyai Pare Anom, Kanjeng Kyai Puja, dan Kanjeng Kyai Puji; yang berupa gong perang yaitu Kanjeng Kyat Tundung Mungsuh; Kanjeng Kyai Sima, Kanjeng Kyai Udanurum, dan Kanjeng Kyai Bijak; tiga tempat menanak nasi yaitu Kanjeng Kyai Blawong, Kanjeng Kyai Kendhil Siyem, Kanjeng Kyai Berkat; juga sebuah gendang bernama Kanjeng Kyai Meyek, serta. sebuah baju Kanjeng Kyai Antakusuma atau Kanjeng Kyai Gundhil. Adapula sekitar 20 wayang kulit yang dianggap sebahai pusaka lain Kanjeng Kyai Jayaningrum (Arjuna), Kanjeng Kyai Bayukusuma (Bima), dan sebagainya. Sebuah kitab ada yang dikeramatkan yang juga dianggap sebagai pusaka yaitu Kanjeng Kyai Surjaraja. Dua buah kereta berkuda kebesaran yang juga dianggap sebagaipPusaka adalah Kanjeng Kyai Jimat (Sultan Hamengku Buwana III, 1814‑1822) dan Kanjeng Kyai Garudha Yeksa (Sultan Hamengku Buwana VI, 1855-1877). Kedua kereta itu oleh kalangan umum disebut sebagai kereta kencana. Salah satu seni pertunjukan yang dianggap sebagai seni pusaka adalah wayang wong, yang diciptakan kembali oleh Sultan Hamengku Buwana 1.
Sudah barang tentu timbul pertanyaan, mengapa wayang wong diangggap sebagai pusaka Soedarsono dalain disertasinya yang berjudul Wayang Wong: The State Dance Drama in the Court of Yoyakarta (1983) telah membuktikan bahwa pertunjukan wayang wong di keratOn Yogyakarta bukanlah sekedar pertunjukan akbar sebagai kebanggan istana akan tetapi memiliki makna yang lebih dalam yaitu sebagai pertunjukan guna menambah legitimasi kehadiran raja di atas tahta. Tema‑tema yang ditampilkan dalam lakon‑lakon wayang wong selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga yaitu Pandawa dan Kurawa. Pertunjukan‑pertunjukan akbar yang berlangsung dalam dua sampai empat hari empat malam itu selalu memperingati peristiwa‑peristiwa penting dalam kehidupan istana, yaitu ulang tahun bedirinya, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, ulang tahun penting yang dalam tradisi Jawa disebut tumbuk yang teejadi delapan tahun sekali, serta pernikahan putra‑putri Sultan.
Ciri‑ciri ritual dari pergelaran wayang wong ialah : (1) tempat pertunjukan di Tratag Bangsal Kencana, dan Sultan sendiri duduk di tengah‑tengah Bangsal Kencana mengahadap ke timur; (2) pemilihan waktu pergelaran yang dimulai sejak jam enam pagi selalu mengikuti perhitungan kalender Jawa; (3) para penarinya adalah pernari terpilih, bahkan laki‑laki semua; (4) selain disediakan seperangkat sesaji juga terdapat doa‑doa yang isinya mengharapkan kemakuran negara dan raja. Bangsal Kencana adalah bangsal tanpa dinding yang merupakan pusat dari bangunan keraton. Tempat ini biasanya dipergunakan sebagai tempat penghadapan pejabat tinggi negara untuk membuktikan kesetiaan mereka terhadap Sultan. Tepat di tengah‑tengah Bangsal Kencana Sultan ketika menyaksikan pertunjukan wayang wong duduk sendirian di atas kursi kebesaran menghadap ke timur. Pertunjukan yang dimulai tepat jain 06.00 pagi memiliki makna, bahwa pertunjukan itu dipersembahkan juga kepada Dewa Matahari yang dalam pantheon Jawa adalah Dewa Surya. Dalam tradisi Jawa Hindu, Dewa ini identik dengan Dewa Wisnu, yang dalam pantheon Hindu merupakan Dewa Pemelihara Dunia. Gelar Sultan Hamengku Buwana memiliki makna "Pemelihara Dunia." Hal ini berarti bahwa ketika Sultan menyaksikan wayang wong, Sultan juga melakukan penghormatan kepada Dewa Surya atau Wisnu, yang sebenarnya adalah dirinya sendin. Mungkin pada, saat itulah Sultan melakukan meditasi untuk menyatu dengan Dewa Surya atau Wisnu, sesuai dengan konsep, kerajaan klasik Jawa yang mengacu kepada, konsep devaraja dari India, akan tetapi dalam tata, kehidupan politik di Jawa, dijabarkan menjadi ratu gung binathara yang berarti raja besar yang didewakan. Pencandraan Sultan Hamengk Buwana I sebagai Dewa Wisnu banyak dijumpat dalam kitab‑kitab babad Babad Mangkubumi misalnya mengibaratkan pangeran Mangkubumi (nama Hamengku Buwana I sebelum naik tahta), Lir Pendah Wisnu Bhatara' yang berarti setampan Batara Wisnu (M.C. Ricklefs 1974). Adapun Babad Mentawis mencandra Sultan Lir upama ywang Wisnu lagya arseng tumameng marcapada yang berarti "Seperti Ywang Wisnu yang sedang akan turun ke marcapada."
Penggunaan perari laki‑laki semua dalam pergelaran wayang wong kemungkinan besar untuk menjaga jangan sampai pertunjukan yang berlangsung selama dua sampai empat hari empat malam itu tercemar, seandainya ada penari perempuan sekoyong-koyong dalam keadaan haid. Bahkan tari Bedhaya Semang yang pernah beberapa kali tampil di keraton Yogyakarta, ditarikan oleh sembilan penan pria, walaupun bedhaya adalah tari putri. Doa‑doa, keselamatan, serta kemakmuran bisa dijumpai pada akhir teks dan pertunjukan yang disebut Serat Kandha sebagai bukti bahwa pergelaran wayang wong di Yogyakarta merupakan sebuah ritual kenegaraan, semua kawula dalem atau rakyat Yogyakarta diizinkan oleh Sultan untuk menyaksikan. Groneman dalarn sebuah ulasannya tentang sebuah pertunjukan wayang wong yang pernah ia saksikan pada akbir abad ke‑19 yang dituangkan dalam bukunya, berjudul De Wayang Orang Pregiwa in den Kraton te Yogyakarta (1899) mengatakan bahwa setiap harinya pertunjukan akbar itu dikunjungi oleh tidak lebih dari 30.000 orang. Penonton yang berjumlah ribuan itu sebenamya tidak bisa menikmati pergelaran dengan baik oleh karena semuanya duduk di atas halaman berpasir di bawah pohon sawo yang ridang. Namun demikian penduduk Yogyakarta itu tetap setia duduk dengan tenangnya tanpa ada yang berisik. Walaupun mereka tidak bisa menyaksikan serta menikmati pertunjukan yang langka itu, namum mereka sudah puas apabila sudah bisa duduk di pelataran istana yang sejuk itu mereka percaya bahwa kehadiran mereka di dalam keraton sudah mendapatkan berkah keselamatan dari Sultan.
10.3.8 Musik atau Karawitan
Di Jawa, gamelan adalah sebuah istilah umum untuk ensambel musik. Gamelan terdiri dari beberapa alat musik dengan berbagai ukuran, yang jumlahnya bisa mencapi 75 buah. Variasi seperti ini dijumpai tidak hanya dari satu pulau ke pulau lainnya di seluruh Indonesia, tetapi misalnya di pulau Jawa sendiri gamelan memiliki berbagai variasi. Penelitian secara etnomusikologis sejauh ini banyak dilakukan terhadap berbagai tradisi musik yang dijumpai di Jawa dan Bali. Meskipun orang-orang Barat selalu berpikiran bahwa musik gamelan hanyalah instrumentalia, tetapi banyak juga nyanyian yang merupakan musik yang tak kalah pentingnya pada komposisi musik di Jawa Tengah dan Timur. Seorang penyanyi wanita solo (pesindhen), seorang penyanyi lelaki membawa suara unisono (gerong) atau laki-laki pembawa suara campuran (gerong bedayan) sering dipergunakan dan tepukan tangan yang lembut membawa ketukan dasar dapat disaksikan dalam pertunjukan musik Jawa. Suara yang lembut, yang merupakan ornamentasi musik paduan suara dapat dikatakan berhubungan dengan melodi yang dihasilkan rebab yang bersenar dua, sebuah lute gesek. Penyanyi wanita solo menyajikan melodi bersama suling, end-blown flute. Pada beebrapa komposisi gamelan digunakan alat musik zither bersenar yang disebut celempung, juga sebuah alat musik zither yang disebut siter, senarnya 26 dilaras ganda menghasilkan 13 nada.
Alat musik yang paling banyak digunakan dalam gamelan adalah metalofon tembaga. Terdiri dari saron, satu set bilahan di atas kotak resonator. Dimainkan dengan tabuh. Memiliki tiga ukuran, yang paling kecil saron panerus atau peking, yang pertengahan adalah saron barung, dan yang paling besar adalah saron demung. Alat musik lainnya adalah xilofon kayu yang disebut gambang kayu. Selain itu ada pula alat musik pembawa melodi lainnya yang disebut gendher, bilahan-bilahan kecil dari tembaga diletakkan di atas tabung resonator. Seperti saron, gendher memiliki tiga ukuran, yang kecil gendher panerus, yang pertengahan gendher barung, dan yang terbesar gendher panembung atau slentem. Keluarga gong berpencu yang diletakkan di atas rak disebut dengan bonang, gunanya membawa waktu dalam musik. Dipergunakan onomatopeik ketuk, kenong, kempul, dan gong untuk alat-alat musik pembawa siklus waktu. Alat musik pembawa ritmik yang paling utama dalam ensambel gamelan adalah kendhang, berbentuk barel dua sisi. Di Jawa juga ditemukan alat musik angklung yang terbuat dari bambu fungsinya membawa melodi. Istilah yang paling umum untuk komposisi musik adalah gendhing. Unit yangutama dalam karawitan Jawa adalah siklus gongan. Sistem musik Jawa biasanya ditulis dalam notasi Kepatihan, ada juga santiswara, dan notasi taman siswa.
Unsur tangga nada dalam musik Jawa terdiri dari dua laras, yaitu slendro dan pelog. Setiap tanga nada ini terdiri atas tiga pathet (modus). Tangga nada slendro terdiri dari pathet manyura, sanga, dan nem. Sementara tangga nada pelog terdiri atas pathet lima, nem, dan barang. Nama-nama nada untuktanga nada slendro adalah nem, siji atau barang, loro atau gulu, telu atau dada, dan lima. Untuk tangga nada pelog, nada-nada yang digunakan adalah: nem, pitu atau barang, siji atau penunggul atau bem, loro, telu, papat atau pelog, dan lima. Demikian sekilas keberadaan karawitan atau musik tradisional Jawa.
Daftar Pustaka untuk Mendalami KajianBecker, Judith, 1976. Traditional Music in Modern Java. Honolulu: University of Hawaii Press.
Depdikbud, 1997. Perkembangan Ludruk di Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Hartono, 1980. Reyog Ponorogo. Jakarta; Depdikbud.
Hood, Mantle, 1954. Patet in Javanese Music. Groningen: Wolters.
Hood, Mantle, 1971. The Ethnomusicologist. New York: McGraw-Hill Book Company.
Kunst, Jaap, 1949. Music in Java. The Hague: Martinus Nijhoff.
R.M. Soedarsono, 1983. Wayang Wong: The State Dance Drama in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarso, Sp. (ed.), 1991. Beberapa Catatan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta: B.P. ISI Yogyakarta.
Wardiman Jayakusuma, 1992. Seni Tari Jawa. Surabaya: Penerbit Sinar Ilmu.
Achmad A., 1997. Kesenian Nusantara. Surabaya: Rineka Cipta.
[1]Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, geta, koko atau juga kelapa. Di antara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di Sumatera Utara di antaranya adalah Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin Arman seorang tokoh politik dan ali parlemen di Kabupaten Deli Serang, Djati Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang menyiarkan khas budaya Jawa, Dr. Subanindyo Hadiluwih, S.H., seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai kebudayaan Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Di bidang kesenian, umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling banyak didukung oleh seniman beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Di antara seniman-seniman seni Melayu yang berasal daripaa etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan kesenian Patria, ia seniman serba boleh, pemusik, penari, koreografer, pelakon, dan penulis drama sekali gus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu yang handal. Di sisi lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu terkemuka di Sumatera Utara.
Bagi kita bangsa Indonesia, menyadari bahwa suku Jawa adalah suku yang mayoritas jumlahnya di Indonesia, walau asal mereka adalah dari Pulau Jawa yang relatif lebih kecil dibanding pulau-pulau besar lainnya. Selain itu, dalam sejarah di Nusantara, orang-orang Jawa ini pernah menjadi penguasa Nusantara terutama di era Majapahit. Mereka menguasai kawasan-kawasan di seluruh Indonesia sampai ke Dataran Asia Tenggara. Saat itu yang terjadi memang adalah ambisi perluasan teritorial demi sebuah kerajaan besar.
Selepas Indonesia merdeka pun kekuasaan politik tetap dipegang oleh orang-orang Jawa. Presiden Republik Indonesia pun sebagian besar dipegang oleh etnik Jawa sejak kita merdeka. Namun wakil presidennya telah diisi oleh berbagai kelompok etnik yang ada di Indonesia. Orang-orang Jawa juga terkenal dengan pola adaptasinya yang lentur dengan berbagai kelompok etnik di Indonesia. Karena mereka memiliki jumlah yang besar dan pulau Jawa tak lagi mampu menampung kehidupan mereka, sebahagian orang-orang Jawa ini merantau atau bermigrasi ke berbagai tempat di Nusantara, seperti ke Kalimantan, Sumatera (terutama Sumatera Utara), bahkan sampai ke Semenanjung Malaya, dan yang jauh sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan berbagai tempat lainnya di dunia. Mereka juga membawa kesenian dan sistem budanyanya di tempat perantauan dan juga beradaptasi dengan budaya setempat. Mari kita lihat masyarakat dan kesenian suku Jawa ini.
10.2 Msyarakat Jawa
Daerah kebudayaan Jawa dapat dikatakan sangat luas, yang meliputi bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Walaupun demikian ada daerah‑daerah yang secara kolektif sering disebut daerah Kejawen. Sebelum ada perubahan status wilayah seperti sekarang ini daerah itu meliputi Banyumas Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di tuar tersebut dinamakan daerah pesisir dan ujung timur.
Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan terjadinya perjanjian Giyanti 1755 pusat kebudayaan Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang Jawa terdapat variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Namun kalau diteliti lebih jauh hal‑hal itu masih merupakan suatu pola atau satu sistem daalm satu kebudayaan Jawa.
Agama yang dianut mayoritas, penduduknya adalah agama Islam, kemudian agama Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Orang santri adalah mereka yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan orang Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa, dan tidak bercita‑cita naik haji, tetapi mereka mengakui ajarn-ajaran agama Islam pada umumnya. Orang Jawa mempunyai kepercayaan adanya suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah mereka kenal, yakni kesakten, kemudian arwah atau roh le1uhur dan mahluk‑mahluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, jin, dan lain sebagainya. Mahluk‑mahluk tersebut bertempat tinggal di sekitar kediaman mereka. Menurut kepercayaan masing‑masing mahluk‑mahluk tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan--tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pemikiran, kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Bila seseorang ingin hidup tanpa menderita ganguan, ia harus berbuat sesuatu untuk mernpengaruhi alarn sernesta dengan berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan‑makanan tertentu, berselarnatan, dan bersaji. Kedua cara terakhir ini kerap kali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa‑desa pada waktu tertentu dalam peristiwa kehidupan sehari‑hari.
Orang Jawa meskipun pada umumnya diketahui sebagai penghuni daerah agraris, merek sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai bentuk seperti perdagangan, pendudukan kerajaan-kerajaan Jawa, migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di Nusantara, terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirdjo 1988:10). Kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau Sumatera di antaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawannya merupakan keturunan orang-orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan dengan pihak Kerajaan Jawa. Begitu juga Kerajaan Malaka. Kampung Jawa di sana-sisni dibangun sejak zaman dahulu, seperti di Daerah Deli terdapat pemukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut Kota Jawa (Luckman Sinar 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson (Anderson 1971:136).
Di Semenanjung Malaya juga terdapat sejumlah migran orang Jawa yang kini sudah turun-temurun dan menetap di situ. Di samping itu, perpindahan orang Jawa secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia adalah yang didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880, dengan menggantikan kuli orang Tionghoa mereka mulai dibawa ke Sumatera Timur dan setelah tahun 1910 kedatangan mereka bertambah banyak. Mereka awalnya terikat dengan sebuah kontrak dengan disertai peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka yang disebut Penale Sanctie. Namun demikian, sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja tersebut didasarkan pada kontrak yang merugikan para buruh (Reid 1987:82-83).
Pada masa kini, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah. Trasmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan penduduk dan padatnya penduduk di pulau Jawa, kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Orang Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan orang di lingkungannya, dan mementingkan keharmonisan. Meskipun orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera sering disebut Pujakesuma, watak dan kebiasaan yang berdasarkan budaya mereka sendiri tetap disampaikan daripada orang tuanya. Mereka mengatasi ego dan nafsu demi ketenangan hidup dan kebijaksanaan, dan sukarela bekerja untuk umum dengan cara gotong-royong. Para migran orang Jawa yang umumnya terdiri dari petani kecil hidup sederhana, dan menerima kesengsaraan dengan menganggap hidupnya memang begitu. Namun tak lupa mempertahankan nama dan harga dirinya (Sadarmo dan R. Suyono 1985:2).
Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat. Menurut informasi Bapak Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat yang berarti keluarga--mendapat suku kata awalan (prefik) be. Dalam budaya Jawa brayat berarti sistem bekeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan sistem ini, mereka meyakini bahawa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran tanggung jawab selalu dikonsepkan dengan paseduluran: (1) sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; (4) sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; (6) bala yaitu yang menurut anggapan mereka mash saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan.[1]
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama yang telah dibagikan doa sebelum dibagi‑bagikan. Selamatan itu tidak terpisah dari pandangan alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk‑makhluk halus tadi. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan‑gangguan apapun. Hal itu juga terlihat pada nama upacara sendiri, yakni kata selarnat. Upacara ini biasa dipimpin oleh modin, yakni salah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewapban mengumandangkan adzan. la dipanggil karena dianggap malur membaca doa keselarnatan yang intinya berasal dari ayat‑ayat Al Qur'an.
Upacara selamatan dapat digolongkan kedalam enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalarn kehidupan manusia, sehari‑hari yaitu: (1) Selamatan dalam. rangka lingkaran hidup seorang, seperti hamil tujuh bulan (mitoni), kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali (tedak siten), upacara menusuk telinga (tindik), sunat (khinatan), kernatian, serta saat‑saat setelah kernatian. (2) Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi. (3) Selarnatan yang berhubungan dengan hari‑hari serta bulan‑bulan besar Islam. (4) Selamatan pada saat‑saat yang tidak tertentu berkenaan dengan kejadian‑kejadian, seperti membuat peijalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain‑lain. Di antara keempat macarn golongan upacara selamatan tadi, maka upacara selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan dengan kematian serta sesudahnya, adalah suatu adat kebiasaan yang arnat diperhatikan dan kerap kali dilakukan di salah satu tempat dalam lingkungan istana (ratawijaya), secara terbuka. Oleh kalangan masyarakat orang Jawa, terutama yang datang dari kalangan pedesaan, air bekas siraman tersebut dapat membawa berkah. Sedangkan tokoh raksasa Batara Kala adalah raksasa yang mempunyai yang dapat mendatangkan bencana pada benda‑benda ataupun manusia. Misalnya seorang anak tunggal (bocah ontang‑anting) dianggap hidupnya senantiasa diancam oleh raksasa ini. Maka untuk menghidari bahaya tersebut, orang tua dari si anak mengadakan ruwatan, biasanya disertai dengan pertunjukan wayang kulit sehari semalam, dengan mengambil cerita sekitar tokoh raksasa Batara Kala.
Sistern kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki‑laki serta kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing‑masing diklasifikasikan menjadi satu, yaitu dengan istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik‑adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan kst dalarn dua golongan yang berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik laki‑laki dan bibi bagi adik perempuan.
Pada masyarakat berlaku adat‑adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila: (a) saudara kandung, (2) pancer lanang, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki‑laki, 3. Pihak laki‑laki lebih muda menurut ibunya dari pada pihak perempuan. Adapun perkawinan yang diperbolehkan adalalah perkawinan antara dua orang dua orang yang tidak terikat karena hubungan‑hubungan kekerabatan seprti tersebut diatas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal beberapa istilah sebagai berikut: (a) ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya, (b) wayuh, yaitu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), (c) kumpul kebo, yaitu laki‑laki dan perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak dalam kurun waktu tertentu akan tetapi belum menikah. Hal ini merupakan suatu bentuk perkawinan yang menyimpang dari tradisi dan ajaran agama, (d) pisah kebo, yaitu berpisahnya suami‑istri tetapi tidak diikuti oleh perceraian secara resmi.
Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan, biasanya terdapat beberapa pendahuluan, di antaranya: (1) Nakokake, yaitu ketika seorang pria ingin meminang kekasihnya harus menanyakan dahulu kepada orang tua (wali) si gadis apakah masih legan (belum ada yang meminang). (2) Paningsetan, yaitu apabila sudah mendapat jawaban bahwa si gadis masih legan clan belum ada yang melainar, dan kehendaknya mempersunting tadi diterima, maka akan segera ditetapkan kapan diselenggarakan paningsetan, yaitu upacara pemberian harta benda kepada calon istri berupa sepotong kain dan kebaya, yang semua itu disebut pakaian sakpengadek. Kadang‑kadang disertai cincin kawin, inilah yang sekarang sering disebut pertunangan, yang berarti si gadis telah terikat untuk melangsungkan pemikahan atau wis dipacangke. (3) Asok tukon, yaitu suatu tanda penyerahan harta kekayaan dari pihak laki‑laki kepada pihak perempuan secara simbolis. Hal ini biasanya dilakukan dua atau tiga hari sebelum upacara pemikahan dilangsungkan. Harta itu berupa sejumlah uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak, dan sebagainya. Asok tukon juga disebut srakah atau sasrahan yang sebenarnya tidak lain berupa mas kawin. Sehari menjelang saat upacara pemikahan, pada pagi hari pihak anggota keluarga berkunjung ke makam para leluhumya untuk meminta doa restu. Sedangkan pada sore hari diadakan upacara selamatan berkahan yang dilanjutkan dengan leklekan (berjaga malam). Dalarn hal ini para kerabat pengantin perempuan serta tetangga dekat dan kenal‑kanalannya berada di rumahnya hingga larut malam bahkan sampai pagi hari. Malam ini disebut malam tirakatan atau malam midadareni. Karena pada malam itu bidadari turun dari kayangan memberi restu pada perkawinan tersebut. Setelah tiba hari perkawinan, pengantin laki‑laki dengan diiringkan oleh orang tua atau walinya serta handai taulannya dan juga para tetangga atau sedukuh atau sedesa, pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada kaum, yaitu salah seorang perangkat desa yang bertugas mengurus pernikahan, talak, dan rujuk. Sesudah selesai menuju kantor urusan agama di kecamatan menghadap penghulu, yaitu salah seorang yang bertugas untuk melangsungkan ijab kabul atau akad nikah. Upacara disaksikan oteh wali kedua belah pihak.
Setelah pengantin laki‑laki menyerahkan sejurnlah uang sebagai tanda mas kawin hukum perkawinan Islam. Ijab kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita, yaitu dengan memanggil penghulu. Setelah upacara ini berakhir lalu dilakukan upacara pertemuan (temon) antara kedua mempelai yang akhimya dipersandingkan di atas pelaminan. Apabila mempelai laki‑laki berkehendak membawa istrinya, hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar atau lima hari sesudah upacara perkawinan. Pemboyongan yang disertai pesta upacara lagi ditempat kediaman mempelai laki‑laki ini disebut ngunduh temanten. Demikian sekilas struktru amsyarakat dan budaya Jawa, termasuk dalam bidang pengantin.
10.3 Kesenian10.3.1 Wayang Kulit
Masyarakat Jawa mempunyai kekayaan hasil budaa, antara lain sebagai berikut. (a) Pertunjukan wayang dengan kemahiran sang dalang, dapat menyajikan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup berupa nilai‑nilai budaya dan berbagai unsur budaya seni yang terpadu dalam seni pendalangan. Pertunjukan wayang yang didalamnya terdapat perpaduan antara sesuara, seni musik (gamelan) dan seni rupa, merupakan bentuk kesenian sangat disukai masyarakat Jawa. Menurut penelitian para ahli, wayang (wayang kulit) diciptakan oleh Sunan Kalijaga (salah seorang dari wali songo) pada abad 15 dan 16 di daerah Pesisir Utara Jawa dipakai untuk menyebarkan agama Islam.
Cerita pewayangan ini bersumber pada epos Ramayana dan Mahabrata yang diadopsi dari India. Kemudian cerita pertunjukan wayang dalam perkembangan selanjutnya juga menampilkan cerita‑cerita di luar patokan yang ada, sehingga merupakan bentuk variasi untuk menghilangkan kebosanan para penontonnya. Cerita‑cerita tersebut pada akhimya juga kembali lagi pada inti atau sumber cerita. Semula pertunjukan kesenian wayang hanya wayang kulit, kemudian berkembang menjkadi pertunjukan wayang golek, wayang beber, wayang orang dan sebagainya.
10.3.2 Reyog Ponorogo Kapan pastinya reyog Ponorogo dilahirkan, sampai sekarang orang masih meraba-raba. Sudah semestinya kalau orangbelum tahu juga bagaimana bentuk kesenian reyog tersebut ketika ia menampakkan diripertama kali. Menurut Prasasti Diyono tahun 682 Saka atau 760 Masehi Prabu Gajayana raja Kanyuruhan (daerah Malang) adalah raja yang elah mengupas kebenaran sejarah adanya reyog Ponorogo. Jika berpegang pada prasasti tersebut, maka ada tanda-tanda bahwa reyog memang sudah tua betul usianya. Namun jika mendasarkan pada legenda, yang bersumber dari zaman Kediri atau Jenggala (tahun 1045-1222), maka kelahiran reyog Ponorogo tergolong masih muda.
Reyog dilahirkan dan menjadi besar di Kota Ponorogo, namu akhirnya berkembang di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Johor Malaysia. Reyog biasanya disajikan dalam bentuk sendratari, yang terdiri dari empat babak, yang menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju Kerajaan Kediri ketika beberapa pembesar Ponorogo mempersunting putra-putri raja Kediri. Dalam prosesi ini pertunjukan reyog terdiri dari pemeran: kelompok pengawal, kelompok pendamping, kelompok pemain (penari), kelompok pemusik, dan kelompok pengiring. Ada satu ciri khusus pada kesenian reyog yang sekarang sudah mengalami degradasi yaitu ilmu mistik. Mereka menganggap bila reyog tidak didukung oleh ilmu mstik, maka maka tidak lengkap. Reyog juga memiliki lagu-lagu khusus dari daerah Ponorogo seperti: Ijo-ijo, Patrojayan, Sampak, Iring-iring, dan lainnya. Alat-alat musik pengiring reyog adalah gong, terompet, kendhang, ketipung, angklung. Alat-alat untuk penari atau pemain adalah: barongan dan dhadhak merak, topeng, dan kuda kepang.
10.3.3 Teater Ludruk Ludruk sebagai sebuah genre kesenian Jawa dapat dicari makna etimologisnya yang diperoleh dari berbagai informasi yang relevan. Informasi ini diperoleh dari tokoh seniman dan budayawan ludruk secara etimologis berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk. Molo-molo berarti mulutnya penuh dengan tembakau sugi (dan kata-kata koma yang pada saat keluar tembakau sugi) tersebut hendak dimuntahkan dan dikeluarkan kata-kata dalam bentuk kidung dan dialog. Manakala gedrak-gedruk berarti kakinya menghentak-hentak pada saat menari. Pendapat lainnya menyatakan bahwa istilah ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Gelo-gelo berarti menggeleng-gelengkan kepala pada saat menari, dan gedrak-gedruk berarti menghentakkan kaki dipentas saat menari. Jadi ludruk adalah pertunjukan dalam bentuk dialog, menggelengkan, kepala, dan menghentakkan kaki di pentas.
Era perkembangan ludurk dapat diklasifikasikan melelui beberapa tahapan genre. Secara historis perkembangan kesenian ini bermula dari ludruk bandan yaitu di abad 12 sampai 15. Abad 16 sampai 17 muncullah kesenian lerok yang dipelopori oleh Pak Sentik dari Jombang. Tahun 1915 pementasan sudah dimulai mengambil pemain besutan. Tahun 1931 bentuk besutan berubah menjadi ludruk yang berbentuk sandiwara dengan tokoh yang semakin bertambah jumlahnya. Tahun 1937 muncul tokoh baru dari Surabaya yaitu Cak Durasim, dan ludruk mulai menggunakan cerita legenda. Ludruk sebagai seni pertunjukan telah tercatat sejak 1822 yang menampilkan dua pelaku laki-laki yang seorang menjadi pelawak yang membawakan cerita dan seorang lagi sebagai penari yang berdandan wanita. Tahun 1942 tentara pendudukan Jepang menggunakan ludruk sebagai sarana propaganda politik. Berdasarkan pertumbuhannya ludruk merupakan fusi dari tiga genre, yaitu ngremo (tari kepahlawanan), dagelan (lawakan), dan cerita.
Adapun fungsi ludruk adalah: (a) sebagai sarana pendidikan masyarakat, (b) sebagai pemupuk rasa solidaritas kolektif, (c) sebagai alat hiburan yang memperkaya jiwa dan nilai estetika, dan (d) sebagai sarana alternatif cara berpikir dan mengendalikan kehidupan budaya. Jenis-jenis cerita ludruk adalah: mitologi, epos kerakyatan, sejarah, kehidupan sehari-hari, dan humor kerakyatan. Adapun temanya adalah tentang keadilan, pandangan hidup, dan keyakinan.
10.3.4 Teater Ketoprak
Membicarakan seni pertunjukan tradisional khususnya kethoprak tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tata hidup dan kehidupan masyarakat lingkungannya. Teater rakyat ini mempunyai keistimewaan dapat berkomunikasi langsung dengan rakyat untuk ikut memecahkan masalah-masalah pembangunan, dengan pengungkapan sederhana dan mudah diterima pikiran rakyat (A. Kasim 1980‑1981). Pada umumnya kelahiran teater rakyat didorong kebutuhan masyarakat terhadap hiburan, lalu meningkat untuk kepentingan lain, seperti kebutuhan akan mengisi upacara‑upacara. Teater rakyat kethoprak disangga oleh masyarakat Jawa, terutama Daersh Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Menurut Umar Kayam (1981), kebudayaan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan respons terhadap lingkungannya dan merupakan bentuk proses yang dinamis. Tradisi dalam kethoprak terutama tradisi Jawa mencakup bahass, akting, bloking, busana, rias, lagu, setting, properti, dan lain‑lainnya (Handung Kus Sudyarsana 1989:25). Sampai sekarang kethoprak terus ditopang masyarakatnya dalam menegakkan budaya bangsa, khususnya budaya seni pertunjukan berwarna lokal Jawa. .Kethoprak merupakan teater rakyat, sebagaimana dikemukakan A. Kasim Achmad, kethoprak merupakan teater tradisional Jawa. Seni pertunjukan kethoprak biasanya dilaksanakan pada malarn hari selama 3 sampai 4 jam.
R.M.A. Harymawan (1993:231) mengernukakan bahwa ciri‑ciri kethoprak itu sangat khas yakni: a. Kethoprak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam dialog, b. Cerita tidak terikat pada salah satu pakem, tetapi ada tiga kategori pembagian jenis, yaitu: (1) Cerita‑cerita tradisional seperti Timun Mas, Ande‑ande Lumut, Buto Ijo, dan Roro Mendut Pronocitro; (2) Cerita‑cerita babad, baik cerita lama maupun setelah Belanda masuk ke Indonesia; (3) Cerita-cerita masa kini seperti Gagak Sale, Ngulandara. c. Musik pengiringnya adalah gamelan Jawa, baik pelog maupun slendro. (4) Seluruh cerita dibagi‑bagi dalam babak besar dan kecil, perkembangannya sangat urut, tidak mengenal flash back seperti dalam film. (5) Dalam cerita kethoprak selalu ada peranan dagelan yang mengikuti tokoh‑tokoh protagonis maupun antagonis.
Bahasa Jawa dalam seni pertunjukan kethoprak meliputi 4 ragam yaitu: (1) ragam krama inggil ( halus dan tinggi); (2) ragam krama madya (halus sedang ); (3) ragam krama desa (halus desa), dan 4) ngoko (kasar). Adanya ragam berbahasa dalam kethoprak ini menunjukkan etika menyatu, sehingga disana termuat: (a) keindahan bahasa, (b) sifat peran, (c) tingkat darah dan kedudukan, (d) tingkat umur, dan (e) suasana dramatik.
Dalam tulisan ini perihal periodisasi kethoprak mengikuti pola pembabakan waktu seperti tercermin dalam uraian Lokakarya Kethoprak Tahap I di Yogyakarta pada tahun 1974. Handung Kus Sudyarsana (1989:15) menuliskan periodisasi kethoprak sebagai berikut: (1) Tahun 1887‑ 1925, periodisasi kethoprak lesung, dengan ciri ‑ciri: a. tetabuhan lesung; b. tari; c. nyanyian atau tembang; d. cerita; dan e. pakaian. (2) Tahun 1925‑1927, periodisasi kehoprak peralihan dengan ciri‑ciri: a. tetabuhan campur (lesung, rebana, alat musik Barat ); b. tari; c. nyanyian atau tembang; d. cerita; e. pakaian; dan e. rias. (3) Tahun 1927 sampai sekarang, periodisasi kethoprak gamelan, dengan ciri‑ciri : a. tetabuhan gamelan; b. cerita; c. nyanyian atau tembang; d. pakaian; dan e. rias. Hal yang penting selain periodisasi dalarn seni pertunjukan kethoprak adalah aspek‑aspek seni ( Handung Kus Sudyarsana 1989:24‑25 ) yang meliputi : 1. lakon, adalah susunan peran dengan pola perwatakan dan permainannya, pembabakan dan pengadeganan serta aspek‑aspek lain yang bersangkutan dengan kebutuhan lakon, baik tertulis rinci maupun tidak berdasarkan cerita kadang‑kadang dialog dalarn susunan lakon kethoprak ditulis secara full play, atau hanya garis besarnya; 2. Pemain, adalah orang‑orang yang membawakan peran-peran dalarn lakon; 3. Dialog, adalah percakapan antar pemain sebagai salah atu bentuk permainannya; 4. Akting, adalah bentuk‑bentuk dan sikap‑sikap pernain ketika membawakan peran dalarn lakon; 5. Bloking adalah posisi pernain ketika bermain; 6. Busana, adalah pakaian yang clikenakan para pernain; 7. Rias, adalah coretan ‑coretan, baik pada muka pernain maupun pada anggota badan mereka, termasuk rambut. 8. Bunyi ‑ bunyien, adalah suara‑ suara instrumen musik dan vokal, baik sebagai pengiring maupun ilustrasi babak, adegan, maupun tekanan‑tekanan gerak tertentu para pemain 9. Tradisi, adalah ketentuan‑ketentuan yang sudah menjadi kebiasaan. Tradisi dalarn kethoprak terutama tradisi Jawa, yang mencakup bahasa, akting, bloking, busana, rias, lagu, setting, properti , dan lain lainnya.
Kethoprak tak pemah berhenti sebagai seni pertunjukan, baik dari segi artistik, pengelolaan organisasi terus mengalami inovasi yang digerakkan seniman dan ditopang masyarakat penyangganya. Kethoprak dalam perkembangan budaya tetap berpijak pada tradisi Jawa, secara khusus tampak. pada bahasa, lakon, perneranan, dhalang atau sutradara, sehingge tradisi Jawa merupakan aspek penting yang menggerakkannya. Sisi lain hadimya modemisasi dalam bidang tehnologi seperti radio dan televisi dimanfaatkan oleh Seniman kethoprak guna mendukung eksistensi seni pertunjukan kethoprak dalam kebudayaan masyarakat Jawa
10.3.5 Tari Gambyong
Pura atau istana Mangkunegaran di Surakarta merupakan istana yang sangat produktif dalam melahirkan karya‑karya pertunjukan. Langendriyan, sebuah opera tari dari Jawa yang ditarikan oleh penari wanita semuanya tercipta di Istana Mangkunegaran pada tengah kedua abad ke‑19. Teknik tari yang banyak meminjam teknik tan Jawa gaya Yogyakarta, dilakukan pula oleh pura Mangkunegaran. Tari Gambyong yang merupakan penghalusan dari yang aslinya dilakukan oleh penari ledhek dilahirkan oleh para Mangkunegaran. Bahkan ketika Mangkunegaran mengirim misi kesenian ke negari Belanda pada masa pemerintahan Mangku Negara V (1881‑1896). Tari Gambyong untuk pertarna kahnya ditampilkan pada forum yang sangat bergengsi. Temyata perhatian para paka‑r budaya dari negeri Belanda terhadap tari yang diangkat.dari tari rakyat ini cukup besar. Maka sejak pengiriman misi kesenian ke negeri Belanda itu Tari Gambyong selalu ditampilkan dalam. menyambut tamu‑tamu istana (Sri Rohana W. 1994).
Pertunjukan yang fungsi utamanya sebagai ritual kesuburan pemikahan dan pertanian ini pada menjelang tengah malarn berubah menjadi pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan pribadi bagi kaum pria. Penampilan tayub sebagai hiburan pribadi ini hanya bisa terlaksana dengan hadimya ledhek yaitu penari wanita yang bertugas sebagai penghibur para pria yang ngibing atau manari bersamanya. Yang menjadi sumber penggarapan Gambyong di istana Mangkunegaran bukanlah ledhek yang sedang menari bersama penari pria, akan tetapi penampilannya ketika ia sedang menari sendiri sambil berusha menarik para pria yang berduit yang ingin ngibing bersamanya. Sudah barang tentu oleh karena tujuan penciptaan tari Gambyong sangat berbeda dengan penampilan penari ledhek pada waktu menari sendiri sambil menarik perhatian pria yang berada di sekitarnya, tembang atau nyanyian Jawa yang dilantunkan ditiadakan. Selain itu apabila penari ledhek dalam menari ia lebih banyak melakukan gerak‑gerak improvisasi, Gambyong memiliki patokan‑patokan yang telah ditentukan oleh istana.
Dalam perkembangannya yang lebih kemudian, Gambyong menjadi sebuah reportoar tari tunggal yang bisa pula ditampilkan dalam bentuk koreografl kelompok, bahkan juga massal. Walaupun telah diperhalus, namun Gambyong yang berasal dari rakyat ini, pada tata busananya masih tetap ditampilkan dalam busana yang cukup sederhana. Penari Gambyong hanya mengenakan kain pembalut tubuh bagian bawah dengan diberi lipatan‑lipatan (wiru) di bagian depan, serta pembalut torso yang disebut dengan angkin yang masih memperlihatkan sedikit bagian atas dari dadanya. la sama sekali tidak menggunakan sabuk, sedangkan selendang atau sampurnya hanya disampirkan di pundak kanan. Kepala yang digelung hanya diberi hiasan sekedarnya, yaitu sisir serta bunga. Penampilannya di atas pentas juga masih memperlihatkan bahwa asalnya dari tari yang menghibur para pria, yaitu dengan sedikit senyuman yang menawan. Para koreografer masih memiliki peluang untuk mencipta Gambyong dengan gaya pribadi, yang biasanya diberi nama sesuai dengan gendhing atau lagu gamelan yang mengiringi, seperti misalnya Gambyong Pangkur, Gambyong Sumyar, dan Gambyong Ayun‑ayun. Ada sebuah tari Gambyong yang lain daripada yang lain yaitu Gambyong Pareanom. Nama Gambyong ini mengacu pada warna bendera Mangkunegaran yang memiliki warna hijau dan kuning. Untuk menandai Gambyong ini, mekak yaitu busana bagian atas sejenis strapless berwarna hijau dan sampur selendangnya berwarna kuning.
10.3.6 Tari Bedhoyo KetawangMenurut penulis kitab Wedhapradangga, pencipta tai Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613‑1645), raja pertama terbesar dari Kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu. Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan. parapakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon pencipta gendhing pun menjadi sempurna. setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya, dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi juga dipertunjukkan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau Tingalan Dalem Jumenengan.
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke‑XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk tatanan pertunjukannya, masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan. Busana Tari Bedhoyo Kelawang menggunakan dodot ageng dengan motif Banguntulak alas‑alasan yang menjadikan penarinya terasa.anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo. Instrumen gamelan yang dimainkm hanya beberapa, yakni kemanak, kethuk, kenong, kendhang ageng, kendhang ketipung, dan gong ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua buah kendang ageng bernama Kanjeng Kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab bemaina Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta sehuah gong ageng bemama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII kini diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya’ban dalam kalender Jawa. Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan: (1) adat upacara (seremoni); (2) sakral; (3) religius; (4) tarian percintaan atau tari perkawinan.
1. Adat upacara. Bedhaya Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan semata‑mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khusus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidak dibenarkan orang merokok. Makanan, minuman, atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalwmya upacara adat yang suci ini. Sakral Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk halus. Bahkan dipercaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang penciptanya selalu hadir bahkan ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, kecuali mereka yang peka indrawinya saja, sang pencipta mampu dilihat. Konon dalam latihan‑latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini terlihat membetul‑betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka terkadang penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya. Ada dugaan, bahwa semula Bedhaya Ketawang itu adalah suatu tarian di candi‑candi.
2.Religius Segi religius dapat diketahui dari kata‑kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya. Antara lain ada, yang berbunyi : ... tanu astra kadya agni urube, kantar‑kantar yen mati ngendi surupe, kyai?" ( kalau mati kemana tujuannya, kyai?). 3.Tari Percintaan atau Tarian Perkawinan. Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam gerak‑gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah dibuat demikian halusnya, hingga mata awam kadangkadang sukar akan dapat memahaminya. Satu‑satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan suatu perkawman ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai lazimnya temanten/mempelai yang akan dipertemukan. Tentang hal kata‑kata yang tercantum dalam nyanyian yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng Ratu, merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta dirasakan, pemirsa yang mengerti kata‑katanya, dianggap akan mudah membangkitkan rasa birahi. Aslinya pergelaran ini berlangsung selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan pengurangan, hingga akhimya menjadi hanya satu setengah jam saja. Bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khusus ini berlaku suatu kewajiban khusus. Sehari sebelum tarian ditarikan para anggota kerabat Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa‑masa dahulu masih ditaati benar. Walaupun terasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhaya Ketawang yang khusus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan penuh rasa tulus dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhaya Ketawang merupakan suatu karya pusaka yang suci. Untuk inilah mereka semua mematuhi setiap peraturan tatacara yang berlaku.
Bagi para penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat yang dipercaya, mereka ini akan langsung berhubungan dengan Sang Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalain keadaan suci, baik pada masa‑masa latihan maupun pada waktu pergelarannya. Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng Ratu Kidul hanya dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila cara menarinya masih kurang betul. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang diadakan pada hari‑hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), setiap penari dan semua pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci. Persiapan‑persiapan untuk suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik‑baiknya, dengan sangat teliti. Bila ada yang merasa menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping sejumlah penari yang tersedia diperlukan penari-penari cadangan. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari‑penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunan menarinya, akan lebih dapat terjamin.
Siapakah Pencipta Bedhoyo Ketawang ? Pertanyaan ini timbul, karena orang mulai berpikir, mengapa. Bedhaya Ketawang itu dipandang demikian sucinya. Menurut tradisi, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai karya Kangjeng Ratu Kidul Kencanasari, yang adalah Ratu mahluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar Samudera. Pusat daerahnya adalah Mancingan, Parangtritis, di wilayah Yogyakarta. Tetapi menurut R.T. Warsadftiingrat (abdidalem nryaga Kraton Solo), sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul hanya menambahkan dua orang penari lagi, sehingga, sembilan orang, kemudian penari tersebut dipersembahkan kepada Raja Mataram. Menurutnya penciptanya awal justru adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah satu rombongan yang terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut Lenggotbawa. Iringan gamelan awalnya hanya lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas: 1. gending ‑ kemanak, laras jangga kecil /manis penunggul; 2. kala – kendhang 3. sangka, ‑ gong 4. pamucuk ‑ kethuk 5. sauran ‑ kenong.
Jika demikian, maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umr Bedhaya Ketawang sudah tua sekali, lebih tua daripada Kangjeng Ratu Kidul. Bahkan menurut G.P.H. Kusumadiningrat, pencipta Lenggotbawa adalah Bathara Wisnu, tatkala duduk di Balekambang. Tujuh buah permata yang indah‑indah telah diciptanya dan diubah wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita yang kemudian menari‑nari mengitari Bathara Wisnu dengan arah memutar ke kanan . Melihat hal ini sang Bathara sangat senang hatinya, karena dewa dianggap tidak pantas menoleh ke kanan dan ke kiri, maka diciptanyalah mata yang banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di seluruh tubuhnya.
Menurut Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta Kangjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun selalu dapat dielakkan oleh Sunuhun, bahkan Ratu Kidul lalu memohon, agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rwnawijaya di dasar lautan.). Namun Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai sangkan paran. Selanjutnya begitu beliau mau mempensunting Kangjeng Ratu Kidul, konsekuensinya secara turun temurun. Keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada saat peresmian kenaikan tahtanya. Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta datang di daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari‑penari kesayangan Sinuhun. Pelajaran tarian ini diberikan setiap hari Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kangj eng Ratu Kidul diperkirakan akan hadir.
Gendhmg yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang geron.g Garnelan iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dan lima macam jenis: kethuk, kenong, kendhang, gong, dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar ialah suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak). Anehnya, di tengah‑tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga akhimya. Pada bagian (babak) pertana diiringi sindhen Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari ke luar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat garnelannya ditambah dengan rebab, gender garnbang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng Sasanasewaka, dengan bedalan berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana (dhampar). Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain‑lainnya, para penari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka. Pada tarian bedhaya atau serimpi biasa, penari‑penari keluar‑masuk dari sebelah kanan Sinuhun, dan kembalt melalut jalan yang sama.
10.3.7 Wayang Wong
Wayang Wong adalah nama sebuah drama tari yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Di Bali, wayang wong merupakan drama tari bertopeng yang menggunakan dialog bahasa Kawi yang selalu menampilkan wiracarita Ramayana. Di Jawa Tengah isitilah ini dipergunakan untuk menyebut pertunjukan drama tari berdialog Jawa prosa yang biasanya membawakan lakon‑lakon dan cerita Mahabharata dan Ramayana, yang diciptakan oleh Adipati Mangku Negara I pada akhir tahun 1750‑an. Pada akhir abad ke‑19, pertunjukan istana ini berhasil dikeluarkan dari tembok istana oleh pengusaba China kaya bernama Gan Kam dan dikemas sebagai pertunjukan profesional dan komersial. Oleh karena itu, jangkauan penontonnya sangat luas. Istilah wayang wong sering disebut pula wayang orang. Bahkan oleh karena pertunjukannya ditampikan di atas panggung dan bukan pendapa lagi, drama tari Jawa yang pernah mengalami masa jaya pada tahun 1950‑an dan awal tahun 1960‑an ini, untuk membedakan dengan pertunjukan wayang wong yang lain disebut wayang orang purwa. Di daerah Istimewa Yogyakarta pernah berkembang pula dengan baik sebuah drama tari berdialog bahasa Jawa prosa yang j uga bernama wayang wong. Berbeda dengan wayang wong yang diciptakan oleh Adipati Mangku 1, wayang wong dari istana Yogyakarta merupakan drama tari ritual kenegaraan, yang diciptakan oleh Hamengku Buwana I pada akhir tahun 1756. Di Jawa Barat, pernah berkembang pula sebuah tontonan berbentuk drama tari berdialog bahasa Sunda prosa yang disebut wayang wong. Dari aspek kesejarahannya, jelas bahwa wayang wong Priangan ini mendapat pengaruh yang sangat besar dari wayang wong Jawa Tengah. Yang akan dibahas dalam bagian ini adalah wayang wong gaya Yogyakarta yang sampai pada tahun 1929 merupakan pertunjukan ritual kenegaraan yang sangat megah.
Apabila dilacak sejarahnya, sebenarnya pertunjukan drama tari yang bernama wayang wong itu sudah sangat tua. Sebuah prasasti Jawa Kuna yaitu prasasti Wimalasmara yang berangka tahun 930 M., telah menyebut pertimjukan ini dengan istilah Jawa Kuna, wayang wwang. Namun demikian kita tidak bisa membayangkan pertunjukan itu seperti apa. Sebuah karya sastra kakawin Sumanasantaka dari Jawa Timur dari abad ke‑12 juga menyebutkan pertunjukan wayang wwang ini. Walaupun tidak jelas gambaran cerita‑cerita yang berasal dan wiracerita yang dibawakan pasti berkisar pada Ramayana atau Mahabharata. Ketika pusat kebudayaan Jawa berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sejak abad ke‑10, para sastrawan Jawa, mulai menampilkan. ceritera yang benar‑benar berpijak pada. sumber‑sumber Jawa, yaitu Panji. Bisa diperkirakan bahwa seniman Jawa, pada masa Jawa Timur juga berupaya, untuk menghadirkan sebuah drama tari yang tidak menampilkan wiracerita Ramayana dan Mahabarata, melainkan menampilkan cerita Panji. Drama tari itu disebut raket. Kakawin Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, pada tahun 1365 telah membicarakan panjang lebar pertunjukan raket ini. Walaupun kita tidak bisa. mendapatkan gambaran bentuk tontonan istana ini dengan jelas, namun setidak‑tidaknya ada petunjuk bahwa raket merupakan pertunjukan ritual untuk kesuburan dan kemakmuran negara. Sang raja sendiri, Hayarn Wuruk serta ayah sang raja Kertawardhana sering tampil pula dalam pertunjukan ini (Theodore G.Th. Pigeaud 1960‑1963).
Robson dalam disertasinya yang berjuudul Wangbang Widey: A Javanese Panji Romance (1971), mengutarakan. bahwa raket (juga disebut raket lalangkaran) merupakan bentuk lain atau nama lain dari gambuh. Diduga keras bahwa di samping lahirnya drama tari yang disebut raket, drama. tari wayang wwang yang membawakan wiraceritera, Ramayana dan Mahabharata, masih tetap berkembang. Asumsi ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa di Bali yang merupakan pelestari budaya Jawa. Timur, baik gambuh maupun wayang wwang atau wayang wong sampai kini masih hidup. Hanya saja drama tari yang sudah sangat tua, yang diperkirakan. masuk ke Bali dari Jawa Timur pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke‑15, terdesak oleh genre‑genre drama tari yang lebih baru. Dengan cara membandingkan pertunjukan wayang wong Bali dengan relif candi Panataran yang menampilkan wiracerita Ramayana, bisa diperkirakan penampilan wayang wwang pada zaman Jawa Timur itu seperti pada penampilan yang tergores pada relif candi Panataran. Adapun teknik tarinya kemungkinan besar seperti wayang wong Bali yang selalu menampilkan ceritera Ramayana.
Di Bali pertunjukan wayang wong selalu membawakan wiraceritera Ramayana, dan semua penarinya mengenakan topeng penuh. Apabila drama tari yang membawakan lakon dan wiracerita Mahabharata dinamakan parwa; kemungkinan besar nama,lengkap dari kedua drama tan itu adalah wayang wong Ramayana dan wayang wong Parwa. Mengenai kedua drama tan Beryl de Zoete dan Walter Spies (1973) yang pernah tinggal lama di Bali pada, tahun l930‑an sering menyaksikan kedua bentuk seni pertunjukan. itu sebenarnya merupakan genre yang sama. Bedanya, wayang wong dipertunjukkan pada sore han, sedangkan parwa pada malam hari menyusul pertunjukan wayang wong. Wayang wong yang merupakan drama tari bertopeng dengan menampilkan Rama sebagat sang pahlawan pada sore hari, parwa merupakan drama tari tak bertopeng yang menampilkan Muna sebagai pahlawan pada malam. hari.
Dengan cara. membandingkan antara relif candi Panataran yang menggambarkan wiracenta Ramayana serta relief candi‑candi di Jawa. Timur yang menampilkan. wiracenta Mahabharata seperti candi Jago, Tigawangi, Surawana, dan Kedaton dengan pertunjukan wayang wong dan parwa dan Bali, dapat diperkirakan bahwa pertunjukan wayang wwang pada zaman Jawa Timur mirip dengan pertunjukan wayang wong dan parwa Bali sekarang ini. Dugaan ini bisa diperkuat lagi apabila busana yang terekarn pada relif candi Panataran dan candi‑candi lain di Jawa Timur dibandingkan dengan busana yangg tersungging pada wayang kulit Bali yang menampilkan. lakon‑lakon dari wiracerita Ramayana dan Mahabharata. Pertunjukan. wayang kulit Bali yang membawakan ceritera Ramayana. biasa disebut sebagai Wayang Ramayana, sedangkan yang menampilkan lakon‑lakon dari wiracerita Mahabharata, disebut Wayang Parwa.
Apabila dilacak sejarahnya, sebenarnya, penciptaan wayang wong di istana Yogyakarta merupakan upaya, untuk menghidupkan. kembali pertunjukan wayang wwang dari masa Majapahit. Kiblat Sultan Hamengku Buwana I ke Majapahit sangat beralasan, oleh karena sebagai raja yang baru dan kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram Surakarta, ia ingin menampilkan sebagai raja yang sah yang mewarisi takhta dari garis keturunan Majapahit. Dalam tradisi Jawa, seorang yang ingin menjadi raja bukan saja karena ia terbukti masih merupakan keturunan dan raja terdahulu akan tetapi ia harus memiliki wahyu, berbagai benda pusaka, serta bisa menjaga keseimbangan dunia dengan melakukan. hubungan spiritual dengan berbagat kekuatan alarn (Heine Geldern 1956). Ada tiga wahyu penting yarig harus dimillki oleh raja, yaitu wahyu nubuwah, whiyu hukumah, dan waliyu wilayah. Wahvu nubuwah mengesahkan raja sebagal wakil Tuhan; wahyu huumah mengesahkan raja adalah sumber hukum; dan wahyu wilayah mengesahkan raja sebagai penguasa dunia (SeloSoemardjan 1962; juga Darsiti Soeratman 1989).
Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan setengahnya yang menjadi hak Sultan Hamengku Buwana I yang menggunakan nama kerajaan barunya, Kasultanan Ngayogyakarta Adiningrat. Ada beberapa pusaka yang diserahkan oleh Paku Buwana III kepada pamannya, Sultan Hamengku Buwana . Pusaka‑pusaka itu yang merupakan warisan dari raja‑raja terdahulu ada yang berupa senjata tajam seperti tombak Kanjeng Kyai Plered, Kanjeng Kyai Baru, Kanjeng Kyai Megatruh, Kanjeng Kyai Gadatapan, Kanjeng Kyai Gadawedana, yang berupa keris yaitu Kanjeng Kyai Kopek, Kanjeng Kyai Bethok, Kanjeng Kyai Sengkelat, dan Kanjeng Kyai Jakapiturun; yang berupa bendera yaitu Kanjeng Kyai Tunggulwulung, Kanjeng Kyai Pare Anom, Kanjeng Kyai Puja, dan Kanjeng Kyai Puji; yang berupa gong perang yaitu Kanjeng Kyat Tundung Mungsuh; Kanjeng Kyai Sima, Kanjeng Kyai Udanurum, dan Kanjeng Kyai Bijak; tiga tempat menanak nasi yaitu Kanjeng Kyai Blawong, Kanjeng Kyai Kendhil Siyem, Kanjeng Kyai Berkat; juga sebuah gendang bernama Kanjeng Kyai Meyek, serta. sebuah baju Kanjeng Kyai Antakusuma atau Kanjeng Kyai Gundhil. Adapula sekitar 20 wayang kulit yang dianggap sebahai pusaka lain Kanjeng Kyai Jayaningrum (Arjuna), Kanjeng Kyai Bayukusuma (Bima), dan sebagainya. Sebuah kitab ada yang dikeramatkan yang juga dianggap sebagai pusaka yaitu Kanjeng Kyai Surjaraja. Dua buah kereta berkuda kebesaran yang juga dianggap sebagaipPusaka adalah Kanjeng Kyai Jimat (Sultan Hamengku Buwana III, 1814‑1822) dan Kanjeng Kyai Garudha Yeksa (Sultan Hamengku Buwana VI, 1855-1877). Kedua kereta itu oleh kalangan umum disebut sebagai kereta kencana. Salah satu seni pertunjukan yang dianggap sebagai seni pusaka adalah wayang wong, yang diciptakan kembali oleh Sultan Hamengku Buwana 1.
Sudah barang tentu timbul pertanyaan, mengapa wayang wong diangggap sebagai pusaka Soedarsono dalain disertasinya yang berjudul Wayang Wong: The State Dance Drama in the Court of Yoyakarta (1983) telah membuktikan bahwa pertunjukan wayang wong di keratOn Yogyakarta bukanlah sekedar pertunjukan akbar sebagai kebanggan istana akan tetapi memiliki makna yang lebih dalam yaitu sebagai pertunjukan guna menambah legitimasi kehadiran raja di atas tahta. Tema‑tema yang ditampilkan dalam lakon‑lakon wayang wong selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga yaitu Pandawa dan Kurawa. Pertunjukan‑pertunjukan akbar yang berlangsung dalam dua sampai empat hari empat malam itu selalu memperingati peristiwa‑peristiwa penting dalam kehidupan istana, yaitu ulang tahun bedirinya, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, ulang tahun penting yang dalam tradisi Jawa disebut tumbuk yang teejadi delapan tahun sekali, serta pernikahan putra‑putri Sultan.
Ciri‑ciri ritual dari pergelaran wayang wong ialah : (1) tempat pertunjukan di Tratag Bangsal Kencana, dan Sultan sendiri duduk di tengah‑tengah Bangsal Kencana mengahadap ke timur; (2) pemilihan waktu pergelaran yang dimulai sejak jam enam pagi selalu mengikuti perhitungan kalender Jawa; (3) para penarinya adalah pernari terpilih, bahkan laki‑laki semua; (4) selain disediakan seperangkat sesaji juga terdapat doa‑doa yang isinya mengharapkan kemakuran negara dan raja. Bangsal Kencana adalah bangsal tanpa dinding yang merupakan pusat dari bangunan keraton. Tempat ini biasanya dipergunakan sebagai tempat penghadapan pejabat tinggi negara untuk membuktikan kesetiaan mereka terhadap Sultan. Tepat di tengah‑tengah Bangsal Kencana Sultan ketika menyaksikan pertunjukan wayang wong duduk sendirian di atas kursi kebesaran menghadap ke timur. Pertunjukan yang dimulai tepat jain 06.00 pagi memiliki makna, bahwa pertunjukan itu dipersembahkan juga kepada Dewa Matahari yang dalam pantheon Jawa adalah Dewa Surya. Dalam tradisi Jawa Hindu, Dewa ini identik dengan Dewa Wisnu, yang dalam pantheon Hindu merupakan Dewa Pemelihara Dunia. Gelar Sultan Hamengku Buwana memiliki makna "Pemelihara Dunia." Hal ini berarti bahwa ketika Sultan menyaksikan wayang wong, Sultan juga melakukan penghormatan kepada Dewa Surya atau Wisnu, yang sebenarnya adalah dirinya sendin. Mungkin pada, saat itulah Sultan melakukan meditasi untuk menyatu dengan Dewa Surya atau Wisnu, sesuai dengan konsep, kerajaan klasik Jawa yang mengacu kepada, konsep devaraja dari India, akan tetapi dalam tata, kehidupan politik di Jawa, dijabarkan menjadi ratu gung binathara yang berarti raja besar yang didewakan. Pencandraan Sultan Hamengk Buwana I sebagai Dewa Wisnu banyak dijumpat dalam kitab‑kitab babad Babad Mangkubumi misalnya mengibaratkan pangeran Mangkubumi (nama Hamengku Buwana I sebelum naik tahta), Lir Pendah Wisnu Bhatara' yang berarti setampan Batara Wisnu (M.C. Ricklefs 1974). Adapun Babad Mentawis mencandra Sultan Lir upama ywang Wisnu lagya arseng tumameng marcapada yang berarti "Seperti Ywang Wisnu yang sedang akan turun ke marcapada."
Penggunaan perari laki‑laki semua dalam pergelaran wayang wong kemungkinan besar untuk menjaga jangan sampai pertunjukan yang berlangsung selama dua sampai empat hari empat malam itu tercemar, seandainya ada penari perempuan sekoyong-koyong dalam keadaan haid. Bahkan tari Bedhaya Semang yang pernah beberapa kali tampil di keraton Yogyakarta, ditarikan oleh sembilan penan pria, walaupun bedhaya adalah tari putri. Doa‑doa, keselamatan, serta kemakmuran bisa dijumpai pada akhir teks dan pertunjukan yang disebut Serat Kandha sebagai bukti bahwa pergelaran wayang wong di Yogyakarta merupakan sebuah ritual kenegaraan, semua kawula dalem atau rakyat Yogyakarta diizinkan oleh Sultan untuk menyaksikan. Groneman dalarn sebuah ulasannya tentang sebuah pertunjukan wayang wong yang pernah ia saksikan pada akbir abad ke‑19 yang dituangkan dalam bukunya, berjudul De Wayang Orang Pregiwa in den Kraton te Yogyakarta (1899) mengatakan bahwa setiap harinya pertunjukan akbar itu dikunjungi oleh tidak lebih dari 30.000 orang. Penonton yang berjumlah ribuan itu sebenamya tidak bisa menikmati pergelaran dengan baik oleh karena semuanya duduk di atas halaman berpasir di bawah pohon sawo yang ridang. Namun demikian penduduk Yogyakarta itu tetap setia duduk dengan tenangnya tanpa ada yang berisik. Walaupun mereka tidak bisa menyaksikan serta menikmati pertunjukan yang langka itu, namum mereka sudah puas apabila sudah bisa duduk di pelataran istana yang sejuk itu mereka percaya bahwa kehadiran mereka di dalam keraton sudah mendapatkan berkah keselamatan dari Sultan.
10.3.8 Musik atau Karawitan
Di Jawa, gamelan adalah sebuah istilah umum untuk ensambel musik. Gamelan terdiri dari beberapa alat musik dengan berbagai ukuran, yang jumlahnya bisa mencapi 75 buah. Variasi seperti ini dijumpai tidak hanya dari satu pulau ke pulau lainnya di seluruh Indonesia, tetapi misalnya di pulau Jawa sendiri gamelan memiliki berbagai variasi. Penelitian secara etnomusikologis sejauh ini banyak dilakukan terhadap berbagai tradisi musik yang dijumpai di Jawa dan Bali. Meskipun orang-orang Barat selalu berpikiran bahwa musik gamelan hanyalah instrumentalia, tetapi banyak juga nyanyian yang merupakan musik yang tak kalah pentingnya pada komposisi musik di Jawa Tengah dan Timur. Seorang penyanyi wanita solo (pesindhen), seorang penyanyi lelaki membawa suara unisono (gerong) atau laki-laki pembawa suara campuran (gerong bedayan) sering dipergunakan dan tepukan tangan yang lembut membawa ketukan dasar dapat disaksikan dalam pertunjukan musik Jawa. Suara yang lembut, yang merupakan ornamentasi musik paduan suara dapat dikatakan berhubungan dengan melodi yang dihasilkan rebab yang bersenar dua, sebuah lute gesek. Penyanyi wanita solo menyajikan melodi bersama suling, end-blown flute. Pada beebrapa komposisi gamelan digunakan alat musik zither bersenar yang disebut celempung, juga sebuah alat musik zither yang disebut siter, senarnya 26 dilaras ganda menghasilkan 13 nada.
Alat musik yang paling banyak digunakan dalam gamelan adalah metalofon tembaga. Terdiri dari saron, satu set bilahan di atas kotak resonator. Dimainkan dengan tabuh. Memiliki tiga ukuran, yang paling kecil saron panerus atau peking, yang pertengahan adalah saron barung, dan yang paling besar adalah saron demung. Alat musik lainnya adalah xilofon kayu yang disebut gambang kayu. Selain itu ada pula alat musik pembawa melodi lainnya yang disebut gendher, bilahan-bilahan kecil dari tembaga diletakkan di atas tabung resonator. Seperti saron, gendher memiliki tiga ukuran, yang kecil gendher panerus, yang pertengahan gendher barung, dan yang terbesar gendher panembung atau slentem. Keluarga gong berpencu yang diletakkan di atas rak disebut dengan bonang, gunanya membawa waktu dalam musik. Dipergunakan onomatopeik ketuk, kenong, kempul, dan gong untuk alat-alat musik pembawa siklus waktu. Alat musik pembawa ritmik yang paling utama dalam ensambel gamelan adalah kendhang, berbentuk barel dua sisi. Di Jawa juga ditemukan alat musik angklung yang terbuat dari bambu fungsinya membawa melodi. Istilah yang paling umum untuk komposisi musik adalah gendhing. Unit yangutama dalam karawitan Jawa adalah siklus gongan. Sistem musik Jawa biasanya ditulis dalam notasi Kepatihan, ada juga santiswara, dan notasi taman siswa.
Unsur tangga nada dalam musik Jawa terdiri dari dua laras, yaitu slendro dan pelog. Setiap tanga nada ini terdiri atas tiga pathet (modus). Tangga nada slendro terdiri dari pathet manyura, sanga, dan nem. Sementara tangga nada pelog terdiri atas pathet lima, nem, dan barang. Nama-nama nada untuktanga nada slendro adalah nem, siji atau barang, loro atau gulu, telu atau dada, dan lima. Untuk tangga nada pelog, nada-nada yang digunakan adalah: nem, pitu atau barang, siji atau penunggul atau bem, loro, telu, papat atau pelog, dan lima. Demikian sekilas keberadaan karawitan atau musik tradisional Jawa.
Daftar Pustaka untuk Mendalami KajianBecker, Judith, 1976. Traditional Music in Modern Java. Honolulu: University of Hawaii Press.
Depdikbud, 1997. Perkembangan Ludruk di Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Hartono, 1980. Reyog Ponorogo. Jakarta; Depdikbud.
Hood, Mantle, 1954. Patet in Javanese Music. Groningen: Wolters.
Hood, Mantle, 1971. The Ethnomusicologist. New York: McGraw-Hill Book Company.
Kunst, Jaap, 1949. Music in Java. The Hague: Martinus Nijhoff.
R.M. Soedarsono, 1983. Wayang Wong: The State Dance Drama in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarso, Sp. (ed.), 1991. Beberapa Catatan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta: B.P. ISI Yogyakarta.
Wardiman Jayakusuma, 1992. Seni Tari Jawa. Surabaya: Penerbit Sinar Ilmu.
Achmad A., 1997. Kesenian Nusantara. Surabaya: Rineka Cipta.
[1]Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, geta, koko atau juga kelapa. Di antara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di Sumatera Utara di antaranya adalah Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin Arman seorang tokoh politik dan ali parlemen di Kabupaten Deli Serang, Djati Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang menyiarkan khas budaya Jawa, Dr. Subanindyo Hadiluwih, S.H., seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai kebudayaan Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Di bidang kesenian, umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling banyak didukung oleh seniman beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Di antara seniman-seniman seni Melayu yang berasal daripaa etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan kesenian Patria, ia seniman serba boleh, pemusik, penari, koreografer, pelakon, dan penulis drama sekali gus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu yang handal. Di sisi lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu terkemuka di Sumatera Utara.