MASYARAKAT DAN KESENIAN BALI DAN NTB
1 Pengantar
Bali atau yang dikenal juga dengan Pulau Dewata, adalah salah satu daeah andalan wisata Indonesia. Bahkan banyak masyarakat luar negeri yang lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Ini tak lain dan bukan adalah karena Bali memiliki potensi wisata (budaya dan alam) begitu hebatnya. Selain itu, hal yang unik lainnya adalah masyarakat Bali dalam kehidupannya selalu menyertakan seni budaya dalam upacara ritual atau hiburan. Bali juga meneruskan tradisi-tradisi Hindu yang sebagaian sudah tak dijumpai lagi di Jawa Timur. Bali dapat pula disebut sebagai daerah seni yang ternama di Indonesia. Selanjutnya mari kita lihat masyarakat dan kesenian Bali secara umum saja. Kemudian di bab ini juga akan dideskripsikan seni (musik) dari Nusa Tenggara Barat.
11.2 Masyarakat Bali
Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia. yang tenkat oleh kesadaran akan kesatuan kebuadayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Di samping itu agama Hindu yang telah lama berintegrasi ke dalam kebudayaan Bali, dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu.
Perbedaan pengaruh dan kebudayaan Jawa Hindu di berbagat daerah di Bali pada zaman Majapahit mempurryai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa‑desa di pegunungan seperti Sembiran, Cempaka Sidauq3a, Pedawa, Tigawasa, di Kabupaten Buteleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa‑bahasa Indonesia atau Melayu-Polinesia. Dilihat dan sudut perbendaharaan kata‑kata dan struktumya, maka bahasa Bali tidak jauh berbeda dari bahasa‑bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan‑peninggalan prasasti dan zaman Bali-Hindu menunjukkan adanya sesuatu bahasa Bali Kuno yang agak berbeda dengan bahasa Bali sekarang. Bahasa kuno banyak mengandung kata kata Sansekerta dan pada masa perkembangannya terpengaruh juga oleh bahasa Jawa Kuno dari zaman Majapahit. Bahasa Bali juga mengenal apa yang disebut perbendaharaan kata‑kata hormat walaupun tidak banyak seperti dalam bahasa Jawa Bahasa homiat ( bahasa halus yang dipakai kalau berbicara dengan orang tua atau lebih tinggi, telah mengalmni beberapa perubahan akibat pengaruh modenusasi dan cita‑cita demokrasi.
Di Bali berkembang kesusastraan lisan dan tulisan baik dalam bentuk puisi maupun prosa, di samping itu sampai kini di Bali didapati juga sejumlah hasil kesustraan Jawa Kuno (Kawi ) baik dalam bentuk puisi maupun prosa yang di bawa ke Bali pada waktu Bali di bawah kekuasaan Majapahit.
Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu. Walaupun demikian ada juga golongan kecil orang‑orang Bali yang menganut agama. Islam, Kristen, dan Katholik. Penganut agama, Islam terutama terdapat di pinggir pantai di beberapa desa di beberapa, kota seperti Karangasem, Klungkung dan Denpasar, sedangkan penganut agama Kristen dan Katholik terdapat di daerah Denpasar, Jembarana, dan Singaraja
Di dalam kehidupan keaganiaan orang yang beragama, Hindu percaya akan adanya satu Tuhan, dalam bentuk konsep Trimurti, Yang Esa. Trimurti ini mempunyai, tiga, wujud atau manifestasi, yaitu wujud Brahmana, yang menciptakan, wujud Wisnu yang melindungi serta memelihara, dan wujud Syiwa yang melebur segala yang ada. Di samping percaya kepada berbagai dewa, yang lebih rendah dari Trimurti yang mereka hormati dalam berbagai upacara sesaji, juga, menganggap penting konsepnya mengenai roh abadi (atman) adanya buah dari setiap perbuatan (karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (pumarbawa), dan kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali (moksa). Semua ajaran‑ajaran itu terdapat dalam sekumpulan kitab‑kitab suci yang bemama Weda.
Tempat melakukan ibadat agama, Bali pada, umumnya, disebut pura. Tempat ibadat ini berupa kompleks bangunan‑bangunan suci yang sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum, artinya untuk semua golongan seperti Pura Besakih, ada yang berhubungan dengan kelompok sosial setempat seperti pura desa (kayangan tiga), yang berhubungan dengan organisasi dan kumpulan tari‑tarian, dan ada yang merupakan tempat pemujaan leluhur dari klen-klen besar. Adapun tempat‑tempat pemujaan leluhur dan klen kecil serta keluarga luas adalah tempat‑tempat sajian rumah yang di sebut sangah. Di bali ada beribu‑ribu pura dan sangah masing‑masing dengan hari perapan, sendiri-sendiri yang telah ditentukan oleh sistem tanggalannya sendiri‑sendiri. Di Bali dipakai dua macam.tanggalan, yaitu tanggalan Hindu‑Bali dan tanggalan Jawa‑Bali berdasarkan atas punama tilem, dipakai pada perayaan pura-pura di berbagai‑bagai di daerah Bali, tetapi seluruh Bali dirayakan tahun baru Saka yang jatuh pada. tanggal 1 (satu) dari bulan kesembilan (tilem kesanga). diadakan upacara korban (pecaran) yang bersifat Buta Yadnya. Pada hari tahun barunya, orang pantang melakukan segala kegiatan (nyepi) dan malamnya pantang menyalakan api. Hari berikutnya hari tahun baru kedua, disebut ngebak geni. Orang boleh menyalakan api, tetapi masih pantang bekerja.
Sistem tanggalan Jawa‑Bali terdiri dari 30 uku, masing‑masing tujuh hari lamanya, sehingga jumlah seluruhnya adalah 210 hari. Banyak perayaan di kuil‑kuil yang berdasarkan atas perhitungan ini, terutama di daerah tanah datar yang mendapat lebih banyak pengaruh Majapalut dan daerah‑daerah lainnya. Perayaan umum terpenting yang berdasarkan atas perhitungan im adalah han raya Galungan dan Kuningan yang jatuh pada hari Rabu dan Sabtu dari uku Galungan dan uku Kuningan. Berdasarkan atas sistem tanggal ini ada banyak lagi upacara upacara yang bersifat lebih kecil.
Dilihat dari segi keseluruhannya di Bali terdapat 5 macam upacara (pancayadnya) yang masing‑masing berdasarkan atas salah satu dan kedua sistem tanggalan tersebut di atas, yaitu: (a) manusia yadnya, meliputi upacara‑upacara siklus hidup dari masa kanak-kanak swnpai dewasa. (b) Pitra yadnya, upacam ‑ upacara yang ditujukan kepada roh ‑ roh leluhur dan yang meliputi upacara‑upacara,kematian sampai kepada upacara roh leluhur (nyeka, memukur). (c) Dewa yadnya, berkenan dengan upacara‑upacara yang berkenan dengan upacara‑upacara pada kuil-kuil umum dan keluarga. (d) Resi yadnya, upacara‑upacara yang berkenan dengan pentahbisan pendeta (mediksa). (e) Buta yadnya, upacara‑upacara yang ditujukan kepada kala dan buta yaitu roh-roh yang dapar menganggu.
Pada umumnya apabila orang‑orang menyelenggarakan upacara ibadah dan keagamaan, terutama yang besar‑besar, maka penuntun dan. penyelesaian upacara itu dilakukan oleh seorang pemimpin agama yang telah dilantik menjadi pendeta, dan pada umumnya disebut sulinggih. Mereka itu juga disebut dengan istilah‑istilah khusus yang tergantung dari klen atau kasta mereka. Misalnya istilah pedanda, adalah untuk pendeta dan kasta Brahmana, baik yang beraliran Siwa maupun Brahma. Istilah resi adalah pendeta dari kasta Satria dan sebagainya. Walaupun semua pelaku upacara agama tadi sebagai sulinggih menjadi anggota Majelis Parisada Hindu Dharma, namun orang Ball masih banyak yang berpandangan tradisional yang memebeda‑bedakan manusia, berdasarkan klen atau kasta.
Kuil-kuil dan tempat‑tempat pemujaan umum seperti kuil desa, kuil banjar, kuil subak, dan sebagainnya, biasannya dipelihara oleh pejabat‑pejabat agama yang disebut pemangku. Untuk dapat menjadi pemangku orang harus juga telah mengalami pengukuhan melalui beberapa upacara tertentu, dan seringkali para pemangku juga mempunyai kepandaian yang dimiliki oleh para pelaku upacara agama pada umumnya. Demikian seorang pemangku seringkali juga bisa dimintai pertolongan untuk melaksanakan upacara‑upacara keagamaan.
Perkawinan merupakan yang amat penting dalain kehidupan orang Bali karena Au bandah ta dianggap sebagai warga. penuh dan masyarakat, sesudah itu ia, memperoleh hak‑hak dan kewajiban seorang warga komunitas dan warga kelompok kerabat. Menurut anggapan adat lain yang sangat dipengaruhi oleh sistem klen‑klen (dadia) dan sistemta (wangsa), perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara warga‑warga satu klen, atau setidak‑tidaknya antara orang‑orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian pula, perkawinan adat di Bali bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan antara anak‑anak dari orang saudara kolot adalah perkawinan antara anak‑anak dari dua orang saudara laki‑laki. Keadaan ini memang agak menyimpang dari masyarakat lain yang berklen, yang umumya bersifat eksogamus. Orang‑orang satu klen (tunggal kawitan, tunggal media, tunggal sanggah ) di Bali itu, adalah orang ‑orang yang bertingkat kedudukannya dalam adat, agaama, dan kasta. Dengan berusaha untuk kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan‑kemungkinan. akan ketengangan‑ketengangan dan noda‑noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dan kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastannya. Karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu kepada keluarga, serta menjauhkan. gengsi seluruh kasta dari anak wanita itu. Dahulu apubila terjadi perkawman campuran yang demikian, maka wanita itu akan dinyatakan keluar dari dadianya, dan secara fisik suami-istri itu akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dan tempat asalnya.
Bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki‑laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikin itu dianggap mendatangkan benacana (panes). Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawman antara seorang dengan anaknya, antara seorang dengan dengan saudara sekandung atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dan saudara perempuan maupun laki-lakinya (keponakannya ). Pada umumnya, seorang pemuda Bali dapat memperoleh istri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga si gadis atau laki‑laki kepada ketuarga si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis telah di bawa lari untuk dikawini. Akhimya ada suatu kunjungan. resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk meminta diri kepada roh nenek moyangnya.
Sesudah pemikahan, suami istri baru biasanya menetap secara virokal dikompleks perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak suami istri baru yang menetap secara neolokal mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan suami istri baru menetap secara uksorilokal di kompleks perumahan si istri (nyeburin). Dari suatu perkawinan terbentuklah suatu keluarga batih, bentuk keluarga batih ini tergantung pula dari macam perkawinan itu. Karena poligini atau poligami diizinkan, maka ada juga keluarga‑keluarga batih yang bersifat poligini ini hanya terbatas dalam lingkungan‑lingkungan tertentu saja yang jumlahnya tidak banyak.
Mata pencaharian pokok orang Bali adalah bertani. Dapat dikatakan 70 % dari mereka hidup dari petemakan, berdagang, menjadi buruh, pegawai, atau lainnya. Karena perbedaan‑perbedaan lingkungan alam iklim di berbagai tempat di Bali, maka terdapatlah perbedaan dalam pengolahan tanah untuk bercocok tanam. Di daerah Bali bagian utara, tanah dataran hanya ada sedikit, curah hujan kurang, tidak untuk bercocok tanaman relatif lebih terbatas daripada di Bali bagian selatan. Di samping bercocok tanam di sawah, di Bali bagian utara, sebelah timur, dan sebelah baratnya ada usaha menanam buah‑buahan (jeruk), palawija, kelapa, dan kopi (di pengunungan).
Pengelolaan pertanian dilakukan melalui sistem subak. Sistem ini mempunyai pengurus yang dikepalai oleh klen subak, anggota, serta bagian-bagian bawahan yang mengatur pengairan serta penanaman pada wilayah sawah tertentu. Di samping itu subak mempunyai upacara‑upacara serta tempat pemujaan sendiri dalam hubungan dengan sedahan agung pada tingkat kabupaten. Daerah‑daerah yang luas tanahnya, akhimya tidak mencukupi keperluan penduduk yang bertambah padat dengan laju yang cepat. Terdapat pula sistem penggarapan tanah yang dikerjaakan oleh buruh tani. Dahulu sebelum adanya undang‑undang yang mengatur hal ini, ada berbagai sistem bagi hasil antara pemilik tanag dan penggarapannya. Kecuali bercocok tanam, bertenak juga merupakan usaha yang penting dalam masyarakat pedesaan Bali. Binatang peliharaan yang terutama adalah babi dan sapi, juga dipelihara temak kerbau, kuda, kambing, tetapi hasilnya relatif jauh lebih kecil. Mata pencaharian lain adalah perikanan, baik perikanan darat maupun perikanan laut. Di Bali terdapat pula industri dan kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain tenun, benda‑benda emas, perak, dan besi, perusahaan mesin‑mesin, petemakan, pabrik kopi, pabrik rokok, pabrik makanan kaleng, tekstil, pemintalan, dan lain ‑ lain.
11.3 Kesenian Bali
11.3.1 Tari-tarian
Tari mendapatkan peran penting dalam seni budaya Bali. Secara umum berdasarkan fungsi sosialnya ada dua jenis tari di Bali, yaitu: (a) tari sakral, adalah tari-tarian yang penting sekali bagi kehidupan agama dan adat Hindu Dharma, dan (b) tari sekuler, adalah tari-tarian yang biasa, lebih cenderung sebagai seni pertunjukan. Tari-tarian sakral terdiri dari: tari-tarian pura, tari-tarian ritual, tari-tarian Sanghyang, dan tari-tarian Barong. Tari-tarian pura contohnya adalah Tari Pendet, Tari Gabor, Tari Rejang, Tari Oleg, Tari Mabuang, Tari Keris, dan Tari Pasraman.
(1) Tari Pendet merupakan tari wanita yang berfungsi sebagai saji-sajian dan persembahan kepada para Dewa. Menurut tradisi Bali, para penari Tari Pendet ini haruslah gadis yang belum kawin. Dal;am rangkaian Tari Pendet ini ada pula penari lelaki yang membawa dupa tempat membakar kemenyan. Penari laki-laki yang ikut menari dalam Tari Pendet ini disebut Ngelaju. Adapun gamelan yang mengiringi Tari Pendet adalah Gamelan Gong atau Gamelan Pelegongan atau Gamelan Semar Pegulingan. Tari Pendet merupakan tarian massal yang bisa dibawakan lebih dari empat penari.
(2) Tari Gabor merupakan tarian wanita yang mirip dengan Tari Pendet. Bahkan tari ini sebenamya hanya merupakan variasi lain dari Tari Pendet. Tari Gabor adalah tari sesaji yang ditarikan oleh dua orang penari wanita atau lebih, dan yang merupakan saji‑sajian adalah penari‑penarinya itu sendiri. Dahulu penari Gabor berkipas dalam menari, dan irama tariannya lebih dinamis dari Tari Pendet. Adapun iringan gamelannya sama dengan gamelan pada Tari Pendet.
(3) Tari Rejang, merupakan tarian wanita yang berbentuk tarian massal. Tari ini juga merupakan tarian sesaji, dan yang menjadi saji‑sajian kepada dewa‑dewa adalah penari‑penari itu sendiri. Maka dari itu penari‑penari Rejang haruslah gadis‑gadis yang masih suci, bahkan sering dilakukan oleh gadis‑gadis kecil yang berumur enam tahun. Para penari dipimpin oleh seorang pemangku yang menari paling depan. Di belakang pemangku para penari Rejang berderet‑deret menari sambil memegang seutas benang yang dibawa pemangku memanjang ke belakang. Mereka sering memakai kipas, dan sering pula tidak. Adapun irama Tari Rejang lambat sekali, dan gerak‑gerak tarinya sangat sederhana, sehingga tiap gadis Bali dapat melakukannya. Tarian ini diadakan di pura pada malam hari. Iringan gamelannya adalah Semar Pegulingan.
(4) Tari Oleg adalah tarian wanita yang mirip dengan Tari Babor, dan merupakan tarian persajian. Yang menjadi persajian adalah penari Oleg itu sendiri.
(5) Tari Mabuang, selain tari‑tarian sesaji di atas ditarikan oleh penari‑ penari wanita, di Bali terdapat pula tari‑tarian sesaji yang ditarikan oleh penari‑penari pria yang sudah dewasa. Tari Mabuang adalah tarian pura yang ditarikan oleh pemuda‑pemuda yang belum kawin. Tarian ini merupakan tarian duet atau berpasang‑pasangan secara massal. Biasanya diakhiri dengan tari perang. Adapun iringan gamelannya adalah Gamelan Selonding.
(6) Tari Keris, di Bali merupakan tari pura yang termasuk tari kuna. Tari ini dilakukan oleh laki‑laki dengan berpakaian kain yang dijawatkan dan badan bagian atas terbuka. Variasi dan nama Tari Keris itu bermacam‑macam. Pada waktu ada upacara keagamaan di Pura, biasanya setelah selesai Tari Pendet atau Tari Rejang atau Tari Gabor lalu disusul dengan Tari Keris. Tari Keris ditarikan oleh dua penari pria dengan membawa keris terhunus. Adapun pengiringnya adalah gamelan gong. Tarian Keris kebayakan ditarikan dalam keadaan trance atau tidak sadar diri dan mereka dalam menari menusuk‑nusuk dadanya dengan keris yang dipegangnya sendiri.
(7) Tari Pasraman juga merupakan tarian pura semacam Tari Keris, tetapi penari‑penarinya membawa senjata tombak. Tarian Pasraman merupakan tarian penutup pada keagamaan di pura dan ditarikan oleh dua atau empat penari laki‑laki. Gamelan pengiringnya adalah gamelan gong.
(8) Tari‑tarian ritual di Bali yang penting sekali adalah Tari Baris, yang juga merupakan tari kepahlawanan. Tari Baris ditarikan oleh pria. Adapun sifat rituil tari pria adalah bahwa tari ini merupakan sebuah tarian untuk membuktikan kedewasaan seseorang dalam segi jasmani. Kedewasaan seorang pria dibuktikan dengan mempertunjukan kemahiran dalam olah keprajuritan yang biasanya disertai dengan kemahiran dalam memainkan salah satu senjata perang. Maka dari itu, Tari Baris selain merupakan tarian rituia juga merupakan tari kepahlawanan. Iringan gamelannya adalah gamelan gong. Adapun ciri khas dari Tari Baris adalah pertama tari ini lebih menonjolkan ketegapan dan kemantapan dalam langkah‑langkah kaki serta kemahiran dalam memainkan senjata perang. Kedua, pakaiannya juga mempunyai corak yang khas, yaitu penutup kepalanya berbentuk kerucut, dan penutup badannya terdiri dari baju panjang serta hiasan kainnya kecil panjang yang sangat indah. Tari Baris di Bali banyak sekali macamnya dan biasanya diberi nama menurut seniata yang dipergunakan dalam tarian tersebut, seperti: Baris Cendekan, Baris Panah, Baris Presi, Baris Dadab, Baris Omang, Baris Tombak, Baris Gede, Baris Jojor , Baris Bajra , dan Baris Melampahan.
(8.a) Baris Cendekan mempergunakan alat perang yang disebut cendek, yaitu semacam tombak pendek. Baris Cendekan terdapat di Bali Utara dan ditarikan oleh beberapa pasang pemuda (taruna). Pakaiannya menggunakan pakaian sehari‑hari dan instrumen gamelan pengiringnya adalah sejenis orkes angklung yang disebut Kembang Kirang. (8.b) Baris Panah, tari ini mempergunakan alat perang yang berupa panah, serta ditarikan oleh bebetapa pasang pemuda (taruna). Baris Panah terdapat di Bali Utara, pakaiannya menggunakan pakaian sehari‑hari dan instrumen gamelan pengiringnya juga menggunakan gamelan Kembang Kirang. (8.c) Baris Presi, dilakukan secara berpasang‑pasangan dengan membawa senjata perang yang disebut presi atau perisai. (8.d) Baris Tamiang merupakan variasi dari Baris Presi. Para penarinya membawa tamiang atau perisai dan ditarikan berpasang-pasangan pula. (8.e) Tari Baris Dadap mempergunakan senjata perang yang disebut dadap, yaitu sejenis perisai. Baris Dadap dahulu terdapat di sekitar Danau Batur. Adapun iringannya biasanya menggunakan Gamelan Kembang Yarang. (8.f) Tari Baris Omang, ditarikan oleh penari‑penari yang membawa tombak sebagai alat perangnya dan ditarikan oleh penari‑penari yang berpasang‑ pasangan. (8.g) Baris Tombak, para penarinya membawa tombak sebagai alat perangnya, dan ditarikan oleh penari pria yang berpasang‑pasangan. (8.h) Baris Gede adalah tari baris yang bersenjatakan tombak panjang, ditarikan oleh penari laki laki berpasang‑pasangan yang berjumlah relatif banyak. (8.i) Baris Jojor juga merupakan Tari Baris yang bersenjatakan jojor atau tombak. (8.j) Baris Bajra adalah Tari Baris yang penari‑penarinya bersenjatakan gada sebagai senjata pemukul. (8.k) Baris Melampahan merupakan drama tari yang dibawakan dengan Tari Baris. Adapun yang mempergunakan tari baris dalam drama tari tersebut adalah tokoh‑tokoh utamanya. Pada Baris Melampahan itu yang dibawakan adalah cerita‑cerita epos Mahabharata. Ciri khas dari Baris Melampahan adalah selain pemeran‑pemeran utamanya mempergunkan Tari Baris, mereka juga mengenakan pakaian Tari Baris. Tari Baris Melampahan yang terkenal adalah Baris Melampahan yang membawakan cerita Arjunawiwaha. Tari Baris Melampahan tidak bersifat sakral, yang ada sangkut-pautnya dengan peristiwa suci dalam kehidupan kaum laki‑laki, tetapi sudah merupakan yang biasa atau sekuler.
(9) Tari Sanghyang, merupakan tari kedewian di Bali yang biasanya dipakai sebagai sarana pengusir wabah penyakit yang menular. Apabila di Bali terjadi wabah penyakit atau epidemi, mulailah di mana‑mana dipagelarkan Tari Sanghyang. Pada umumnya Tari Sanghyang dilakukan oleh dua orang penari gadis yang masih kecil. Dua gadis yang akan menjadi Sanghyang, kepalanya diasapi dengan asap kemenyan sambil diiringi dengan nyanyian doa‑doa. Di belakang kedua gadis calon Sanghyang itu ada beberapa wanita yang menjaga, dan juga ada sekelompok penyanyi wanita serta sekelompok penyanyi pria yang menyanyikan doa bersama‑sama. Adapun lagu yang dinyayikan mereka itu adalah Gending Pengedusan, yang khusus dinyanyikan oleh penyanyi‑penyanyi wanita. Pada permulaanya irama nyanyiannya lambat, tetapi jika sudah ada tanda‑tanda bahwa Dewi yang dipanggil sudah akan datang, maka irama nyanyiannya dipercepat. Tanda bahwa Dewi sudah akan masuk ke badan kedua penari Sanghyang itu adalah kedua penari tersebut akan nampak tidak sadar diri. Sampai pada saat itu penari Sanghyang masih menggunakan pakaian putih dengan rambut terurai ke depan. Sesudah mereka kemasukan Dewi, barulah pakaian mereka diganti dengan pakaian tari. Sesudah itu penari Sanghyang lalu menari dengan mata yang dipejamkan. Biasanya penari Sanghyang akan dibawa berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Masing‑ masing penari akan dipanggul di atas pundak laki‑laki, sambil memejamkan mata, kedua penari Sanghyang menari di atas pundak laki‑laki yang mamanggulnya sambil berjalan. Adapun Dewi yang biasa dipanggil untuk masuk ke badan Sanghyang adalah Dewi Suprabha dan Tilotama. Tari Sanghyang ada bermacam‑macam, antara lain: Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, dan Sanghyang Bumbung. Tari Kecak adalah di antara jenis Tari Sanghyang itu yang sampai sekarang masih biasa diselenggarakan di Bali adalah Sanghyang Dedari.
(9.a) Tari Sanghyang Dedari ditarikan oleh seorang gadis kecil. Setelah Sanghyang kemasukan Dewi (Dewi Supraba), Sanghyang akan diberikan pakaian, seperti pakaian Tari Legong. Setelah didikenakan pakaian, barulah gamelan palegongan ditabuh. Apabila tidak diiringi dengan gamelan, koor penyanyi laki‑lakilah yang mengiringi tariannya. Penyanyi laki‑laki ini disebut kecak. Sanghyang Dedari banyak terdapat di berbagai daerah di Bali. Sering pula penari Sanghyang Dedari setelah dalam keadaan tidak sadar lalu menginjak‑ njak api arang yang sedang membara. Selain tarian ini ditarikan oleh penari gadis, ada pula ditarikan oleh dua orang gadis. Kerap pula mereka menari diatas pundak laki‑laki yang mendukung mereka.
(9.b) Tari Sanghyang Deling ditarikan oleh dua orang gadis yang terdapat di desa‑desa sekitar Danau Batur. Sebenamya yang dianggap sebagai Sanghyang adalah dua boneka, karena dua boneka itulah sebagai tempat masuknya Dewi. Setelah ada tanda‑ tanda bahwa Dewi akan masuk, kedua boneka itu mulai bergerak, kedua penari Sanghyang Deling lalu mengambil kedua boneka itu kemudian menari sambil membawa boneka tersebut. Dahulu di Danau Batur gamelan pengiring Tarian Sanghyang Deling adalah gamelan Bali yang primitif sekali yang hanya terdiri dari seruling dan gendang .Di daerah Tabanan dahulu juga terdapat semacam Sanghyang Deling tetapi namanya lain, yaitu Sanghyang Dangkluk.
(9.c) Tari Sanghyang Jaran terutama terdapat di Bali Selatan, dan ditarikan oleh seorang atau dua orang penari pria. Dahulu yang menjadi tempat masuknya Dewa adalah boneka yang berbentuk jaran (kuda) yang dibuat dari kayu dan bambu. Penari Sanghyang Jaran yang membawa kuda‑kudaan yang dimasuki Dewa juga lalu menjadi tidak sadar diri dan kemudian menari menirukan gerak‑gerak kuda sambil membawa boneka kuda dengan kedua tangannya. Adapun iringannya sering menggunakan gamelan kadang juga kecak. Sekarang di Bali Sanghyang Jaran sering ditarikan tanpa kuda‑kudaan, tetapi penari Sanghyang Jaran itu sendiri yang menari menirukan gerak-gerak kuda. (9.d) Tari Sanghyang Bumbung ditarikan oleh penari‑penari wanita dengan membawa boneka dari bambu dan biasanya diadakan pada malam bulan pumama.
(9.e) Tari Kecak atau Tari Cak merupakan tarian yang berasal dari tarian Sanghyang. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya rombongan penyanyi koor pria dari Tari Sanghyang itu lalu memisahkan diri dari fungsinya semula, dan berdiri sendiri sebagai tarian tersendiri yang sampai sekarang sangat populer di Bali dan bemama Tari Kecak atau Cak. Pertunjukan Tari Kecak sangat sederhana sekali, baik mengenai teknik tariannya, perlengkapan pakaiannya dan pengiring tariannya yang hanya berupa koor. Adapun penarinya terdiri dari laki‑laki yang jumlahnya sampai ratusan. Pakaian mereka hanya sehelai kain yang dijawatkan, dan bagian atas badan tidak memakai apa‑apa. Mereka membuat lingkaran beberapa saf, dan di tengah‑tengah mereka terdapat lampu penerang yang sederhana pula, yaitu lampu minyak kelapa. Semula mereka hanya menggerak‑gerakan badan ke kanan dan ke kiri secara ritmis sambil mengucapkan kata‑kata: “cak‑cak‑cak‑cak‑ cak’” dan seterusnya dengan irama yang agak lambat. Lama‑kelamaan iramanya menjadi cepat dan dengan disertai angkatan tangan yang digetar‑ getarkan. Dalam suasana yang demikian ini, dibarengi juga pula dengan suara‑suara desis seperti suara kera atau raksasa. Dalam saat‑saat tertentu penari penari Kecak yang setengah lingkaran merebahkan diri ke belakang secara serentak dan dilakukan bergantian. Tari Kecak sejak permulaan abad ke-20 mengalami perkembangan menjadi drama tari. Cerita yang dibawakan selalu bagian‑bagian dari epos Ramayana. Adapun cerita yang digemari adalah hilangnya Sitha, perang antara Sugriwa dan Subali, dan lain sebagainya. Para pelaku utama Drama Tari Kecak ini menari dengan posisi berdiri, sedangkan penati penari kecak setnuanya duduk dengan membentuk lingkaran bersaf. Pelaku‑pelaku utama datang dari luar lingkaran. Dalam Drama Tari Kecak ini para para penari kecak mempunyai fungsi yang bermacam‑macam, mereka dapat berfungsi sebagai kera bala tentara Rama, sebagai raksasa tentara Rawana, sebagai panah ular atau rantai senjata Indrajit.
(10) Tari Barong merupakan tarian yang ditarikan oleh dua orang penari laki‑laki, seorang memainkan bagian kepala barong serta kaki depan, dan seorang lagi memainkan bagian kaki belakang dan ekor. Barong yang berbentuk binatang mitologi ini banyak sekali macamnya, ada yang kepalanya berbentuk kepala singa, harimau, babi hutan jantan (bangkal), gajah, lembu, atau keket. Keket oleh orang Bali dianggap sebagai raja hutan yang disebut pula dengan nama Banaspati Raja.
(10.a) Tari Barong Keket juga disebut Tari Barong Ket. Keket atau Ket adalah binatang yang sesungguhnya tidak ada, tetapi yang oleh orang Bali digambarkan sebagai seekor binatang raksasa mitologi yang mereka anggap sebagai raja dari binatang. Maka dari itu Keket juga mendapat sebutan Banaspati Raja yang berarti raja dari segala raja hutan. Penari dari Tari Barong Keket ini terdiri dari dua orang laki‑laki, seorang memainkan bagian kepala, barong serta kaki depan, dan seorang lagi memainkan bagian kaki belakang dan ekor. Janggut Barong Keket mempunyai kekuatan magik putih yang merupakan kekuatan penolak penyakit dan penyembuh penyakit. Di Bali pertunjukan Tari Barong Ket biasanya dipadu dengan Drama Tari Calonarang. Bahkan keduanya kini merupakan perpaduan dua macam tarian yang sukar dipisahkan. Dalam Drama Tari Calonarang, klimaksnya terletak pada pertempuran antara barong yang mewakili kekuatan baik (magik putih) melawan Rangda, tokoh terpenting dari drama tari tersebut yang mewakili perwujudan kekeuatan jahat (magik hitam).
Selain itu pada bagian terakhir dari Drama Calonarang selalu dipertunjukan Tari Keris. Penari‑penari keris yang merupakan pengikut Barong, dalam keadaan tidak sadar menyerang Rangda dengan keris yang dibawanya. Tetapi karena kekuatan magik hitam yang terdapat pada sepotong kain putih yang selalu dibawa oleh Rangda, penari‑ penari keris tersebut dengan tidak sadar menusuk‑nusuk badan mereka sendiri. Penari Keris yang disebut Daratan atau Panugdug itu jarang sekali terluka oleh keris mereka sendiri, walaupun mereka menusuk‑nusuk badan mereka dengan sekuat tenaga. Hanya apabila penari keris itu dalam keadaan tidak suci atau bersih, maka keris tersebut akan dapat melukai badan penari. Apabila ada seorang penari keris terluka, dan luka tersebut dilihat oleh penari keris yang lain, sering tedadi penari keris yang lain akan segera memindahkan perhatiannya kepada yang terluka dan menyedot darah yang keluar dari luka itu. Kejadian semacam ini apabila sampai terjaadi akan membahayakan penari keris yang luka tersebut, karena kemungkinan besar darahnya akan habis tersedot. Maka dari itu apabila ada. salah seorang penari keris terluka, seorang pemangku (pendeta pura) yang selalu ada dalam setiap pertunjukan segera menutup luka tersebut dengan daun bunga hibiscus (kamboja). Adapun gamelan yang mengiringi Tari Barong adalah Gamelan Barongan. Tari Barong yang sejenis dengan Barong Ket tetapi berbeda bentuk kepalanya adalah Barong Bangkal dengan kepala babi butan, Barong Macan dengan kepala harimau, Barong Singa dengan kepala. singa, Barong Gajah dengan kepala gajah, Barong Lembu dengan kepala lembu, dan sebagainya.
(10.b) Tari Barong Kalekek merupakan sebuah drama tari yang isi ceritanya adalah sebagai berikut. Dewa Siwa dan Dewi Sri, isterinya pada suatu hari sedang berjalan-jalan di Gunung Waralau. Sekonyong‑ konyong Dewa Siwa mengajak isterinya berhubungan badan. Tetapi karena sedang dalam perjalanan Dewi Sri menolaknya. Namun karena Dewa Siwa sudah tidak lagi bisa mengendalikan nafsunya, maka keluarlah spermanya dan jatuh ke dalam sebuah ceruk. Sperma itu oleh Dewa Siwa disabda lalu dijadikan dua orang anak kembar laki‑laki dan perempuan, yang laki‑laki diberi nama Kalawenara dan yang perempuan diberi nama Kalekek. Dewa Siwa memberitahu kepada kedua anaknya bahwa tempat mereka mencari makan adalah di kubutan‑kuburan. Dewi Sri melihat perbuatan suaminya itu menjadi marah dan ingin mengimbangi kesaktiannya dengan menciptakan anak pula. Pada waktu Dewi Sri sedang mandi pakaiannya diletakan d iatas sebuah kuburan seorang perempuan hamil yang sudah meninggal. Dari kuburan tersebut keluarlah seorang anak perempuan yang oleh Dewi Sri diberi nama Buta Seliwar. Karena suaminya menciptakan dua orang anak, maka Dewi Sri belum puas dan menciptakan seorang anak laki‑laki yang diberi nama Cuwildaki. Pada suatu hari Kalekek mencari makan si sebuah kuburan dengan merubah bentuk dirinya sebagai seekor barong. Adapun yang menjadi makananya adalah sajian‑sajian. Pada saat yang sama Buta Seliwar dan Cuwildaki juga sedang mencari makan di kuburan yang sama. Maka terjadilah perkelahian antara Kalekek melawan Buta Seliwar dan Cuvhldak. Kalekek yang berbentuk barong tersebut kalah dan terbakar menjadi abu. Dewa Siwa yang mengetahui bahwa puterinya yang berbentuk Barong Kalekek mati bahkan menjadi abu, murka sekali kepada istrinya yang secara tidak langsung telah menghinanya. Maka sebagai hukumannya, Dewi Sri dilarang kembali ke sorga dan harus tetap tinggal di bumi, di kuburan dengan berbentuk sebagai Dewi Durga yang menakutkan. Kemudian Dewa Siwa kembali menghidupkan Kalekek kembali dan menyuruhnya menjaga Dewi Durga di kuburan dengan diberi nama Banaspati Raja. Banaspati Raja ini mempunyai pengikut yang terdiri dari penari‑penari keris yang selalu berusaha membunuh Dewi Durga.
(10.c) Tari Barong Landung merupakan Tari Barong yang lain sekali bentuknya kalau dibandingkan dengan Tari Barong yang umum terdapat di Bali. Sebab Tari Barong Landung tidak merupakan tarian yang dibawakan oleh dua orang laki‑laki yang menarikan seekor binatang buas. Barong Landung diwujudkan dengan dua buah boneka raksasa laki‑laki dan perempuan. Barong yang laki‑laki bemama Jero Gde dan yang perempuan bemama Jero Luh. Masing-masing barong ditarikan oleh seorang laki‑laki yang masuk ke dalam boneka itu. Pertunjukan Tari Barong Landung terutatna terdapat di sekitar kota Denpasar, dan biasanya diadakan pada Hari Raya Galungan. Jero Gde bermuka hitam dan menakutkan, sedangkan Jero Luh bermuka putih atau kuning dan bermata sipit. Demikian sekilas deskripsi seni tari di Bali.
11.3.2 Gamelan Bali
Di antara gentuk-bentuk gamelan yang berbeda di luar Jawa, yang paling terkenal adalah gamelan yang terdapat di pulau Bali. Gaya yang ribut orkestra di Bali merupakan ciri umumnya, yang berbeda kualitas suaranya dengan gamelan Jawa. Di Bali, alat-alat musiknya sama dengan yang dipergunakan pada musik gamelan Jawa, yang dijumpai pada pertunjukan yang sama fungsinya. Bagaimanapun, di Bali gendher dan gangsa (yang terakhir ini sama dengan saron di Jawa) terdiri dari sepasang atau empat, setiap alat musik mempunyai ukuran oktaf sendiri. Meskipun semua alat musik dalam satu set mempergunakan tangga nada yang sama, setengahnya adalah alat-alat musik “betina” yang dilaras lebih rendah dibandingkan dengan alat-alat musik “jantan.” Ketika kedua kelompok pemusik bermain bersama-sama, mereka menghasilkan musik yang berdentang-dentang disebabkan oleh karena larasnya yang berbeda. Suara yang indah ini merupakan karakteristik ensambel musik Bali.
Di antara beebrapa alat musik yang membawa tema inti (di Bali disebut pokok) adalah alat musik trompong, dalam satu set terdiri dari dua oktaf yaitu sepuluh gong berpencu. Tidak seperti dua deretan gong pada musik Jawa yang disebut bonang, gong trompong pada satu set adalah satu baris. Alat musik ini dimainkan dengan pukulan yang sangat besar, dan gerakan-gerakan pemainnya berhubungan dengan tarian. Alat-alat musik kolotomik di Bali umumnya sama dengan di Jawa, dengan penambahan pada alat musik simbel kecil. Alat-alat musik yang menghasilkan suara lebih lembut yaitu rebab kurang dipentingkan dan ada dua pemain gendang sebagai pengganti satu di antaranya. Selanjutnya ditambahkan pula reyong yang dalam satu set terdiri dari dua belas gong yang ditempatkan dengan posisi satu baris dan dimainkan oleh empat orang pemusik. Mereka menghasilkan melodi-melodi yang kocak, melodi gabungan yang rumit, merupakan bagian dari teknik interloking. Prinsip interloking adalah bagian yang penting dalam musik Bali. Dua orang pemain gendang memainkan ritme-ritme yang lengkap menghasilkan sebuah ritme yang kompleks. Gendher atau gangsa juga biasanya memainkan teknik ini. Cara yang seperti ini pada sejarah musik Barat dikenal sebagai bentuk yang canggih yaitu teknik hoketing pada musik lama Eropa. Hasil dan kesempurnaan dari melodi gabungan ini adalah digemari oleh para pemusik Bali.
Di Bali pemain musik juga memiliki rasa sebagai seorang komposer, meskipun seorang pemain menghasilkan inti tema musik, ia juga menerima saran-saran daripemain lainnya sebagai gurunya, dengan menghafal berbagai bagian musiknya secara teliti. Kelompok yang memainkan komposisi tersebut mempunyai metode untuk menilai aspek-aspek persatuan komunal pada gamelan. Yang paling banyak pada gamelan Bali adalah kelompok-kelompok sebuah kawasan atau desa. Tujuan yang paling utama kelompok ini adalah dasar-dasar dari demokrasi, juga keseluruhan integrasi pada kehidupan sosial dan ritual komunitasnya. Demikian sekilas musik tradisional Bali. Selaanjutnya kita melangkah ke budaya musik di Nusa Tenggara Barat (NTB).
11.4 Nusa Tenggara Barat
Nusa Tengpra Barat diresmikan sebagai sebuah propinsi pada tanggal 17 Desember 1958, terletak pada gugusan kepulauan Nusa Tenggara. Penduduknya terdiri dari 3 etnik yang sampai sekarang dianggap sebagai penduduk asli . Ketiga etnis itu adalah: Sasak, Sumawa, dan Mbojo. Ketiga etnik ini masing‑masing memiliki bahasa, adat istiadat, kesenian, busana, dan permainan tradisional sendiri‑sendiri.
Peralatan musik tradisional di Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut. (1) Silu adalah salah satu jenis alat musik dari daerah Bima, silu termasuk golongan alat musik tiup (ufi). Bahan untuk membuat silu adalah jenis kayu sawo, perak, dan daun lontar. Tidak ada aturan‑aturan tertentu untuk memilih bahan. Khusus kayu sawo sebagai bahan pokok dicari kayu sawo yang sudah tua, dan dipilih yang besamya sesuai dengan keperluan. Silu yang ada sekarang ini kebanyakan adalah silu yang merupakan peninggalan zaman dahulu, jika rusak diperbaiki bagian‑bagiannya. Silu dahulu dibuat oleh petugas‑petugas khusus istana yang disebut renda. Nada‑nada pada silu sangat sulit ditentukan, namun demikian dapat diamati sistem penjariannya. Antara lain sistem penjarian yang dipakai adalah sebagai berikut: 1. Semua lubang baik di depan 7 dan di belakang 1 buah ditutup. 2. Lubang depan ketujuh dibuka, lainnya ditutup. 3. Lubang depan keenam dibuka, lainnya ditutup. 4. Lubang depan kedua dibuka, lainnya ditutup. Fungsi silu adalah sebagai pembawa melodi dalam ansambel musik Bima. Satu perangkat musik Bima, terdiri dari silu, no (gong), 2 buah genda (gendang). Biasanya dipergunakan untuk mengiringi tari‑tarian istana Bima pada upacara Maulud Nabi, upacara pelantikan raja, khitanan, dan upacara‑upacara lain di istana. Silu tidak pernah dimainkan secara tunggal. Fungsi silu adalah sebagai pembawa melodi dalam orkestra musik daerah Bima. Lagu‑Jagu yang dimainkan oleh silu adalah lagu‑lagu pengiring tari istana seperti Tan Katubu, Karaenta, Lenggo, Manca, Sere, dan lain‑lain.
(2) Serune adalah sebuah alat musik tiup dari Sumbawa. Serune termasuk alat musik golongan aerofon yang berlidah. Memang jumlah lidahnya termasuk tipe klarinet karena lidahrnya hanya satu, yang menurut bahasa setempat, lidah ini disebut ela. Bentuk tabungnya adalah konis. Serumung ode (cerobong kecil) merupakan bagian yang ditiup dan berfungsi untuk menahan nafas agar tetap ada. Serumung lolo (batang) merupakan bagian yang dilubangi untuk sistem penjarian. Sedang serumung rea (cerobong besar) berfungsi sebagai resonator. Anak lolo merupakan bagian lolo, yang lebih kecil, dan di sinilah terdapat ela (lidah) yang merupakan sumber suara. Serune dibuat dari 2 baban pokok yaitu buluh Oknis (bambu kecil) dan daun lontar. Pada lolo terdapat 6 bongkang (lubang) di atas, dan satu lubang di bawah. Cara melubangi dilakukan dengan menggunakan kawat besar yang dibakar. Jarak antara lubang yang satu dengan lubang yang lain diukur dengan mengambil ukuran keliling lolo. Tehnik bermain serune adalah mula‑mula menarik nafas, melalui hidung, disimpan di rongga mulut, lalu dikeluarkan melalui tiupan. Meniup serune tidak menggunakan lidah, cukup dengan hembusan udara dalam mulut. Untuk memperoleh suara serune yang tepat dan mantap, pertu keahlian dan pengalaman. Serune tidak berfungsi sebagai alat musik yang sakral, oleh karena itu dapat dimainkan oleh siapa saja yang berminat.
(3) Gambo adalah alat musik berdawai yang bentuknya seperti gitar yang tidak berlekuk. Gumbo termasuk alat musik kordofon jenis lute. Bahan gambo adalah kayu, kulit kambing, dan senar plastik. Bagian‑bagian gambo adalah sebagai betikut: tuta (kepala), terdapat alat penyetem sebanyak 6 buah; wo‑o (leher); kewa (membran) yang tetbuat dari kulit kambing, yang berfungsi sebagat resonator. Kulit kambing ini dipaku pada bagian badan gambo, dengan diberi bingkai penguat dan rotan; kaki yang tersambung dengan bagian perut dan leher; ai gambo (dawai), terbuat dari bahan senar plastik. Tula (pengganjal), berfungsi sebapi penyekat antara senar dan membran kulit. Jempa, yaitu tempat berkaitnya dawai. Pada gambo tidak terdapat omamen‑omamen yang mengandung makna simbolis. Gambo semata‑mata merupakan alat musik hiburan terutama di waktu senggang.
(4) Pereret merupakan salah satu jenis alat musik tiup dari daerah Lombok. Pereret termasuk alat musik aerofon (tabung berlidah) tipe hobo karena memiliki lebih dari satu lidah. Pembuatan pereret pada umumnya lebih dititikberatkan pada segi musikalitas daripada segi artistiknya. Oleh karena itu pereret tidak diberi ornamen‑ornamen. Namun secara visual bentuk pereret sendiri sudah artistik. Untuk memperoleh nada‑nada yang diinginkan, dipergunakan sistem penjarian tertentu, yaitu: 1. Lubang I dan lubang bawah dibuka, lubang lainnya ditutup, akan mengbasflkan nada e. 2. Semua lubang ditutup, kecuali lubang bawah akan menghasilkan nada a. 3. Lubang 2 dibuka, lubang lainnya ditutup, menghasilkan nada g. 4. Lubang 3 dibuka, lubang lainnya ditutup akan menghasilkan. nada a. Cara menyetem pereret, dengan mengatur letak sripit (lidah). Untuk memperoleh nada yang sempuma, tergantung pada ketepatan hembusan (kembung-kempisnya) rongga mulut. Untuk membuat pereret, perlu dicari hari baik yang jatuh pada perhitungan pasaran paing dan sesajen.
(5) Genggong termasuk alat idiofon jenis jaw's harp. Selain sebagai alat musik, genggong juga merupakan nama orkestra yang alat utamanya adalah genggong, dipadukan dengan alat lain seperti suling, rincik, petuk, dan gong. Bahan pokok untuk membuat genggong adalah pelepah daun enau yang sudah tua. Untuk memperoleh genggong yang bagus, selain pelepah datin enaunya harus tua hendaknya dican pelepah enau yang tumbuhnya berdekatan dengan pohon lain terutama bambu, sehingga selalu bergesekan satu swna lain dengan dahan atau daun pohon tersebut. Untuk membuat talinya, dahulu digunakan ambung nanas yaitu serat daun nanas. Sedang danda (pegangan tali) dibuat dari duri landak. Sekarang talinya dan benang dan danda dan kayu atau bambu. Genggong ada 2 macam, yaitu: genggong lanang dan genggong wadon. Secara fisik, keduanya tidak dapat dibedakan, yang membedakan hanyalah suaranya. Dahulu genggong berfungsi sebagat penghibur diri, namun dalam perkembangan selanjutnya genggong berkembang menjadi orkestra dengan menambah alat musik lain, yaitu suling, rincik, petuk, dan gong., Genggong tidak pernah digunakan dalam upacara‑upacara adat seperti perkawman, karena suaranya yang sangat lunak sehmgga kurang berfungsi dalam acara‑acara tersebut.
(6) Palompong termasuk alat musik idiofon. Palompong hanya lerdiri dari 3 atau 5 bilah saja dan dipukul dengan satu alat pemukul yang dipegang tangan kanan. Bahan untuk membuat palompong adalah jenis kayu yang ringan. Dulu hanya musikal auditif yang dipentingkan, sekarang baik unsur musikal maupun artistik sama-sama diperhatikan. Oleh karena itu palompong diberi wadah yang disebut Bale Palompong. Sebagai resonator di bawah bilah‑bilah palompong dibuat tabung‑tabung dari kaleng yang besar kecilnya akan menentukan produksi suara. Bale Palompong biasanya dihias dengan bermacam‑macam ornamen. Semakin dalam cengkoak (parit) yang ada di bawah palompong semakin rendah suara yang dihasilkan. Biasanya palompong dimainkan untuk mengiringi tari‑tarian pada saat irama cepat. Palompong dipukul dengan alat pemukul sebanyak 2 buah, masing‑masing dipukul dengan tangan kiri dan tangan kanan. Palompong sangat merakyat, oleh karena itu ia dapat dimiliki oleh siapa saja.
(7) Suling loang telu memilild 3 lubang, yaitu 2 di atas untuk sistem penjarian dan satu di bawah untuk ibu jari. Sekarang ditambah satu lagi, namun namanya tetap suling loang telu. Suling loang telu termasuk alat musik aerofon tanpa lidah tipe whistle flute, yaitu jenis suling bambu yang bercincin. Suling loang telu mempunyai bagian‑bagian sebagai berikut: 1. Seleper (cincin), terdiri dari segabung rautan bambu tipis, dapat juga bambu utuh untuk diraut. 2. Loang lelet, yaitu lubang yang terdapat di bawah sleeper. 3. Awak suling (badan suling) 4. Loang alas (lubang atas), banyaknya 3 buah 5. Loang bawak (lubang bawah), satu buah. Suling loang telu dibuat dari satu jenis bilok (buluh) yang disebut bilok gres (buluh pasir). Menyetem untuk memperoleh. suara yang diinginkan dilakukan dengan jalan melebarkan atau memperdalam langan angin (jalan angin), yaitu sebuah saluran pipih yang terdapat di bawah sleper, lurus dengan loang lelet. Pada empat generasi yang lalu alat ini merupakan suling yang bertuah, dan khusus dipergunakan untuk memikat hati dedara (gadis) idaman. Suling loang telu biasanya dimiliki oleh perorangan dan sekarang ini tidak lagi dipakai di acara‑acara tertentu. Bila dimainkan dengan alat‑alat musik lain dalam sebuah orkestra, suling loang telu berfungsi sebagai pembawa melodi.
(8) Rebana termasuk alat musik membranofon. Rebana biasanya merupakan suatu musik orkestra yang semua alat musiknya adalah rebana. Hanya besar kecilnya saja yang membedakan nadanya. Bahan pembuat rebana terdiri dari kayu, kulit, rotan dan kawat. Kulit sapi atau kerbau tidak baik untuk membuat rebana karena terlalu tebal sehingga suara yang dibasilkan kurang bagus. Bahan yang dipergunakan sebagai pengikat adalah rotan. Rotan juga dipergunakan untuk menutup atau membirigkai bagian antara penampang kulit rebana dengan badan rebana. Fungsi rebana sebagai alat musik adalah sebagai alat perkusi. Namun dalam gamelan rebana berfungsi sebagai pembawa melodi, dengan diperkuat oleh suling. Rebana biasanya dipakai dalam memeriahkan upacara perkawinan, khitanan atau perayaan‑perayaan di masyamkat. Cara memainkan rebana ada dua macam, yaitu dipukul dengan tangan dan dipukul dengan alat pemukul. Di Lombok pada umumnya rebana dipukul dengan alat pemukul.
(9) Rebana rea adalah salah satu jenis alat musik rebana yang khas karena ukurannya yang besar dan hanya ada di Sumbawa. Rebana rea termasuk alat musik membranofon. Bahkan yang dipergunakan untuk membuatnya adalah kayu, kulit kambing, dan rotan. Adapun bagian‑bagian rebana rea adalah sebagai benkut: 1. lenong, kulit; 2. rengkan:, dua utas rotan yang merekatkan kendang dengan sematang; 3. sematang, badan rebana yang dibuat dari batang kayu dan berbentuk seperti mangkuk; 4. lobang, lobang resonator. Di dalam rongga dimasukkan rotan yang disebut we rebana rea yang fungsinya adalah untuk mengencangkan kulit, atau untuk menyetem. Untuk memasukkan we digunakan alat yang disebut pelajo. Fungsi rebana rea ini adalah mengiringi lagu‑Jagu yang syaimya berbahasa Arab. Kesenian yang diiringi rebana rea ini disebut ratib rebana rea yang umumnya berfungsi untuk syi’ar agama Islam.
(10) Gendang belek tennasuk slat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul yang disebut dengan pemantok gendang. Bahan pembuat gendang belek adalah kayu tap, sejenis kayu yang getahnya dapat dipakai untuk menangkap burung. Membrannya terbuat dari kulit sapi dan talinya juga terbuat dari kulit sapi. Untuk membuat sebuah gendang belek diperlukan kayu yang sudah tua, namun ringan dan tak mudah pecah, dan tak mudah dimakan hama kayu. Gendang belek ada dua macam, Gendang mama dan gendang nina. Perbedaannya bukan terletak pada bentuk fisiknya melainkan suara yang dihasilkannya. Suara yang relatif rendah adalah gendang mama dan yang relatif tinggi adalah nina.
Di samping itu, di Nusa Tenggara Barat ini dijumpai juga peralatan teater tradisonal dari daerah ini. Ada tiga jenis teater yang mempergunakan topeng, yaitu tetaer Amak Darmi, Amak Abir, dan Cupak Gerantang. Alat-alatnya adalah sebagai berikut: Tapel Amak Darmi adalah tapel (topeng) yang dipakai oleh tokoh Amak Darmi sebagai tokoh utama teater ini. Semua pemain menggunakan tapel, yaitu tapel Ida, Jempiring, dan Amak Pang. Kemudian ada pula teater Tapel Amak Abir. Semua pemain dalam teater ini menggunakan topeng. Topeng Ida dipakai oleh Raja, topeng Amak Tempenges dipakai oleh Panakawan dan topeng haji dipakai oleh penasihat. Topeng Amak Abir ini bisa membuat orang kemasukan. Selanjutnya yang ketiga adalah teater Topeng Cupak Gerantang, yang menggunakan tapel cupak, yaitu berupa topeng yang dipakai oleh tokoh Cupak, yang memiliki sifat kurang terpuji, sedangkan Gerantang memiliki sifat yang sangat berlawanan.
Daftar Pustaka untuk Memperdalam KajianA. Ubani, 1992. Kebudayaan Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
Belo, Jane, 1970. Traditional Balinese Culture. New York: Columbia University Press.
Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. New York: Cornell University Press.
Kunst, Jaap, 1942. Music in Flores. Leiden: E.J. Brill.
Mulyadi, Yad, 1999. Antropologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Spice, Walter, 1938. Dance and Drama in Bali. London: Faber & Faber.
Sumantri, Kusuma, 1995. Kebudayaan Bali. Jakarta: Grafika.
.
Bali atau yang dikenal juga dengan Pulau Dewata, adalah salah satu daeah andalan wisata Indonesia. Bahkan banyak masyarakat luar negeri yang lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Ini tak lain dan bukan adalah karena Bali memiliki potensi wisata (budaya dan alam) begitu hebatnya. Selain itu, hal yang unik lainnya adalah masyarakat Bali dalam kehidupannya selalu menyertakan seni budaya dalam upacara ritual atau hiburan. Bali juga meneruskan tradisi-tradisi Hindu yang sebagaian sudah tak dijumpai lagi di Jawa Timur. Bali dapat pula disebut sebagai daerah seni yang ternama di Indonesia. Selanjutnya mari kita lihat masyarakat dan kesenian Bali secara umum saja. Kemudian di bab ini juga akan dideskripsikan seni (musik) dari Nusa Tenggara Barat.
11.2 Masyarakat Bali
Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia. yang tenkat oleh kesadaran akan kesatuan kebuadayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Di samping itu agama Hindu yang telah lama berintegrasi ke dalam kebudayaan Bali, dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu.
Perbedaan pengaruh dan kebudayaan Jawa Hindu di berbagat daerah di Bali pada zaman Majapahit mempurryai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa‑desa di pegunungan seperti Sembiran, Cempaka Sidauq3a, Pedawa, Tigawasa, di Kabupaten Buteleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa‑bahasa Indonesia atau Melayu-Polinesia. Dilihat dan sudut perbendaharaan kata‑kata dan struktumya, maka bahasa Bali tidak jauh berbeda dari bahasa‑bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan‑peninggalan prasasti dan zaman Bali-Hindu menunjukkan adanya sesuatu bahasa Bali Kuno yang agak berbeda dengan bahasa Bali sekarang. Bahasa kuno banyak mengandung kata kata Sansekerta dan pada masa perkembangannya terpengaruh juga oleh bahasa Jawa Kuno dari zaman Majapahit. Bahasa Bali juga mengenal apa yang disebut perbendaharaan kata‑kata hormat walaupun tidak banyak seperti dalam bahasa Jawa Bahasa homiat ( bahasa halus yang dipakai kalau berbicara dengan orang tua atau lebih tinggi, telah mengalmni beberapa perubahan akibat pengaruh modenusasi dan cita‑cita demokrasi.
Di Bali berkembang kesusastraan lisan dan tulisan baik dalam bentuk puisi maupun prosa, di samping itu sampai kini di Bali didapati juga sejumlah hasil kesustraan Jawa Kuno (Kawi ) baik dalam bentuk puisi maupun prosa yang di bawa ke Bali pada waktu Bali di bawah kekuasaan Majapahit.
Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu. Walaupun demikian ada juga golongan kecil orang‑orang Bali yang menganut agama. Islam, Kristen, dan Katholik. Penganut agama, Islam terutama terdapat di pinggir pantai di beberapa desa di beberapa, kota seperti Karangasem, Klungkung dan Denpasar, sedangkan penganut agama Kristen dan Katholik terdapat di daerah Denpasar, Jembarana, dan Singaraja
Di dalam kehidupan keaganiaan orang yang beragama, Hindu percaya akan adanya satu Tuhan, dalam bentuk konsep Trimurti, Yang Esa. Trimurti ini mempunyai, tiga, wujud atau manifestasi, yaitu wujud Brahmana, yang menciptakan, wujud Wisnu yang melindungi serta memelihara, dan wujud Syiwa yang melebur segala yang ada. Di samping percaya kepada berbagai dewa, yang lebih rendah dari Trimurti yang mereka hormati dalam berbagai upacara sesaji, juga, menganggap penting konsepnya mengenai roh abadi (atman) adanya buah dari setiap perbuatan (karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (pumarbawa), dan kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali (moksa). Semua ajaran‑ajaran itu terdapat dalam sekumpulan kitab‑kitab suci yang bemama Weda.
Tempat melakukan ibadat agama, Bali pada, umumnya, disebut pura. Tempat ibadat ini berupa kompleks bangunan‑bangunan suci yang sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum, artinya untuk semua golongan seperti Pura Besakih, ada yang berhubungan dengan kelompok sosial setempat seperti pura desa (kayangan tiga), yang berhubungan dengan organisasi dan kumpulan tari‑tarian, dan ada yang merupakan tempat pemujaan leluhur dari klen-klen besar. Adapun tempat‑tempat pemujaan leluhur dan klen kecil serta keluarga luas adalah tempat‑tempat sajian rumah yang di sebut sangah. Di bali ada beribu‑ribu pura dan sangah masing‑masing dengan hari perapan, sendiri-sendiri yang telah ditentukan oleh sistem tanggalannya sendiri‑sendiri. Di Bali dipakai dua macam.tanggalan, yaitu tanggalan Hindu‑Bali dan tanggalan Jawa‑Bali berdasarkan atas punama tilem, dipakai pada perayaan pura-pura di berbagai‑bagai di daerah Bali, tetapi seluruh Bali dirayakan tahun baru Saka yang jatuh pada. tanggal 1 (satu) dari bulan kesembilan (tilem kesanga). diadakan upacara korban (pecaran) yang bersifat Buta Yadnya. Pada hari tahun barunya, orang pantang melakukan segala kegiatan (nyepi) dan malamnya pantang menyalakan api. Hari berikutnya hari tahun baru kedua, disebut ngebak geni. Orang boleh menyalakan api, tetapi masih pantang bekerja.
Sistem tanggalan Jawa‑Bali terdiri dari 30 uku, masing‑masing tujuh hari lamanya, sehingga jumlah seluruhnya adalah 210 hari. Banyak perayaan di kuil‑kuil yang berdasarkan atas perhitungan ini, terutama di daerah tanah datar yang mendapat lebih banyak pengaruh Majapalut dan daerah‑daerah lainnya. Perayaan umum terpenting yang berdasarkan atas perhitungan im adalah han raya Galungan dan Kuningan yang jatuh pada hari Rabu dan Sabtu dari uku Galungan dan uku Kuningan. Berdasarkan atas sistem tanggal ini ada banyak lagi upacara upacara yang bersifat lebih kecil.
Dilihat dari segi keseluruhannya di Bali terdapat 5 macam upacara (pancayadnya) yang masing‑masing berdasarkan atas salah satu dan kedua sistem tanggalan tersebut di atas, yaitu: (a) manusia yadnya, meliputi upacara‑upacara siklus hidup dari masa kanak-kanak swnpai dewasa. (b) Pitra yadnya, upacam ‑ upacara yang ditujukan kepada roh ‑ roh leluhur dan yang meliputi upacara‑upacara,kematian sampai kepada upacara roh leluhur (nyeka, memukur). (c) Dewa yadnya, berkenan dengan upacara‑upacara yang berkenan dengan upacara‑upacara pada kuil-kuil umum dan keluarga. (d) Resi yadnya, upacara‑upacara yang berkenan dengan pentahbisan pendeta (mediksa). (e) Buta yadnya, upacara‑upacara yang ditujukan kepada kala dan buta yaitu roh-roh yang dapar menganggu.
Pada umumnya apabila orang‑orang menyelenggarakan upacara ibadah dan keagamaan, terutama yang besar‑besar, maka penuntun dan. penyelesaian upacara itu dilakukan oleh seorang pemimpin agama yang telah dilantik menjadi pendeta, dan pada umumnya disebut sulinggih. Mereka itu juga disebut dengan istilah‑istilah khusus yang tergantung dari klen atau kasta mereka. Misalnya istilah pedanda, adalah untuk pendeta dan kasta Brahmana, baik yang beraliran Siwa maupun Brahma. Istilah resi adalah pendeta dari kasta Satria dan sebagainya. Walaupun semua pelaku upacara agama tadi sebagai sulinggih menjadi anggota Majelis Parisada Hindu Dharma, namun orang Ball masih banyak yang berpandangan tradisional yang memebeda‑bedakan manusia, berdasarkan klen atau kasta.
Kuil-kuil dan tempat‑tempat pemujaan umum seperti kuil desa, kuil banjar, kuil subak, dan sebagainnya, biasannya dipelihara oleh pejabat‑pejabat agama yang disebut pemangku. Untuk dapat menjadi pemangku orang harus juga telah mengalami pengukuhan melalui beberapa upacara tertentu, dan seringkali para pemangku juga mempunyai kepandaian yang dimiliki oleh para pelaku upacara agama pada umumnya. Demikian seorang pemangku seringkali juga bisa dimintai pertolongan untuk melaksanakan upacara‑upacara keagamaan.
Perkawinan merupakan yang amat penting dalain kehidupan orang Bali karena Au bandah ta dianggap sebagai warga. penuh dan masyarakat, sesudah itu ia, memperoleh hak‑hak dan kewajiban seorang warga komunitas dan warga kelompok kerabat. Menurut anggapan adat lain yang sangat dipengaruhi oleh sistem klen‑klen (dadia) dan sistemta (wangsa), perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara warga‑warga satu klen, atau setidak‑tidaknya antara orang‑orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian pula, perkawinan adat di Bali bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan antara anak‑anak dari orang saudara kolot adalah perkawinan antara anak‑anak dari dua orang saudara laki‑laki. Keadaan ini memang agak menyimpang dari masyarakat lain yang berklen, yang umumya bersifat eksogamus. Orang‑orang satu klen (tunggal kawitan, tunggal media, tunggal sanggah ) di Bali itu, adalah orang ‑orang yang bertingkat kedudukannya dalam adat, agaama, dan kasta. Dengan berusaha untuk kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan‑kemungkinan. akan ketengangan‑ketengangan dan noda‑noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dan kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastannya. Karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu kepada keluarga, serta menjauhkan. gengsi seluruh kasta dari anak wanita itu. Dahulu apubila terjadi perkawman campuran yang demikian, maka wanita itu akan dinyatakan keluar dari dadianya, dan secara fisik suami-istri itu akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dan tempat asalnya.
Bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki‑laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikin itu dianggap mendatangkan benacana (panes). Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawman antara seorang dengan anaknya, antara seorang dengan dengan saudara sekandung atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dan saudara perempuan maupun laki-lakinya (keponakannya ). Pada umumnya, seorang pemuda Bali dapat memperoleh istri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga si gadis atau laki‑laki kepada ketuarga si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis telah di bawa lari untuk dikawini. Akhimya ada suatu kunjungan. resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk meminta diri kepada roh nenek moyangnya.
Sesudah pemikahan, suami istri baru biasanya menetap secara virokal dikompleks perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak suami istri baru yang menetap secara neolokal mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan suami istri baru menetap secara uksorilokal di kompleks perumahan si istri (nyeburin). Dari suatu perkawinan terbentuklah suatu keluarga batih, bentuk keluarga batih ini tergantung pula dari macam perkawinan itu. Karena poligini atau poligami diizinkan, maka ada juga keluarga‑keluarga batih yang bersifat poligini ini hanya terbatas dalam lingkungan‑lingkungan tertentu saja yang jumlahnya tidak banyak.
Mata pencaharian pokok orang Bali adalah bertani. Dapat dikatakan 70 % dari mereka hidup dari petemakan, berdagang, menjadi buruh, pegawai, atau lainnya. Karena perbedaan‑perbedaan lingkungan alam iklim di berbagai tempat di Bali, maka terdapatlah perbedaan dalam pengolahan tanah untuk bercocok tanam. Di daerah Bali bagian utara, tanah dataran hanya ada sedikit, curah hujan kurang, tidak untuk bercocok tanaman relatif lebih terbatas daripada di Bali bagian selatan. Di samping bercocok tanam di sawah, di Bali bagian utara, sebelah timur, dan sebelah baratnya ada usaha menanam buah‑buahan (jeruk), palawija, kelapa, dan kopi (di pengunungan).
Pengelolaan pertanian dilakukan melalui sistem subak. Sistem ini mempunyai pengurus yang dikepalai oleh klen subak, anggota, serta bagian-bagian bawahan yang mengatur pengairan serta penanaman pada wilayah sawah tertentu. Di samping itu subak mempunyai upacara‑upacara serta tempat pemujaan sendiri dalam hubungan dengan sedahan agung pada tingkat kabupaten. Daerah‑daerah yang luas tanahnya, akhimya tidak mencukupi keperluan penduduk yang bertambah padat dengan laju yang cepat. Terdapat pula sistem penggarapan tanah yang dikerjaakan oleh buruh tani. Dahulu sebelum adanya undang‑undang yang mengatur hal ini, ada berbagai sistem bagi hasil antara pemilik tanag dan penggarapannya. Kecuali bercocok tanam, bertenak juga merupakan usaha yang penting dalam masyarakat pedesaan Bali. Binatang peliharaan yang terutama adalah babi dan sapi, juga dipelihara temak kerbau, kuda, kambing, tetapi hasilnya relatif jauh lebih kecil. Mata pencaharian lain adalah perikanan, baik perikanan darat maupun perikanan laut. Di Bali terdapat pula industri dan kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain tenun, benda‑benda emas, perak, dan besi, perusahaan mesin‑mesin, petemakan, pabrik kopi, pabrik rokok, pabrik makanan kaleng, tekstil, pemintalan, dan lain ‑ lain.
11.3 Kesenian Bali
11.3.1 Tari-tarian
Tari mendapatkan peran penting dalam seni budaya Bali. Secara umum berdasarkan fungsi sosialnya ada dua jenis tari di Bali, yaitu: (a) tari sakral, adalah tari-tarian yang penting sekali bagi kehidupan agama dan adat Hindu Dharma, dan (b) tari sekuler, adalah tari-tarian yang biasa, lebih cenderung sebagai seni pertunjukan. Tari-tarian sakral terdiri dari: tari-tarian pura, tari-tarian ritual, tari-tarian Sanghyang, dan tari-tarian Barong. Tari-tarian pura contohnya adalah Tari Pendet, Tari Gabor, Tari Rejang, Tari Oleg, Tari Mabuang, Tari Keris, dan Tari Pasraman.
(1) Tari Pendet merupakan tari wanita yang berfungsi sebagai saji-sajian dan persembahan kepada para Dewa. Menurut tradisi Bali, para penari Tari Pendet ini haruslah gadis yang belum kawin. Dal;am rangkaian Tari Pendet ini ada pula penari lelaki yang membawa dupa tempat membakar kemenyan. Penari laki-laki yang ikut menari dalam Tari Pendet ini disebut Ngelaju. Adapun gamelan yang mengiringi Tari Pendet adalah Gamelan Gong atau Gamelan Pelegongan atau Gamelan Semar Pegulingan. Tari Pendet merupakan tarian massal yang bisa dibawakan lebih dari empat penari.
(2) Tari Gabor merupakan tarian wanita yang mirip dengan Tari Pendet. Bahkan tari ini sebenamya hanya merupakan variasi lain dari Tari Pendet. Tari Gabor adalah tari sesaji yang ditarikan oleh dua orang penari wanita atau lebih, dan yang merupakan saji‑sajian adalah penari‑penarinya itu sendiri. Dahulu penari Gabor berkipas dalam menari, dan irama tariannya lebih dinamis dari Tari Pendet. Adapun iringan gamelannya sama dengan gamelan pada Tari Pendet.
(3) Tari Rejang, merupakan tarian wanita yang berbentuk tarian massal. Tari ini juga merupakan tarian sesaji, dan yang menjadi saji‑sajian kepada dewa‑dewa adalah penari‑penari itu sendiri. Maka dari itu penari‑penari Rejang haruslah gadis‑gadis yang masih suci, bahkan sering dilakukan oleh gadis‑gadis kecil yang berumur enam tahun. Para penari dipimpin oleh seorang pemangku yang menari paling depan. Di belakang pemangku para penari Rejang berderet‑deret menari sambil memegang seutas benang yang dibawa pemangku memanjang ke belakang. Mereka sering memakai kipas, dan sering pula tidak. Adapun irama Tari Rejang lambat sekali, dan gerak‑gerak tarinya sangat sederhana, sehingga tiap gadis Bali dapat melakukannya. Tarian ini diadakan di pura pada malam hari. Iringan gamelannya adalah Semar Pegulingan.
(4) Tari Oleg adalah tarian wanita yang mirip dengan Tari Babor, dan merupakan tarian persajian. Yang menjadi persajian adalah penari Oleg itu sendiri.
(5) Tari Mabuang, selain tari‑tarian sesaji di atas ditarikan oleh penari‑ penari wanita, di Bali terdapat pula tari‑tarian sesaji yang ditarikan oleh penari‑penari pria yang sudah dewasa. Tari Mabuang adalah tarian pura yang ditarikan oleh pemuda‑pemuda yang belum kawin. Tarian ini merupakan tarian duet atau berpasang‑pasangan secara massal. Biasanya diakhiri dengan tari perang. Adapun iringan gamelannya adalah Gamelan Selonding.
(6) Tari Keris, di Bali merupakan tari pura yang termasuk tari kuna. Tari ini dilakukan oleh laki‑laki dengan berpakaian kain yang dijawatkan dan badan bagian atas terbuka. Variasi dan nama Tari Keris itu bermacam‑macam. Pada waktu ada upacara keagamaan di Pura, biasanya setelah selesai Tari Pendet atau Tari Rejang atau Tari Gabor lalu disusul dengan Tari Keris. Tari Keris ditarikan oleh dua penari pria dengan membawa keris terhunus. Adapun pengiringnya adalah gamelan gong. Tarian Keris kebayakan ditarikan dalam keadaan trance atau tidak sadar diri dan mereka dalam menari menusuk‑nusuk dadanya dengan keris yang dipegangnya sendiri.
(7) Tari Pasraman juga merupakan tarian pura semacam Tari Keris, tetapi penari‑penarinya membawa senjata tombak. Tarian Pasraman merupakan tarian penutup pada keagamaan di pura dan ditarikan oleh dua atau empat penari laki‑laki. Gamelan pengiringnya adalah gamelan gong.
(8) Tari‑tarian ritual di Bali yang penting sekali adalah Tari Baris, yang juga merupakan tari kepahlawanan. Tari Baris ditarikan oleh pria. Adapun sifat rituil tari pria adalah bahwa tari ini merupakan sebuah tarian untuk membuktikan kedewasaan seseorang dalam segi jasmani. Kedewasaan seorang pria dibuktikan dengan mempertunjukan kemahiran dalam olah keprajuritan yang biasanya disertai dengan kemahiran dalam memainkan salah satu senjata perang. Maka dari itu, Tari Baris selain merupakan tarian rituia juga merupakan tari kepahlawanan. Iringan gamelannya adalah gamelan gong. Adapun ciri khas dari Tari Baris adalah pertama tari ini lebih menonjolkan ketegapan dan kemantapan dalam langkah‑langkah kaki serta kemahiran dalam memainkan senjata perang. Kedua, pakaiannya juga mempunyai corak yang khas, yaitu penutup kepalanya berbentuk kerucut, dan penutup badannya terdiri dari baju panjang serta hiasan kainnya kecil panjang yang sangat indah. Tari Baris di Bali banyak sekali macamnya dan biasanya diberi nama menurut seniata yang dipergunakan dalam tarian tersebut, seperti: Baris Cendekan, Baris Panah, Baris Presi, Baris Dadab, Baris Omang, Baris Tombak, Baris Gede, Baris Jojor , Baris Bajra , dan Baris Melampahan.
(8.a) Baris Cendekan mempergunakan alat perang yang disebut cendek, yaitu semacam tombak pendek. Baris Cendekan terdapat di Bali Utara dan ditarikan oleh beberapa pasang pemuda (taruna). Pakaiannya menggunakan pakaian sehari‑hari dan instrumen gamelan pengiringnya adalah sejenis orkes angklung yang disebut Kembang Kirang. (8.b) Baris Panah, tari ini mempergunakan alat perang yang berupa panah, serta ditarikan oleh bebetapa pasang pemuda (taruna). Baris Panah terdapat di Bali Utara, pakaiannya menggunakan pakaian sehari‑hari dan instrumen gamelan pengiringnya juga menggunakan gamelan Kembang Kirang. (8.c) Baris Presi, dilakukan secara berpasang‑pasangan dengan membawa senjata perang yang disebut presi atau perisai. (8.d) Baris Tamiang merupakan variasi dari Baris Presi. Para penarinya membawa tamiang atau perisai dan ditarikan berpasang-pasangan pula. (8.e) Tari Baris Dadap mempergunakan senjata perang yang disebut dadap, yaitu sejenis perisai. Baris Dadap dahulu terdapat di sekitar Danau Batur. Adapun iringannya biasanya menggunakan Gamelan Kembang Yarang. (8.f) Tari Baris Omang, ditarikan oleh penari‑penari yang membawa tombak sebagai alat perangnya dan ditarikan oleh penari‑penari yang berpasang‑ pasangan. (8.g) Baris Tombak, para penarinya membawa tombak sebagai alat perangnya, dan ditarikan oleh penari pria yang berpasang‑pasangan. (8.h) Baris Gede adalah tari baris yang bersenjatakan tombak panjang, ditarikan oleh penari laki laki berpasang‑pasangan yang berjumlah relatif banyak. (8.i) Baris Jojor juga merupakan Tari Baris yang bersenjatakan jojor atau tombak. (8.j) Baris Bajra adalah Tari Baris yang penari‑penarinya bersenjatakan gada sebagai senjata pemukul. (8.k) Baris Melampahan merupakan drama tari yang dibawakan dengan Tari Baris. Adapun yang mempergunakan tari baris dalam drama tari tersebut adalah tokoh‑tokoh utamanya. Pada Baris Melampahan itu yang dibawakan adalah cerita‑cerita epos Mahabharata. Ciri khas dari Baris Melampahan adalah selain pemeran‑pemeran utamanya mempergunkan Tari Baris, mereka juga mengenakan pakaian Tari Baris. Tari Baris Melampahan yang terkenal adalah Baris Melampahan yang membawakan cerita Arjunawiwaha. Tari Baris Melampahan tidak bersifat sakral, yang ada sangkut-pautnya dengan peristiwa suci dalam kehidupan kaum laki‑laki, tetapi sudah merupakan yang biasa atau sekuler.
(9) Tari Sanghyang, merupakan tari kedewian di Bali yang biasanya dipakai sebagai sarana pengusir wabah penyakit yang menular. Apabila di Bali terjadi wabah penyakit atau epidemi, mulailah di mana‑mana dipagelarkan Tari Sanghyang. Pada umumnya Tari Sanghyang dilakukan oleh dua orang penari gadis yang masih kecil. Dua gadis yang akan menjadi Sanghyang, kepalanya diasapi dengan asap kemenyan sambil diiringi dengan nyanyian doa‑doa. Di belakang kedua gadis calon Sanghyang itu ada beberapa wanita yang menjaga, dan juga ada sekelompok penyanyi wanita serta sekelompok penyanyi pria yang menyanyikan doa bersama‑sama. Adapun lagu yang dinyayikan mereka itu adalah Gending Pengedusan, yang khusus dinyanyikan oleh penyanyi‑penyanyi wanita. Pada permulaanya irama nyanyiannya lambat, tetapi jika sudah ada tanda‑tanda bahwa Dewi yang dipanggil sudah akan datang, maka irama nyanyiannya dipercepat. Tanda bahwa Dewi sudah akan masuk ke badan kedua penari Sanghyang itu adalah kedua penari tersebut akan nampak tidak sadar diri. Sampai pada saat itu penari Sanghyang masih menggunakan pakaian putih dengan rambut terurai ke depan. Sesudah mereka kemasukan Dewi, barulah pakaian mereka diganti dengan pakaian tari. Sesudah itu penari Sanghyang lalu menari dengan mata yang dipejamkan. Biasanya penari Sanghyang akan dibawa berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Masing‑ masing penari akan dipanggul di atas pundak laki‑laki, sambil memejamkan mata, kedua penari Sanghyang menari di atas pundak laki‑laki yang mamanggulnya sambil berjalan. Adapun Dewi yang biasa dipanggil untuk masuk ke badan Sanghyang adalah Dewi Suprabha dan Tilotama. Tari Sanghyang ada bermacam‑macam, antara lain: Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, dan Sanghyang Bumbung. Tari Kecak adalah di antara jenis Tari Sanghyang itu yang sampai sekarang masih biasa diselenggarakan di Bali adalah Sanghyang Dedari.
(9.a) Tari Sanghyang Dedari ditarikan oleh seorang gadis kecil. Setelah Sanghyang kemasukan Dewi (Dewi Supraba), Sanghyang akan diberikan pakaian, seperti pakaian Tari Legong. Setelah didikenakan pakaian, barulah gamelan palegongan ditabuh. Apabila tidak diiringi dengan gamelan, koor penyanyi laki‑lakilah yang mengiringi tariannya. Penyanyi laki‑laki ini disebut kecak. Sanghyang Dedari banyak terdapat di berbagai daerah di Bali. Sering pula penari Sanghyang Dedari setelah dalam keadaan tidak sadar lalu menginjak‑ njak api arang yang sedang membara. Selain tarian ini ditarikan oleh penari gadis, ada pula ditarikan oleh dua orang gadis. Kerap pula mereka menari diatas pundak laki‑laki yang mendukung mereka.
(9.b) Tari Sanghyang Deling ditarikan oleh dua orang gadis yang terdapat di desa‑desa sekitar Danau Batur. Sebenamya yang dianggap sebagai Sanghyang adalah dua boneka, karena dua boneka itulah sebagai tempat masuknya Dewi. Setelah ada tanda‑ tanda bahwa Dewi akan masuk, kedua boneka itu mulai bergerak, kedua penari Sanghyang Deling lalu mengambil kedua boneka itu kemudian menari sambil membawa boneka tersebut. Dahulu di Danau Batur gamelan pengiring Tarian Sanghyang Deling adalah gamelan Bali yang primitif sekali yang hanya terdiri dari seruling dan gendang .Di daerah Tabanan dahulu juga terdapat semacam Sanghyang Deling tetapi namanya lain, yaitu Sanghyang Dangkluk.
(9.c) Tari Sanghyang Jaran terutama terdapat di Bali Selatan, dan ditarikan oleh seorang atau dua orang penari pria. Dahulu yang menjadi tempat masuknya Dewa adalah boneka yang berbentuk jaran (kuda) yang dibuat dari kayu dan bambu. Penari Sanghyang Jaran yang membawa kuda‑kudaan yang dimasuki Dewa juga lalu menjadi tidak sadar diri dan kemudian menari menirukan gerak‑gerak kuda sambil membawa boneka kuda dengan kedua tangannya. Adapun iringannya sering menggunakan gamelan kadang juga kecak. Sekarang di Bali Sanghyang Jaran sering ditarikan tanpa kuda‑kudaan, tetapi penari Sanghyang Jaran itu sendiri yang menari menirukan gerak-gerak kuda. (9.d) Tari Sanghyang Bumbung ditarikan oleh penari‑penari wanita dengan membawa boneka dari bambu dan biasanya diadakan pada malam bulan pumama.
(9.e) Tari Kecak atau Tari Cak merupakan tarian yang berasal dari tarian Sanghyang. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya rombongan penyanyi koor pria dari Tari Sanghyang itu lalu memisahkan diri dari fungsinya semula, dan berdiri sendiri sebagai tarian tersendiri yang sampai sekarang sangat populer di Bali dan bemama Tari Kecak atau Cak. Pertunjukan Tari Kecak sangat sederhana sekali, baik mengenai teknik tariannya, perlengkapan pakaiannya dan pengiring tariannya yang hanya berupa koor. Adapun penarinya terdiri dari laki‑laki yang jumlahnya sampai ratusan. Pakaian mereka hanya sehelai kain yang dijawatkan, dan bagian atas badan tidak memakai apa‑apa. Mereka membuat lingkaran beberapa saf, dan di tengah‑tengah mereka terdapat lampu penerang yang sederhana pula, yaitu lampu minyak kelapa. Semula mereka hanya menggerak‑gerakan badan ke kanan dan ke kiri secara ritmis sambil mengucapkan kata‑kata: “cak‑cak‑cak‑cak‑ cak’” dan seterusnya dengan irama yang agak lambat. Lama‑kelamaan iramanya menjadi cepat dan dengan disertai angkatan tangan yang digetar‑ getarkan. Dalam suasana yang demikian ini, dibarengi juga pula dengan suara‑suara desis seperti suara kera atau raksasa. Dalam saat‑saat tertentu penari penari Kecak yang setengah lingkaran merebahkan diri ke belakang secara serentak dan dilakukan bergantian. Tari Kecak sejak permulaan abad ke-20 mengalami perkembangan menjadi drama tari. Cerita yang dibawakan selalu bagian‑bagian dari epos Ramayana. Adapun cerita yang digemari adalah hilangnya Sitha, perang antara Sugriwa dan Subali, dan lain sebagainya. Para pelaku utama Drama Tari Kecak ini menari dengan posisi berdiri, sedangkan penati penari kecak setnuanya duduk dengan membentuk lingkaran bersaf. Pelaku‑pelaku utama datang dari luar lingkaran. Dalam Drama Tari Kecak ini para para penari kecak mempunyai fungsi yang bermacam‑macam, mereka dapat berfungsi sebagai kera bala tentara Rama, sebagai raksasa tentara Rawana, sebagai panah ular atau rantai senjata Indrajit.
(10) Tari Barong merupakan tarian yang ditarikan oleh dua orang penari laki‑laki, seorang memainkan bagian kepala barong serta kaki depan, dan seorang lagi memainkan bagian kaki belakang dan ekor. Barong yang berbentuk binatang mitologi ini banyak sekali macamnya, ada yang kepalanya berbentuk kepala singa, harimau, babi hutan jantan (bangkal), gajah, lembu, atau keket. Keket oleh orang Bali dianggap sebagai raja hutan yang disebut pula dengan nama Banaspati Raja.
(10.a) Tari Barong Keket juga disebut Tari Barong Ket. Keket atau Ket adalah binatang yang sesungguhnya tidak ada, tetapi yang oleh orang Bali digambarkan sebagai seekor binatang raksasa mitologi yang mereka anggap sebagai raja dari binatang. Maka dari itu Keket juga mendapat sebutan Banaspati Raja yang berarti raja dari segala raja hutan. Penari dari Tari Barong Keket ini terdiri dari dua orang laki‑laki, seorang memainkan bagian kepala, barong serta kaki depan, dan seorang lagi memainkan bagian kaki belakang dan ekor. Janggut Barong Keket mempunyai kekuatan magik putih yang merupakan kekuatan penolak penyakit dan penyembuh penyakit. Di Bali pertunjukan Tari Barong Ket biasanya dipadu dengan Drama Tari Calonarang. Bahkan keduanya kini merupakan perpaduan dua macam tarian yang sukar dipisahkan. Dalam Drama Tari Calonarang, klimaksnya terletak pada pertempuran antara barong yang mewakili kekuatan baik (magik putih) melawan Rangda, tokoh terpenting dari drama tari tersebut yang mewakili perwujudan kekeuatan jahat (magik hitam).
Selain itu pada bagian terakhir dari Drama Calonarang selalu dipertunjukan Tari Keris. Penari‑penari keris yang merupakan pengikut Barong, dalam keadaan tidak sadar menyerang Rangda dengan keris yang dibawanya. Tetapi karena kekuatan magik hitam yang terdapat pada sepotong kain putih yang selalu dibawa oleh Rangda, penari‑ penari keris tersebut dengan tidak sadar menusuk‑nusuk badan mereka sendiri. Penari Keris yang disebut Daratan atau Panugdug itu jarang sekali terluka oleh keris mereka sendiri, walaupun mereka menusuk‑nusuk badan mereka dengan sekuat tenaga. Hanya apabila penari keris itu dalam keadaan tidak suci atau bersih, maka keris tersebut akan dapat melukai badan penari. Apabila ada seorang penari keris terluka, dan luka tersebut dilihat oleh penari keris yang lain, sering tedadi penari keris yang lain akan segera memindahkan perhatiannya kepada yang terluka dan menyedot darah yang keluar dari luka itu. Kejadian semacam ini apabila sampai terjaadi akan membahayakan penari keris yang luka tersebut, karena kemungkinan besar darahnya akan habis tersedot. Maka dari itu apabila ada. salah seorang penari keris terluka, seorang pemangku (pendeta pura) yang selalu ada dalam setiap pertunjukan segera menutup luka tersebut dengan daun bunga hibiscus (kamboja). Adapun gamelan yang mengiringi Tari Barong adalah Gamelan Barongan. Tari Barong yang sejenis dengan Barong Ket tetapi berbeda bentuk kepalanya adalah Barong Bangkal dengan kepala babi butan, Barong Macan dengan kepala harimau, Barong Singa dengan kepala. singa, Barong Gajah dengan kepala gajah, Barong Lembu dengan kepala lembu, dan sebagainya.
(10.b) Tari Barong Kalekek merupakan sebuah drama tari yang isi ceritanya adalah sebagai berikut. Dewa Siwa dan Dewi Sri, isterinya pada suatu hari sedang berjalan-jalan di Gunung Waralau. Sekonyong‑ konyong Dewa Siwa mengajak isterinya berhubungan badan. Tetapi karena sedang dalam perjalanan Dewi Sri menolaknya. Namun karena Dewa Siwa sudah tidak lagi bisa mengendalikan nafsunya, maka keluarlah spermanya dan jatuh ke dalam sebuah ceruk. Sperma itu oleh Dewa Siwa disabda lalu dijadikan dua orang anak kembar laki‑laki dan perempuan, yang laki‑laki diberi nama Kalawenara dan yang perempuan diberi nama Kalekek. Dewa Siwa memberitahu kepada kedua anaknya bahwa tempat mereka mencari makan adalah di kubutan‑kuburan. Dewi Sri melihat perbuatan suaminya itu menjadi marah dan ingin mengimbangi kesaktiannya dengan menciptakan anak pula. Pada waktu Dewi Sri sedang mandi pakaiannya diletakan d iatas sebuah kuburan seorang perempuan hamil yang sudah meninggal. Dari kuburan tersebut keluarlah seorang anak perempuan yang oleh Dewi Sri diberi nama Buta Seliwar. Karena suaminya menciptakan dua orang anak, maka Dewi Sri belum puas dan menciptakan seorang anak laki‑laki yang diberi nama Cuwildaki. Pada suatu hari Kalekek mencari makan si sebuah kuburan dengan merubah bentuk dirinya sebagai seekor barong. Adapun yang menjadi makananya adalah sajian‑sajian. Pada saat yang sama Buta Seliwar dan Cuwildaki juga sedang mencari makan di kuburan yang sama. Maka terjadilah perkelahian antara Kalekek melawan Buta Seliwar dan Cuvhldak. Kalekek yang berbentuk barong tersebut kalah dan terbakar menjadi abu. Dewa Siwa yang mengetahui bahwa puterinya yang berbentuk Barong Kalekek mati bahkan menjadi abu, murka sekali kepada istrinya yang secara tidak langsung telah menghinanya. Maka sebagai hukumannya, Dewi Sri dilarang kembali ke sorga dan harus tetap tinggal di bumi, di kuburan dengan berbentuk sebagai Dewi Durga yang menakutkan. Kemudian Dewa Siwa kembali menghidupkan Kalekek kembali dan menyuruhnya menjaga Dewi Durga di kuburan dengan diberi nama Banaspati Raja. Banaspati Raja ini mempunyai pengikut yang terdiri dari penari‑penari keris yang selalu berusaha membunuh Dewi Durga.
(10.c) Tari Barong Landung merupakan Tari Barong yang lain sekali bentuknya kalau dibandingkan dengan Tari Barong yang umum terdapat di Bali. Sebab Tari Barong Landung tidak merupakan tarian yang dibawakan oleh dua orang laki‑laki yang menarikan seekor binatang buas. Barong Landung diwujudkan dengan dua buah boneka raksasa laki‑laki dan perempuan. Barong yang laki‑laki bemama Jero Gde dan yang perempuan bemama Jero Luh. Masing-masing barong ditarikan oleh seorang laki‑laki yang masuk ke dalam boneka itu. Pertunjukan Tari Barong Landung terutatna terdapat di sekitar kota Denpasar, dan biasanya diadakan pada Hari Raya Galungan. Jero Gde bermuka hitam dan menakutkan, sedangkan Jero Luh bermuka putih atau kuning dan bermata sipit. Demikian sekilas deskripsi seni tari di Bali.
11.3.2 Gamelan Bali
Di antara gentuk-bentuk gamelan yang berbeda di luar Jawa, yang paling terkenal adalah gamelan yang terdapat di pulau Bali. Gaya yang ribut orkestra di Bali merupakan ciri umumnya, yang berbeda kualitas suaranya dengan gamelan Jawa. Di Bali, alat-alat musiknya sama dengan yang dipergunakan pada musik gamelan Jawa, yang dijumpai pada pertunjukan yang sama fungsinya. Bagaimanapun, di Bali gendher dan gangsa (yang terakhir ini sama dengan saron di Jawa) terdiri dari sepasang atau empat, setiap alat musik mempunyai ukuran oktaf sendiri. Meskipun semua alat musik dalam satu set mempergunakan tangga nada yang sama, setengahnya adalah alat-alat musik “betina” yang dilaras lebih rendah dibandingkan dengan alat-alat musik “jantan.” Ketika kedua kelompok pemusik bermain bersama-sama, mereka menghasilkan musik yang berdentang-dentang disebabkan oleh karena larasnya yang berbeda. Suara yang indah ini merupakan karakteristik ensambel musik Bali.
Di antara beebrapa alat musik yang membawa tema inti (di Bali disebut pokok) adalah alat musik trompong, dalam satu set terdiri dari dua oktaf yaitu sepuluh gong berpencu. Tidak seperti dua deretan gong pada musik Jawa yang disebut bonang, gong trompong pada satu set adalah satu baris. Alat musik ini dimainkan dengan pukulan yang sangat besar, dan gerakan-gerakan pemainnya berhubungan dengan tarian. Alat-alat musik kolotomik di Bali umumnya sama dengan di Jawa, dengan penambahan pada alat musik simbel kecil. Alat-alat musik yang menghasilkan suara lebih lembut yaitu rebab kurang dipentingkan dan ada dua pemain gendang sebagai pengganti satu di antaranya. Selanjutnya ditambahkan pula reyong yang dalam satu set terdiri dari dua belas gong yang ditempatkan dengan posisi satu baris dan dimainkan oleh empat orang pemusik. Mereka menghasilkan melodi-melodi yang kocak, melodi gabungan yang rumit, merupakan bagian dari teknik interloking. Prinsip interloking adalah bagian yang penting dalam musik Bali. Dua orang pemain gendang memainkan ritme-ritme yang lengkap menghasilkan sebuah ritme yang kompleks. Gendher atau gangsa juga biasanya memainkan teknik ini. Cara yang seperti ini pada sejarah musik Barat dikenal sebagai bentuk yang canggih yaitu teknik hoketing pada musik lama Eropa. Hasil dan kesempurnaan dari melodi gabungan ini adalah digemari oleh para pemusik Bali.
Di Bali pemain musik juga memiliki rasa sebagai seorang komposer, meskipun seorang pemain menghasilkan inti tema musik, ia juga menerima saran-saran daripemain lainnya sebagai gurunya, dengan menghafal berbagai bagian musiknya secara teliti. Kelompok yang memainkan komposisi tersebut mempunyai metode untuk menilai aspek-aspek persatuan komunal pada gamelan. Yang paling banyak pada gamelan Bali adalah kelompok-kelompok sebuah kawasan atau desa. Tujuan yang paling utama kelompok ini adalah dasar-dasar dari demokrasi, juga keseluruhan integrasi pada kehidupan sosial dan ritual komunitasnya. Demikian sekilas musik tradisional Bali. Selaanjutnya kita melangkah ke budaya musik di Nusa Tenggara Barat (NTB).
11.4 Nusa Tenggara Barat
Nusa Tengpra Barat diresmikan sebagai sebuah propinsi pada tanggal 17 Desember 1958, terletak pada gugusan kepulauan Nusa Tenggara. Penduduknya terdiri dari 3 etnik yang sampai sekarang dianggap sebagai penduduk asli . Ketiga etnis itu adalah: Sasak, Sumawa, dan Mbojo. Ketiga etnik ini masing‑masing memiliki bahasa, adat istiadat, kesenian, busana, dan permainan tradisional sendiri‑sendiri.
Peralatan musik tradisional di Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut. (1) Silu adalah salah satu jenis alat musik dari daerah Bima, silu termasuk golongan alat musik tiup (ufi). Bahan untuk membuat silu adalah jenis kayu sawo, perak, dan daun lontar. Tidak ada aturan‑aturan tertentu untuk memilih bahan. Khusus kayu sawo sebagai bahan pokok dicari kayu sawo yang sudah tua, dan dipilih yang besamya sesuai dengan keperluan. Silu yang ada sekarang ini kebanyakan adalah silu yang merupakan peninggalan zaman dahulu, jika rusak diperbaiki bagian‑bagiannya. Silu dahulu dibuat oleh petugas‑petugas khusus istana yang disebut renda. Nada‑nada pada silu sangat sulit ditentukan, namun demikian dapat diamati sistem penjariannya. Antara lain sistem penjarian yang dipakai adalah sebagai berikut: 1. Semua lubang baik di depan 7 dan di belakang 1 buah ditutup. 2. Lubang depan ketujuh dibuka, lainnya ditutup. 3. Lubang depan keenam dibuka, lainnya ditutup. 4. Lubang depan kedua dibuka, lainnya ditutup. Fungsi silu adalah sebagai pembawa melodi dalam ansambel musik Bima. Satu perangkat musik Bima, terdiri dari silu, no (gong), 2 buah genda (gendang). Biasanya dipergunakan untuk mengiringi tari‑tarian istana Bima pada upacara Maulud Nabi, upacara pelantikan raja, khitanan, dan upacara‑upacara lain di istana. Silu tidak pernah dimainkan secara tunggal. Fungsi silu adalah sebagai pembawa melodi dalam orkestra musik daerah Bima. Lagu‑Jagu yang dimainkan oleh silu adalah lagu‑lagu pengiring tari istana seperti Tan Katubu, Karaenta, Lenggo, Manca, Sere, dan lain‑lain.
(2) Serune adalah sebuah alat musik tiup dari Sumbawa. Serune termasuk alat musik golongan aerofon yang berlidah. Memang jumlah lidahnya termasuk tipe klarinet karena lidahrnya hanya satu, yang menurut bahasa setempat, lidah ini disebut ela. Bentuk tabungnya adalah konis. Serumung ode (cerobong kecil) merupakan bagian yang ditiup dan berfungsi untuk menahan nafas agar tetap ada. Serumung lolo (batang) merupakan bagian yang dilubangi untuk sistem penjarian. Sedang serumung rea (cerobong besar) berfungsi sebagai resonator. Anak lolo merupakan bagian lolo, yang lebih kecil, dan di sinilah terdapat ela (lidah) yang merupakan sumber suara. Serune dibuat dari 2 baban pokok yaitu buluh Oknis (bambu kecil) dan daun lontar. Pada lolo terdapat 6 bongkang (lubang) di atas, dan satu lubang di bawah. Cara melubangi dilakukan dengan menggunakan kawat besar yang dibakar. Jarak antara lubang yang satu dengan lubang yang lain diukur dengan mengambil ukuran keliling lolo. Tehnik bermain serune adalah mula‑mula menarik nafas, melalui hidung, disimpan di rongga mulut, lalu dikeluarkan melalui tiupan. Meniup serune tidak menggunakan lidah, cukup dengan hembusan udara dalam mulut. Untuk memperoleh suara serune yang tepat dan mantap, pertu keahlian dan pengalaman. Serune tidak berfungsi sebagai alat musik yang sakral, oleh karena itu dapat dimainkan oleh siapa saja yang berminat.
(3) Gambo adalah alat musik berdawai yang bentuknya seperti gitar yang tidak berlekuk. Gumbo termasuk alat musik kordofon jenis lute. Bahan gambo adalah kayu, kulit kambing, dan senar plastik. Bagian‑bagian gambo adalah sebagai betikut: tuta (kepala), terdapat alat penyetem sebanyak 6 buah; wo‑o (leher); kewa (membran) yang tetbuat dari kulit kambing, yang berfungsi sebagat resonator. Kulit kambing ini dipaku pada bagian badan gambo, dengan diberi bingkai penguat dan rotan; kaki yang tersambung dengan bagian perut dan leher; ai gambo (dawai), terbuat dari bahan senar plastik. Tula (pengganjal), berfungsi sebapi penyekat antara senar dan membran kulit. Jempa, yaitu tempat berkaitnya dawai. Pada gambo tidak terdapat omamen‑omamen yang mengandung makna simbolis. Gambo semata‑mata merupakan alat musik hiburan terutama di waktu senggang.
(4) Pereret merupakan salah satu jenis alat musik tiup dari daerah Lombok. Pereret termasuk alat musik aerofon (tabung berlidah) tipe hobo karena memiliki lebih dari satu lidah. Pembuatan pereret pada umumnya lebih dititikberatkan pada segi musikalitas daripada segi artistiknya. Oleh karena itu pereret tidak diberi ornamen‑ornamen. Namun secara visual bentuk pereret sendiri sudah artistik. Untuk memperoleh nada‑nada yang diinginkan, dipergunakan sistem penjarian tertentu, yaitu: 1. Lubang I dan lubang bawah dibuka, lubang lainnya ditutup, akan mengbasflkan nada e. 2. Semua lubang ditutup, kecuali lubang bawah akan menghasilkan nada a. 3. Lubang 2 dibuka, lubang lainnya ditutup, menghasilkan nada g. 4. Lubang 3 dibuka, lubang lainnya ditutup akan menghasilkan. nada a. Cara menyetem pereret, dengan mengatur letak sripit (lidah). Untuk memperoleh nada yang sempuma, tergantung pada ketepatan hembusan (kembung-kempisnya) rongga mulut. Untuk membuat pereret, perlu dicari hari baik yang jatuh pada perhitungan pasaran paing dan sesajen.
(5) Genggong termasuk alat idiofon jenis jaw's harp. Selain sebagai alat musik, genggong juga merupakan nama orkestra yang alat utamanya adalah genggong, dipadukan dengan alat lain seperti suling, rincik, petuk, dan gong. Bahan pokok untuk membuat genggong adalah pelepah daun enau yang sudah tua. Untuk memperoleh genggong yang bagus, selain pelepah datin enaunya harus tua hendaknya dican pelepah enau yang tumbuhnya berdekatan dengan pohon lain terutama bambu, sehingga selalu bergesekan satu swna lain dengan dahan atau daun pohon tersebut. Untuk membuat talinya, dahulu digunakan ambung nanas yaitu serat daun nanas. Sedang danda (pegangan tali) dibuat dari duri landak. Sekarang talinya dan benang dan danda dan kayu atau bambu. Genggong ada 2 macam, yaitu: genggong lanang dan genggong wadon. Secara fisik, keduanya tidak dapat dibedakan, yang membedakan hanyalah suaranya. Dahulu genggong berfungsi sebagat penghibur diri, namun dalam perkembangan selanjutnya genggong berkembang menjadi orkestra dengan menambah alat musik lain, yaitu suling, rincik, petuk, dan gong., Genggong tidak pernah digunakan dalam upacara‑upacara adat seperti perkawman, karena suaranya yang sangat lunak sehmgga kurang berfungsi dalam acara‑acara tersebut.
(6) Palompong termasuk alat musik idiofon. Palompong hanya lerdiri dari 3 atau 5 bilah saja dan dipukul dengan satu alat pemukul yang dipegang tangan kanan. Bahan untuk membuat palompong adalah jenis kayu yang ringan. Dulu hanya musikal auditif yang dipentingkan, sekarang baik unsur musikal maupun artistik sama-sama diperhatikan. Oleh karena itu palompong diberi wadah yang disebut Bale Palompong. Sebagai resonator di bawah bilah‑bilah palompong dibuat tabung‑tabung dari kaleng yang besar kecilnya akan menentukan produksi suara. Bale Palompong biasanya dihias dengan bermacam‑macam ornamen. Semakin dalam cengkoak (parit) yang ada di bawah palompong semakin rendah suara yang dihasilkan. Biasanya palompong dimainkan untuk mengiringi tari‑tarian pada saat irama cepat. Palompong dipukul dengan alat pemukul sebanyak 2 buah, masing‑masing dipukul dengan tangan kiri dan tangan kanan. Palompong sangat merakyat, oleh karena itu ia dapat dimiliki oleh siapa saja.
(7) Suling loang telu memilild 3 lubang, yaitu 2 di atas untuk sistem penjarian dan satu di bawah untuk ibu jari. Sekarang ditambah satu lagi, namun namanya tetap suling loang telu. Suling loang telu termasuk alat musik aerofon tanpa lidah tipe whistle flute, yaitu jenis suling bambu yang bercincin. Suling loang telu mempunyai bagian‑bagian sebagai berikut: 1. Seleper (cincin), terdiri dari segabung rautan bambu tipis, dapat juga bambu utuh untuk diraut. 2. Loang lelet, yaitu lubang yang terdapat di bawah sleeper. 3. Awak suling (badan suling) 4. Loang alas (lubang atas), banyaknya 3 buah 5. Loang bawak (lubang bawah), satu buah. Suling loang telu dibuat dari satu jenis bilok (buluh) yang disebut bilok gres (buluh pasir). Menyetem untuk memperoleh. suara yang diinginkan dilakukan dengan jalan melebarkan atau memperdalam langan angin (jalan angin), yaitu sebuah saluran pipih yang terdapat di bawah sleper, lurus dengan loang lelet. Pada empat generasi yang lalu alat ini merupakan suling yang bertuah, dan khusus dipergunakan untuk memikat hati dedara (gadis) idaman. Suling loang telu biasanya dimiliki oleh perorangan dan sekarang ini tidak lagi dipakai di acara‑acara tertentu. Bila dimainkan dengan alat‑alat musik lain dalam sebuah orkestra, suling loang telu berfungsi sebagai pembawa melodi.
(8) Rebana termasuk alat musik membranofon. Rebana biasanya merupakan suatu musik orkestra yang semua alat musiknya adalah rebana. Hanya besar kecilnya saja yang membedakan nadanya. Bahan pembuat rebana terdiri dari kayu, kulit, rotan dan kawat. Kulit sapi atau kerbau tidak baik untuk membuat rebana karena terlalu tebal sehingga suara yang dibasilkan kurang bagus. Bahan yang dipergunakan sebagai pengikat adalah rotan. Rotan juga dipergunakan untuk menutup atau membirigkai bagian antara penampang kulit rebana dengan badan rebana. Fungsi rebana sebagai alat musik adalah sebagai alat perkusi. Namun dalam gamelan rebana berfungsi sebagai pembawa melodi, dengan diperkuat oleh suling. Rebana biasanya dipakai dalam memeriahkan upacara perkawinan, khitanan atau perayaan‑perayaan di masyamkat. Cara memainkan rebana ada dua macam, yaitu dipukul dengan tangan dan dipukul dengan alat pemukul. Di Lombok pada umumnya rebana dipukul dengan alat pemukul.
(9) Rebana rea adalah salah satu jenis alat musik rebana yang khas karena ukurannya yang besar dan hanya ada di Sumbawa. Rebana rea termasuk alat musik membranofon. Bahkan yang dipergunakan untuk membuatnya adalah kayu, kulit kambing, dan rotan. Adapun bagian‑bagian rebana rea adalah sebagai benkut: 1. lenong, kulit; 2. rengkan:, dua utas rotan yang merekatkan kendang dengan sematang; 3. sematang, badan rebana yang dibuat dari batang kayu dan berbentuk seperti mangkuk; 4. lobang, lobang resonator. Di dalam rongga dimasukkan rotan yang disebut we rebana rea yang fungsinya adalah untuk mengencangkan kulit, atau untuk menyetem. Untuk memasukkan we digunakan alat yang disebut pelajo. Fungsi rebana rea ini adalah mengiringi lagu‑Jagu yang syaimya berbahasa Arab. Kesenian yang diiringi rebana rea ini disebut ratib rebana rea yang umumnya berfungsi untuk syi’ar agama Islam.
(10) Gendang belek tennasuk slat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul yang disebut dengan pemantok gendang. Bahan pembuat gendang belek adalah kayu tap, sejenis kayu yang getahnya dapat dipakai untuk menangkap burung. Membrannya terbuat dari kulit sapi dan talinya juga terbuat dari kulit sapi. Untuk membuat sebuah gendang belek diperlukan kayu yang sudah tua, namun ringan dan tak mudah pecah, dan tak mudah dimakan hama kayu. Gendang belek ada dua macam, Gendang mama dan gendang nina. Perbedaannya bukan terletak pada bentuk fisiknya melainkan suara yang dihasilkannya. Suara yang relatif rendah adalah gendang mama dan yang relatif tinggi adalah nina.
Di samping itu, di Nusa Tenggara Barat ini dijumpai juga peralatan teater tradisonal dari daerah ini. Ada tiga jenis teater yang mempergunakan topeng, yaitu tetaer Amak Darmi, Amak Abir, dan Cupak Gerantang. Alat-alatnya adalah sebagai berikut: Tapel Amak Darmi adalah tapel (topeng) yang dipakai oleh tokoh Amak Darmi sebagai tokoh utama teater ini. Semua pemain menggunakan tapel, yaitu tapel Ida, Jempiring, dan Amak Pang. Kemudian ada pula teater Tapel Amak Abir. Semua pemain dalam teater ini menggunakan topeng. Topeng Ida dipakai oleh Raja, topeng Amak Tempenges dipakai oleh Panakawan dan topeng haji dipakai oleh penasihat. Topeng Amak Abir ini bisa membuat orang kemasukan. Selanjutnya yang ketiga adalah teater Topeng Cupak Gerantang, yang menggunakan tapel cupak, yaitu berupa topeng yang dipakai oleh tokoh Cupak, yang memiliki sifat kurang terpuji, sedangkan Gerantang memiliki sifat yang sangat berlawanan.
Daftar Pustaka untuk Memperdalam KajianA. Ubani, 1992. Kebudayaan Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
Belo, Jane, 1970. Traditional Balinese Culture. New York: Columbia University Press.
Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. New York: Cornell University Press.
Kunst, Jaap, 1942. Music in Flores. Leiden: E.J. Brill.
Mulyadi, Yad, 1999. Antropologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Spice, Walter, 1938. Dance and Drama in Bali. London: Faber & Faber.
Sumantri, Kusuma, 1995. Kebudayaan Bali. Jakarta: Grafika.
.