KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA
1 Pengantar
Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang sampai saat ini telah berumur enam dekade lebih tiga tahun. Dalam usianya yang demikian, negara ini mengalami pasang surut dalam perjalanannya. Indonesia pernah mengalami masa-masa revolusi fisik, ancaman disintegrasi, guncangan ekonomi, otoritarianisme dan sejenisnya. Namun bangsa Indonesia juga telah melakarkan berbagai prestasi budaya di berbagai bidang yang diakui secara internasional. Bangsa Indonesia secara historis terbentuk dari eksistensi kebudayaan nenek moyangnya yang dimulai dari era animisme dan dinamisme sampai abad pertama Masehi, dilanjutkan masa Hindu-Buddha abad pertama hingga tiga belas. Dilanjutkan masa Islam abad tiga belas hingga kini. Kemudian masa penjajahan kolonialisme bangsa-bangsa Barat abad ke-16, terutama oleh Belanda, selama tiga setengah abad. Di awal abad ke-20 muncul ide nasionalisme yang akhirnya menghantarkan bangsa Indonesia merdeka tahun 1945. Kemudian terjadi destabilisasi poltik dari tahun 1945 hingga 1966, namun saat ini telah tersemai dasar-dasar negara Indonesia, yaitu landasan ideologisnya Pancasila, dan landasan konstitusionalnya Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45). Selama kurun waktu kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami tiga fase pemerintahan, yaitu: Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Dalam mengisi periode-periode sejarah itu, berbagai aspek kebudayaan saling tumpang-tindih perkembangannya.
2, Kebudayaan Nasional
Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah meletakkan dasar konstitusionalnya mengenai kebudayaan nasional, seperti yang termaktub dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945. Bahkan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika (yang artinya biar berbeda-beda tetapi tetap satu). Selengkapnya pasal 32 berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Ditambah dengan penjelasannya: “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Dengan demikian jelas bahwa Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, bukan penjumlahan budaya etnik--sekali gus mengandung budaya asing yang dapat memperkaya budaya nasional. Beberapa dasawarsa menjelang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya telah memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional. Dalam konteks ini mereka mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa itu kebudayaan nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas gagasan itu dari berbagai sudut pandang, yang terbit dalam kurun masa dekade 1930-an.
Sebahagian tulisan ini merupakan hasil daripada Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Surakarta (Solo), pada 8 sampai 10 Jun 1935. Di antara intelektual budaya yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan Takdir Alisyahbana (STA) pengarang dan juga mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta; Sanusi Pane, seorang pengarang; Soetomo, dokter perubatan dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan; Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri dan pemimpin perguruan nasional Taman Siswa (lihat Koentjaraningrat 1995).
Gagasan-gagasan mereka secara garis besar adalah sebagai berikut. Sutan Takdir Alisyahbana berpendirian bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam artikel (tajuk tulisan)nya diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai timbul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya, sebelum gagasan Indonesia Raya disadari dan dikembangkan, yang ada hanyalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daerah. Ia menganjurkan agar generasi muda Indonesia tidak terlalu tersangkut dalam kebudayaan pra-Indonesia itu, dan dapat membebaskan diri daripada kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan semangat Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya Barat. Unsur yang diambil terutama adalah teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan sains. Begitu juga orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya dan mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini mendapat sanggahan sengit dari beberapa pemikir lainnya.
Sanusi Pane menyatakan bahwa kebudayaan Nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus mementingkan aspek kerohanian, perasaan dan gotong-royong, yang bertentangan dengan kebudayaan Barat yang terlalu berorientasi kepada materi, intelektualisme dan individualisme. Ia tidak begitu setuju dengan Sutan Takdir Alisyahbana yang dianggapnya terlalu berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri dari kebudayaan pra-Indonesia, kerana itu bererti pemutusan diri dari kesinambungan sejarah budayanya dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru.
Pemikir lain, Poerbatjaraka menganjurkan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus berakar kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Di sisi lain, Soetomo menganjurkan pula agar asas-asas sistem pendidikan pesantren (di Malaysia pondok, dan khusus di Acheh dayah atau meunasah) dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia, yang ditentang oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Sementara itu, Adinegoro mengajukan sebuah gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudayaannya harus memiliki inti dan pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit (peradaban) yang bersifat kebudayaan Barat.
3. Fungsi Kebudayaan Nasional
Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam praktik, apabila ia fungsional dalam masyarakat pendukungnya. Fungsi sebuah gagasan bisa saja relatif sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula gagasan kebudayaan nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia merdeka. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas. Dalam fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (1) harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang tema pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau mengidentitaskan diri dengan kebudayaan tersebut.
Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat difahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna orang Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa.
Menurut penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional Indonesia selain orientasi dan fungsinya, juga harus diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam mengangkatnya dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat nasional. Sebaiknya proses ini terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan bukan bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses itu harus pula menyeimbangkan antara bhineka dan ikanya budaya Indonesia. Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan kuantitatif budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogikal antara budaya etnik dan setiap etnik merasa memilikinya.
Dari uraian-uraian di atas jelas tergambar kepada kita adanya perbedaan pendapat di antara pemikir-pemikir budaya: (a) ada yang berorientasi kepada budaya Barat yang dinamis dan rasional, (b) adapula yang mengemukakan perlunya meneruskan budaya lama pra-Indonesia sambil menerima dan mengolah kebudayaan asing yang dapat memperkuat jatidiri nasional Indonesia. Dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, tampaknya pendapat kedualah yang tercermin. Namun secara konseptual para pemikir budaya juga memiliki persamaan persepsi yaitu mereka setuju akan adanya dan terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia sejak lahirnya negara Republik Indonesia, yang berasal dari daerah-daerah di wilayah Indonesia.
Selaras dengan era reformasi, maka berbagai tatanan negara dan masyarakat Indonesia akan berubah bentuk dan fungsinya, yang tentu sahaja akan berpengaruh kepada kebudayaan nasional. Saat ini Indonesia menerapkan sistem pemerintahan gabungan antara "unitarianisme dan federalisme" yang dikonsepkan ke dalam otonomi daerah, begitu juga dengan kedudukan legislatif, eksekutif, dan judikatif yang ditata dan dikaji ulang agar terjalin keseimbangan kekuasaan. Demikian juga kebudayaan Nasional Indonesia seharusnya dapat mengekspresikan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Perundang-undangan Indonesia kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kata puncak memiliki nosi parsial, bahwa suatu unsur budaya nasional harus bermutu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan mengukur mutu atau puncak budaya daerah itu, dan bagaimana parameternya secara akurat. Padahal kalau kita lihat pemikiran di dalam estetika (falsafah keindahan), para filosof pada umumnya mengesahkan sahaja keindahan itu ditentukan secara parsial oleh masyarakat pendukungnya--kerana akan ditemui kesulitan dalam menentukan unsur-unsur universal dalam menilai kesenian atau keindahan. Dalam hal ini, kita akan dihadapkan pada berbagai kendala dalam menentukan "puncak" atau "lembah" kebudayaan daerah. Mungkin kata yang lebih pas adalah "inti sari" atau “sublimasi” kebudayaan daerah atau sejenisnya.
Dikotomi antara budaya Barat (Oksidental) dan Timur (Oriental) yang begitu dipertajam pada masa polemik kebudayaan, tampaknya tidak lagi begitu relevan dikembangkan pada masa kini. Permasalahan utama adalah bukan orang Indonesia mengambil budaya Barat atau secara kaku meneruskan budaya Timur dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, tetapi yang penting adalah bagaimana bangsa Indonesia mengolah dan mengelola budaya dunia dalam konteks memperkuat identiti budaya berdasarkan nilai-nilai universal. Bagaimana pun budaya Barat tidak anti budaya Timur atau sebaliknya. Bahkan Islam yang dianut sebahagian besar (86 % dari 240 juta) masyarakat Indonesia sendiri mengajarkan untuk menerima berbagai budaya dunia dalam konteks tauhid kepada Allah. Islam juga telah menyumbangkan berbagai peradaban modern ke seluruh dunia termasuk Barat. Termasuk Islam adalah sarana transmisi peradaban Barat yang menetapkan asasnya pada zaman Yunani-Romawi. Demikian juga agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik memiliki konsep inkulturasi yang sebenarnya juga menerima unsur-unsur kebudayaan etnik seluruh dunia dalam konteks ajaran Gereja.
Dalam kurun waktu lebih dari enam dekade Indonesia merdeka, penerapan kebudayaan nasional terus berkembang mencari bentuk, namun terbentuk melalui berbagai proses: (a) ada yang terjadi secara wajar menurut fungsi-fungsi sosial budaya pada masyarakat: (b) ada pula yang berkembang melalui saluran-saluran institusi tertentu dalam masyarakat: (c) ada yang muncul kerana keinginan elit penguasa; dan (d) ada yang cenderung menafsirkan bahwa yang dimaksud budaya nasional itu adalah budaya yang dilakukan oleh kumpulan etnik majoriti di Indonesia.
4. Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan di Indonesia
Kebudayaan di Indonesia saat ini secara makro terdiri dari dua kelornpok. Kelompok pertarna adalah kebudayaan Indonesia dan kelompok kedua Kebudayaan di Indonesia. Kebudayaan Indonesia didefinisikan adalah kebudayaan hasil produk setelah terjadinya Sumpah Pernuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945). Kelompok kedua adalah kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan yang ada di Indonesia ini juga dapat dibagi dua yaitu kebudayaan etnik, seperti etnik Batak Toba, Karo, Mandailing-Angkola, Pakpak-Dairi, Simalungun, Melayu, Bali, Aceh, Minangkabau, Sunda, Betawi, Jawa, Bugis, Makasar, sampai ke Papua (Irian Jaya) dan lainnya--serta kebudayaan asing, seperti Arab, Belanda, Inggris dan lainnya.
Di dalam Pasal 32, UUD 45, dijelaskan bahwa pernerintah Indonesia memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pengertian kebudayaan nasional Indonesia ini, dijelaskan dalarn Penjelasan Tentang Undang‑Undang Dasar Negara Indonesia yaitu kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi‑daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak‑puncak kebudayaan. di daerah‑daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan‑bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan pasal 32 di atas, terdapat perbedaan istilah antara, pasal 32 dengan penjelasannya. Pada pasal 32 disebut istilah kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan pada penjelasan disebut kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa ini dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi‑daya rakyat Indonesia seluruhnya. Adanya perbedaan istilah ini, dimaknai bahwa pengertian kebudayaan Indonesia, pada saat UUD 45 tersebut disusun dianggap belum ada, yang ada baru kebudayaan bangsa, yaitu kebudayaan lama dan asli (etnik) yang terdapat di Indonesia, dan ini sebagai puncak‑puncak kebudayaan di daerah‑daerah (etnik) di seluruh Indonesia. Maka dari penjelasan ini makna sebenarnya kebudayaan Indonesia itu dalam bentuk konkritnya belum jelas, yang ada baru unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing.
5. Wujud Kebudayaan
Menurut E.B. Taylor (Sulaeman 1995) kebudayaan atau yang disebut peradaban, mengandung pengertian yang luas, meliputi pernahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. Sedangkan Kroeber dan Kluckhon (Bakker 1984:15‑19) menunjukan definisi kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol‑simbol yang menyusun pencapainnya secara tersendiri dari kelompok‑kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda‑benda materi. Pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita‑cita atau paharn dan terutama keterikatan terhadap nilai‑nilai. Ketentuan‑ketentuan ahli kebudayaan ini sudah bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat umum meskipun dalarn praktik, arti kebudayaan menurut pendapat umum ialah sesuatu yang berharga atau baik.
Di sisi lain, Herkovits mengajukan pengertian kebudayaan sebagai berikut: (1) kebudayaan dapat dipelajari, (2) berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia, (3) mempunyai struktur, (4) dapat dipecah‑pecah ke dalarn berbagai aspek, (5) bersifat dinamis, (6) mempunyai variabel, (7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah, (8) merupakan alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur keadaan totalnya dan menarnbah arti bagi kesan kreatifnya.
Pada umumnya, setiap kebudayaan mempunyai wujud, apakah itudisebut wujud ide atau gagasan, maupun wujud materi sebagai benda‑benda hasil karya. Kebudayaan dalam pengertian luas, pun demikian, tetap mempunyai wujud Secara umum wujud kebudayaan dapat juga dibagi atas empat yaitu: (a) wujud kebudayaan sebagai suatu ide‑ide, cita‑cita, rencana‑rencana, gagasan‑gagasan, keinginan, kernauan. Ini adalah wujud ideal yang berfungsi memberi arah pada. tingkah laku manusia di dalam di kehidupannya; (b) wujud kebudayaan sebagai nilai‑nilai, norma‑norma, peraturan, pedoman, cara‑cara dan sebagainya. Ini adalah wujud yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan penunjuk arah pada tingkah laku manusia, di dalarn bermasyarakat; (c) wujud kebudayaan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia--wujud ini disebut juga sistern sosial yaitu sistem yang mengatur dan menata aktivitas‑aktivitas manusia dalam berinteraksi dan bergaul; (d) wujud kebudayaan benda‑benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini merupakan benda‑benda yang dapat diraba, dilihat melalui pancaindra, seperti arca, sarkopagus, gendang nekara, komputer, mobil, kapal, dan lain-lainnya. Koentjaraningrat (1980) mereduksi keempat wujud budaya itu dalam tiga wujud saja, yaitu: ide, aktivitas, dan benda-benda.
Dalam konteks pembangunan di Indonesia, kebudayaan mereka ini, dilihat dari empat wujud kebudayaan di atas adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
Wujud Budaya dalam Konteks Pembangunan di Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang sampai saat ini telah berumur enam dekade lebih tiga tahun. Dalam usianya yang demikian, negara ini mengalami pasang surut dalam perjalanannya. Indonesia pernah mengalami masa-masa revolusi fisik, ancaman disintegrasi, guncangan ekonomi, otoritarianisme dan sejenisnya. Namun bangsa Indonesia juga telah melakarkan berbagai prestasi budaya di berbagai bidang yang diakui secara internasional. Bangsa Indonesia secara historis terbentuk dari eksistensi kebudayaan nenek moyangnya yang dimulai dari era animisme dan dinamisme sampai abad pertama Masehi, dilanjutkan masa Hindu-Buddha abad pertama hingga tiga belas. Dilanjutkan masa Islam abad tiga belas hingga kini. Kemudian masa penjajahan kolonialisme bangsa-bangsa Barat abad ke-16, terutama oleh Belanda, selama tiga setengah abad. Di awal abad ke-20 muncul ide nasionalisme yang akhirnya menghantarkan bangsa Indonesia merdeka tahun 1945. Kemudian terjadi destabilisasi poltik dari tahun 1945 hingga 1966, namun saat ini telah tersemai dasar-dasar negara Indonesia, yaitu landasan ideologisnya Pancasila, dan landasan konstitusionalnya Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45). Selama kurun waktu kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami tiga fase pemerintahan, yaitu: Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Dalam mengisi periode-periode sejarah itu, berbagai aspek kebudayaan saling tumpang-tindih perkembangannya.
2, Kebudayaan Nasional
Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah meletakkan dasar konstitusionalnya mengenai kebudayaan nasional, seperti yang termaktub dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945. Bahkan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika (yang artinya biar berbeda-beda tetapi tetap satu). Selengkapnya pasal 32 berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Ditambah dengan penjelasannya: “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Dengan demikian jelas bahwa Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, bukan penjumlahan budaya etnik--sekali gus mengandung budaya asing yang dapat memperkaya budaya nasional. Beberapa dasawarsa menjelang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya telah memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional. Dalam konteks ini mereka mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa itu kebudayaan nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas gagasan itu dari berbagai sudut pandang, yang terbit dalam kurun masa dekade 1930-an.
Sebahagian tulisan ini merupakan hasil daripada Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Surakarta (Solo), pada 8 sampai 10 Jun 1935. Di antara intelektual budaya yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan Takdir Alisyahbana (STA) pengarang dan juga mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta; Sanusi Pane, seorang pengarang; Soetomo, dokter perubatan dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan; Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri dan pemimpin perguruan nasional Taman Siswa (lihat Koentjaraningrat 1995).
Gagasan-gagasan mereka secara garis besar adalah sebagai berikut. Sutan Takdir Alisyahbana berpendirian bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam artikel (tajuk tulisan)nya diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai timbul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya, sebelum gagasan Indonesia Raya disadari dan dikembangkan, yang ada hanyalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daerah. Ia menganjurkan agar generasi muda Indonesia tidak terlalu tersangkut dalam kebudayaan pra-Indonesia itu, dan dapat membebaskan diri daripada kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan semangat Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya Barat. Unsur yang diambil terutama adalah teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan sains. Begitu juga orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya dan mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini mendapat sanggahan sengit dari beberapa pemikir lainnya.
Sanusi Pane menyatakan bahwa kebudayaan Nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus mementingkan aspek kerohanian, perasaan dan gotong-royong, yang bertentangan dengan kebudayaan Barat yang terlalu berorientasi kepada materi, intelektualisme dan individualisme. Ia tidak begitu setuju dengan Sutan Takdir Alisyahbana yang dianggapnya terlalu berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri dari kebudayaan pra-Indonesia, kerana itu bererti pemutusan diri dari kesinambungan sejarah budayanya dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru.
Pemikir lain, Poerbatjaraka menganjurkan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus berakar kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Di sisi lain, Soetomo menganjurkan pula agar asas-asas sistem pendidikan pesantren (di Malaysia pondok, dan khusus di Acheh dayah atau meunasah) dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia, yang ditentang oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Sementara itu, Adinegoro mengajukan sebuah gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudayaannya harus memiliki inti dan pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit (peradaban) yang bersifat kebudayaan Barat.
3. Fungsi Kebudayaan Nasional
Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam praktik, apabila ia fungsional dalam masyarakat pendukungnya. Fungsi sebuah gagasan bisa saja relatif sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula gagasan kebudayaan nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia merdeka. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas. Dalam fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (1) harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang tema pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau mengidentitaskan diri dengan kebudayaan tersebut.
Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat difahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna orang Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa.
Menurut penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional Indonesia selain orientasi dan fungsinya, juga harus diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam mengangkatnya dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat nasional. Sebaiknya proses ini terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan bukan bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses itu harus pula menyeimbangkan antara bhineka dan ikanya budaya Indonesia. Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan kuantitatif budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogikal antara budaya etnik dan setiap etnik merasa memilikinya.
Dari uraian-uraian di atas jelas tergambar kepada kita adanya perbedaan pendapat di antara pemikir-pemikir budaya: (a) ada yang berorientasi kepada budaya Barat yang dinamis dan rasional, (b) adapula yang mengemukakan perlunya meneruskan budaya lama pra-Indonesia sambil menerima dan mengolah kebudayaan asing yang dapat memperkuat jatidiri nasional Indonesia. Dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, tampaknya pendapat kedualah yang tercermin. Namun secara konseptual para pemikir budaya juga memiliki persamaan persepsi yaitu mereka setuju akan adanya dan terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia sejak lahirnya negara Republik Indonesia, yang berasal dari daerah-daerah di wilayah Indonesia.
Selaras dengan era reformasi, maka berbagai tatanan negara dan masyarakat Indonesia akan berubah bentuk dan fungsinya, yang tentu sahaja akan berpengaruh kepada kebudayaan nasional. Saat ini Indonesia menerapkan sistem pemerintahan gabungan antara "unitarianisme dan federalisme" yang dikonsepkan ke dalam otonomi daerah, begitu juga dengan kedudukan legislatif, eksekutif, dan judikatif yang ditata dan dikaji ulang agar terjalin keseimbangan kekuasaan. Demikian juga kebudayaan Nasional Indonesia seharusnya dapat mengekspresikan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Perundang-undangan Indonesia kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kata puncak memiliki nosi parsial, bahwa suatu unsur budaya nasional harus bermutu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan mengukur mutu atau puncak budaya daerah itu, dan bagaimana parameternya secara akurat. Padahal kalau kita lihat pemikiran di dalam estetika (falsafah keindahan), para filosof pada umumnya mengesahkan sahaja keindahan itu ditentukan secara parsial oleh masyarakat pendukungnya--kerana akan ditemui kesulitan dalam menentukan unsur-unsur universal dalam menilai kesenian atau keindahan. Dalam hal ini, kita akan dihadapkan pada berbagai kendala dalam menentukan "puncak" atau "lembah" kebudayaan daerah. Mungkin kata yang lebih pas adalah "inti sari" atau “sublimasi” kebudayaan daerah atau sejenisnya.
Dikotomi antara budaya Barat (Oksidental) dan Timur (Oriental) yang begitu dipertajam pada masa polemik kebudayaan, tampaknya tidak lagi begitu relevan dikembangkan pada masa kini. Permasalahan utama adalah bukan orang Indonesia mengambil budaya Barat atau secara kaku meneruskan budaya Timur dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, tetapi yang penting adalah bagaimana bangsa Indonesia mengolah dan mengelola budaya dunia dalam konteks memperkuat identiti budaya berdasarkan nilai-nilai universal. Bagaimana pun budaya Barat tidak anti budaya Timur atau sebaliknya. Bahkan Islam yang dianut sebahagian besar (86 % dari 240 juta) masyarakat Indonesia sendiri mengajarkan untuk menerima berbagai budaya dunia dalam konteks tauhid kepada Allah. Islam juga telah menyumbangkan berbagai peradaban modern ke seluruh dunia termasuk Barat. Termasuk Islam adalah sarana transmisi peradaban Barat yang menetapkan asasnya pada zaman Yunani-Romawi. Demikian juga agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik memiliki konsep inkulturasi yang sebenarnya juga menerima unsur-unsur kebudayaan etnik seluruh dunia dalam konteks ajaran Gereja.
Dalam kurun waktu lebih dari enam dekade Indonesia merdeka, penerapan kebudayaan nasional terus berkembang mencari bentuk, namun terbentuk melalui berbagai proses: (a) ada yang terjadi secara wajar menurut fungsi-fungsi sosial budaya pada masyarakat: (b) ada pula yang berkembang melalui saluran-saluran institusi tertentu dalam masyarakat: (c) ada yang muncul kerana keinginan elit penguasa; dan (d) ada yang cenderung menafsirkan bahwa yang dimaksud budaya nasional itu adalah budaya yang dilakukan oleh kumpulan etnik majoriti di Indonesia.
4. Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan di Indonesia
Kebudayaan di Indonesia saat ini secara makro terdiri dari dua kelornpok. Kelompok pertarna adalah kebudayaan Indonesia dan kelompok kedua Kebudayaan di Indonesia. Kebudayaan Indonesia didefinisikan adalah kebudayaan hasil produk setelah terjadinya Sumpah Pernuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945). Kelompok kedua adalah kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan yang ada di Indonesia ini juga dapat dibagi dua yaitu kebudayaan etnik, seperti etnik Batak Toba, Karo, Mandailing-Angkola, Pakpak-Dairi, Simalungun, Melayu, Bali, Aceh, Minangkabau, Sunda, Betawi, Jawa, Bugis, Makasar, sampai ke Papua (Irian Jaya) dan lainnya--serta kebudayaan asing, seperti Arab, Belanda, Inggris dan lainnya.
Di dalam Pasal 32, UUD 45, dijelaskan bahwa pernerintah Indonesia memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Pengertian kebudayaan nasional Indonesia ini, dijelaskan dalarn Penjelasan Tentang Undang‑Undang Dasar Negara Indonesia yaitu kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi‑daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak‑puncak kebudayaan. di daerah‑daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan‑bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan pasal 32 di atas, terdapat perbedaan istilah antara, pasal 32 dengan penjelasannya. Pada pasal 32 disebut istilah kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan pada penjelasan disebut kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa ini dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi‑daya rakyat Indonesia seluruhnya. Adanya perbedaan istilah ini, dimaknai bahwa pengertian kebudayaan Indonesia, pada saat UUD 45 tersebut disusun dianggap belum ada, yang ada baru kebudayaan bangsa, yaitu kebudayaan lama dan asli (etnik) yang terdapat di Indonesia, dan ini sebagai puncak‑puncak kebudayaan di daerah‑daerah (etnik) di seluruh Indonesia. Maka dari penjelasan ini makna sebenarnya kebudayaan Indonesia itu dalam bentuk konkritnya belum jelas, yang ada baru unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing.
5. Wujud Kebudayaan
Menurut E.B. Taylor (Sulaeman 1995) kebudayaan atau yang disebut peradaban, mengandung pengertian yang luas, meliputi pernahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. Sedangkan Kroeber dan Kluckhon (Bakker 1984:15‑19) menunjukan definisi kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol‑simbol yang menyusun pencapainnya secara tersendiri dari kelompok‑kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda‑benda materi. Pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita‑cita atau paharn dan terutama keterikatan terhadap nilai‑nilai. Ketentuan‑ketentuan ahli kebudayaan ini sudah bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat umum meskipun dalarn praktik, arti kebudayaan menurut pendapat umum ialah sesuatu yang berharga atau baik.
Di sisi lain, Herkovits mengajukan pengertian kebudayaan sebagai berikut: (1) kebudayaan dapat dipelajari, (2) berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia, (3) mempunyai struktur, (4) dapat dipecah‑pecah ke dalarn berbagai aspek, (5) bersifat dinamis, (6) mempunyai variabel, (7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah, (8) merupakan alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur keadaan totalnya dan menarnbah arti bagi kesan kreatifnya.
Pada umumnya, setiap kebudayaan mempunyai wujud, apakah itudisebut wujud ide atau gagasan, maupun wujud materi sebagai benda‑benda hasil karya. Kebudayaan dalam pengertian luas, pun demikian, tetap mempunyai wujud Secara umum wujud kebudayaan dapat juga dibagi atas empat yaitu: (a) wujud kebudayaan sebagai suatu ide‑ide, cita‑cita, rencana‑rencana, gagasan‑gagasan, keinginan, kernauan. Ini adalah wujud ideal yang berfungsi memberi arah pada. tingkah laku manusia di dalam di kehidupannya; (b) wujud kebudayaan sebagai nilai‑nilai, norma‑norma, peraturan, pedoman, cara‑cara dan sebagainya. Ini adalah wujud yang berfungsi mengatur, mengendalikan dan penunjuk arah pada tingkah laku manusia, di dalarn bermasyarakat; (c) wujud kebudayaan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia--wujud ini disebut juga sistern sosial yaitu sistem yang mengatur dan menata aktivitas‑aktivitas manusia dalam berinteraksi dan bergaul; (d) wujud kebudayaan benda‑benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini merupakan benda‑benda yang dapat diraba, dilihat melalui pancaindra, seperti arca, sarkopagus, gendang nekara, komputer, mobil, kapal, dan lain-lainnya. Koentjaraningrat (1980) mereduksi keempat wujud budaya itu dalam tiga wujud saja, yaitu: ide, aktivitas, dan benda-benda.
Dalam konteks pembangunan di Indonesia, kebudayaan mereka ini, dilihat dari empat wujud kebudayaan di atas adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
Wujud Budaya dalam Konteks Pembangunan di Indonesia
Seperti sudah diungkapkan bahwa bentuk konkrit kebudayaan Indonesia belum “jelas,” yang ada baru unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing. Kini pendapat di atas, sudah dapat dibantah, walaupun masih ada yang beranggapan bahwa kebudayaan Indonesia belum ada.
Kelompok yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada, yang baru kebudayaan etnik; kebudayaan Indonesia sedang berproses. Kelompok kedua mengatakan kebudayaan Indonesia sudah ada, dan. ada yang sedang berproses dan mencari. Salah seorang yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada adalah Sambodja (2001), pendapatnya ini disaringnya berdasarkan pendapat‑pendapat ahli sebelumnya seperti seperti Goenawan Mohamad, Hans Baque Jassin, Wiratmo Soekito, Trisno Soemardjo, Taufiq Ismail, Zaini, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Arief Budiman, D.S. Moe1janto, Ras Siregar, Boen Sri Oemarjati, dan Gerson Poyk, yang menyimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia yang dimaksud adalah kebudayaan yang berada dalam tahap proses dan senantiasa berjalan.
Sedangkan pendukung kelompok kedua yang mengatakan kebudayaan Indonesia sudah ada antara lain adalah Sastrosupono. Ia mencontohkan Pancasila, bahasa Indonesia, Undang‑undang Dasar 1945, moderenisasi, dan pembangunan (1982:68‑72). Adanya pandangan yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada, boleh jadi akibat: (1) tidak jelasnya konsep kebudayaan yang dianut dan pahami, (2) akibat pemahaman mereka tentang kebudayaan sempit misalnya hanya sebatas seni, apakah itu seni sastra, tari, drama, musik, patung, lukis, dan sebagainya. Mereka tidak memahami bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, juga adalah hasil kebudayaan manusia.
Penulis berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia itu sudah ada dan memisahkannya dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan etnik dan kebudayaan asing, sedangkan kebudayaan Indonesia adalah hasil kreasi bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda atau sejak Indonesia merdeka. Alat pengindentifikasinya adalah wujud ide dan wujud material.
6. Wujud Ide dan Material
Wujud ide ini dipelopori oleh Clifford Geerzt. Ia melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia untuk mengintepretasi dan mewujudkan tindakan‑tindakan dalam rangka menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Geerzt hanya membatasi pengertian kebudayaan kepada keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia. Perilaku dan benda‑benda tidak lagi dianggap sebagai kebudayaan, melainkan sebagai hal‑hal yang diatur atau ditata oleh kebudayaan. Pengetahuan yang dimiliki manusia pada dasarnya merupakan berbagai model pengetahuan yang didapati melalui proses belajar dan pengalamannya. Berbagai model pengetahuan ada yang saling berhubungan, ada yang saling mendukung, tetapi ada juga saling bertentangan. Model-model yang tidak selalu terintegrasi ini sering digunakan dalarn konteks dan situasi‑situasi sosial tertentu sesuai dengan interpretasinya terhadap situasi yang dihadapinya. Keseluruhan pengetahuan yang bersifat abstrak ini, agar lebih operasional diwujudkan ke dalarn apa yang disebut pranata‑pranata sosial yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat.
7. Kebudayaan Indonesia
Definisi Kebudayaan Indonesia berdasarkan sisi ide dapat dijelaskan sernua pola atau cara berfikir/merasa bangsa Indonesia dalarn suatu ruangan dan waktu. Pola atau cara berfikir/merasa ini dapat dimulai sesuclah adanya Sumpah Pernuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945) hingga saat ini. Pilihan angka tahun ini (1928) karena, pada masa ini sudah tumbuh keinginan untuk bersatu melalui cara berfikir dan merasa yang seragarn untuk mencapai cita‑cita atau tujuan bersama ke dalarn sebuah negara.. Keinginan ini kernudian diwujudkan pada tahun 1945 saat kemerdekaan Indonesia.
Perkembangan lebih lanjut dari buah kemerdekaan ini dapat dilihat pada pelaksanaan misalnya pendidikan nasional, ekonomi nasional, politik nasional, kesenian nasional, filsafat nasional, dan lainnya yang termasuk ke dalam kebudayaan Indonesia. Walaupun dalarn cara berfikir atau merasa antara individu atau antara etnik yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan‑perbedaan, semangat persamaan, persatuanlah yang dipelihara dan dikembangkan yang pada gilirannya akan menjadi pendorong lahir dan berkembangnya kebudayaan Indonesia.
Tabel 2.2
Kebudayaan Indonesia Dalam Pandangan dan Sisi Ide
Kelompok yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada, yang baru kebudayaan etnik; kebudayaan Indonesia sedang berproses. Kelompok kedua mengatakan kebudayaan Indonesia sudah ada, dan. ada yang sedang berproses dan mencari. Salah seorang yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada adalah Sambodja (2001), pendapatnya ini disaringnya berdasarkan pendapat‑pendapat ahli sebelumnya seperti seperti Goenawan Mohamad, Hans Baque Jassin, Wiratmo Soekito, Trisno Soemardjo, Taufiq Ismail, Zaini, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Arief Budiman, D.S. Moe1janto, Ras Siregar, Boen Sri Oemarjati, dan Gerson Poyk, yang menyimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia yang dimaksud adalah kebudayaan yang berada dalam tahap proses dan senantiasa berjalan.
Sedangkan pendukung kelompok kedua yang mengatakan kebudayaan Indonesia sudah ada antara lain adalah Sastrosupono. Ia mencontohkan Pancasila, bahasa Indonesia, Undang‑undang Dasar 1945, moderenisasi, dan pembangunan (1982:68‑72). Adanya pandangan yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada, boleh jadi akibat: (1) tidak jelasnya konsep kebudayaan yang dianut dan pahami, (2) akibat pemahaman mereka tentang kebudayaan sempit misalnya hanya sebatas seni, apakah itu seni sastra, tari, drama, musik, patung, lukis, dan sebagainya. Mereka tidak memahami bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, juga adalah hasil kebudayaan manusia.
Penulis berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia itu sudah ada dan memisahkannya dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan etnik dan kebudayaan asing, sedangkan kebudayaan Indonesia adalah hasil kreasi bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda atau sejak Indonesia merdeka. Alat pengindentifikasinya adalah wujud ide dan wujud material.
6. Wujud Ide dan Material
Wujud ide ini dipelopori oleh Clifford Geerzt. Ia melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia untuk mengintepretasi dan mewujudkan tindakan‑tindakan dalam rangka menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Geerzt hanya membatasi pengertian kebudayaan kepada keseluruhan pengetahuan yang dimiliki manusia. Perilaku dan benda‑benda tidak lagi dianggap sebagai kebudayaan, melainkan sebagai hal‑hal yang diatur atau ditata oleh kebudayaan. Pengetahuan yang dimiliki manusia pada dasarnya merupakan berbagai model pengetahuan yang didapati melalui proses belajar dan pengalamannya. Berbagai model pengetahuan ada yang saling berhubungan, ada yang saling mendukung, tetapi ada juga saling bertentangan. Model-model yang tidak selalu terintegrasi ini sering digunakan dalarn konteks dan situasi‑situasi sosial tertentu sesuai dengan interpretasinya terhadap situasi yang dihadapinya. Keseluruhan pengetahuan yang bersifat abstrak ini, agar lebih operasional diwujudkan ke dalarn apa yang disebut pranata‑pranata sosial yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat.
7. Kebudayaan Indonesia
Definisi Kebudayaan Indonesia berdasarkan sisi ide dapat dijelaskan sernua pola atau cara berfikir/merasa bangsa Indonesia dalarn suatu ruangan dan waktu. Pola atau cara berfikir/merasa ini dapat dimulai sesuclah adanya Sumpah Pernuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945) hingga saat ini. Pilihan angka tahun ini (1928) karena, pada masa ini sudah tumbuh keinginan untuk bersatu melalui cara berfikir dan merasa yang seragarn untuk mencapai cita‑cita atau tujuan bersama ke dalarn sebuah negara.. Keinginan ini kernudian diwujudkan pada tahun 1945 saat kemerdekaan Indonesia.
Perkembangan lebih lanjut dari buah kemerdekaan ini dapat dilihat pada pelaksanaan misalnya pendidikan nasional, ekonomi nasional, politik nasional, kesenian nasional, filsafat nasional, dan lainnya yang termasuk ke dalam kebudayaan Indonesia. Walaupun dalarn cara berfikir atau merasa antara individu atau antara etnik yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan‑perbedaan, semangat persamaan, persatuanlah yang dipelihara dan dikembangkan yang pada gilirannya akan menjadi pendorong lahir dan berkembangnya kebudayaan Indonesia.
Tabel 2.2
Kebudayaan Indonesia Dalam Pandangan dan Sisi Ide
8. Kebudayaan di Indonesia
Kebudayaan di Indonesia dapat didefinisikan berdasarkan pandangan ide adalah semua pola pikir dan perilaku yang berkembang di Indonesia sebelum adanya Sumpah Pernuda (1928) atau Sebelum Indonesia Merdeka (1945), maupun sesudah Indonesia merdeka, sebagai bagian dari ciri khas suatu etnik khusus untuk etnik priburni yang ada di Indonesia dan bangsa asing yang ada di Indonesia. Kebudayaan etnik di Indonesia sangat banyak misalnya ada kebudayaan etnik Aceh, Melayu, Batak (Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun), Melayu, Bali, Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Jawa, Sulawesi, sampai ke Papua (Irianjaya) dan lainnya, fungsinya tidak lebih selain untuk memperkaya dan sebagai sumber inspirasi bagi kebudayaan Indonesia, juga sebagai kebanggaan etnik pendukungnya. Sedangkan kebudayaan bangsa asing ini seperti Arab, Inggris, Belanda, Cina (dalarn pengertian terbatas) dan lainnya.
9. Wujud Material
Materialisme adalah salah satu paharn yang beranggapan bahwa manusia hidup di dunia adalah hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia sebenamya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia mau menata, sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi). Materialisme berpandangan kebudayaan adalah hasil dari kumpulan pikiran‑pikiran yang dipelajari dan kelakuan‑kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota‑anggota dari kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya, oleh Marvin Harris disebut variabel yang bersifat empiris dan ini diistilahkan dengan tekno‑ekonomi dan tekno‑lingkungan. Kebudayaan bukanlah hal‑hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan subyektivitas, tetapi bersifat material, jelas, dan dapat diukur. Dalam kaitan ini, kebudayaan didefinisikan adalah sebagai kumpulan dari pikiran‑pikiran yang dipelajari dan kelakuan‑kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota‑anggota dari kelompok‑kelompok sosial. Semua ini diwariskan dari satu gencrasi ke gencrasi berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor hereditas genetika. Berdasarkan pengertian di atas, akan dijelaskan kebudayaan Indonesia dan di Indonesia dari sisi pandangan materialisme ini.
10. Kebudayaan Indonesia dalam Pandangan Sisi Material
Definisi kebudayaan Indonesia berdasarkan sisi materialisme budaya adalah produk dan suatu bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Penjabaran hal ini dapat dilihat pada produk suatu bangsa terscbut misalnya arsitekturnya, sistem politiknya, produksi keseniannya, teknologinya dan lainnya. Maka definisi kebudayaan Indonesia berdasarkan sisi material adalah semua produk yang dihasilkan bangsa Indonesia baik yang dikembangkan di luar Indonesia, maupun yang dikembangkan di Indonesia, yang tumbuh dan berkembang sejak Indonesia merdeka (1945) atau sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga saat ini, apakah itu diserap dari kebudayaan etnik maupun kebudayaan asing, baik melalui proses difusi, akulturasi yang disepakati menjadi bagian dari tujuan nasional bersama di dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Walaupun produk dari bangsa itu terdapat perbedaan‑perbedaan, justru inilah kreasi bangsa itu. Bila perbedaan ini, telah mampu melewati batas etniknya, artinya produk budaya dari etnik A, diserap oleh etnik B menjadi bagian dari kebudayaannya, maka produk budaya seperti inilah yang pada gilirannya akan menjadi kebudayaan Indonesia.
Tabel 2.3
Kebudayaan Indonesia dalam Pandangan dan Sisi Material
Kebudayaan di Indonesia dapat didefinisikan berdasarkan pandangan ide adalah semua pola pikir dan perilaku yang berkembang di Indonesia sebelum adanya Sumpah Pernuda (1928) atau Sebelum Indonesia Merdeka (1945), maupun sesudah Indonesia merdeka, sebagai bagian dari ciri khas suatu etnik khusus untuk etnik priburni yang ada di Indonesia dan bangsa asing yang ada di Indonesia. Kebudayaan etnik di Indonesia sangat banyak misalnya ada kebudayaan etnik Aceh, Melayu, Batak (Toba, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun), Melayu, Bali, Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Jawa, Sulawesi, sampai ke Papua (Irianjaya) dan lainnya, fungsinya tidak lebih selain untuk memperkaya dan sebagai sumber inspirasi bagi kebudayaan Indonesia, juga sebagai kebanggaan etnik pendukungnya. Sedangkan kebudayaan bangsa asing ini seperti Arab, Inggris, Belanda, Cina (dalarn pengertian terbatas) dan lainnya.
9. Wujud Material
Materialisme adalah salah satu paharn yang beranggapan bahwa manusia hidup di dunia adalah hasil rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia sebenamya hidup di dunia materi. Dia mau hidup, harus makan, dia mau menata, sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi). Materialisme berpandangan kebudayaan adalah hasil dari kumpulan pikiran‑pikiran yang dipelajari dan kelakuan‑kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota‑anggota dari kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya, oleh Marvin Harris disebut variabel yang bersifat empiris dan ini diistilahkan dengan tekno‑ekonomi dan tekno‑lingkungan. Kebudayaan bukanlah hal‑hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan subyektivitas, tetapi bersifat material, jelas, dan dapat diukur. Dalam kaitan ini, kebudayaan didefinisikan adalah sebagai kumpulan dari pikiran‑pikiran yang dipelajari dan kelakuan‑kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota‑anggota dari kelompok‑kelompok sosial. Semua ini diwariskan dari satu gencrasi ke gencrasi berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor hereditas genetika. Berdasarkan pengertian di atas, akan dijelaskan kebudayaan Indonesia dan di Indonesia dari sisi pandangan materialisme ini.
10. Kebudayaan Indonesia dalam Pandangan Sisi Material
Definisi kebudayaan Indonesia berdasarkan sisi materialisme budaya adalah produk dan suatu bangsa dalam suatu ruangan dan waktu. Penjabaran hal ini dapat dilihat pada produk suatu bangsa terscbut misalnya arsitekturnya, sistem politiknya, produksi keseniannya, teknologinya dan lainnya. Maka definisi kebudayaan Indonesia berdasarkan sisi material adalah semua produk yang dihasilkan bangsa Indonesia baik yang dikembangkan di luar Indonesia, maupun yang dikembangkan di Indonesia, yang tumbuh dan berkembang sejak Indonesia merdeka (1945) atau sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga saat ini, apakah itu diserap dari kebudayaan etnik maupun kebudayaan asing, baik melalui proses difusi, akulturasi yang disepakati menjadi bagian dari tujuan nasional bersama di dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Walaupun produk dari bangsa itu terdapat perbedaan‑perbedaan, justru inilah kreasi bangsa itu. Bila perbedaan ini, telah mampu melewati batas etniknya, artinya produk budaya dari etnik A, diserap oleh etnik B menjadi bagian dari kebudayaannya, maka produk budaya seperti inilah yang pada gilirannya akan menjadi kebudayaan Indonesia.
Tabel 2.3
Kebudayaan Indonesia dalam Pandangan dan Sisi Material
11. Kebudayaan di Indonesia dalam Sisi Materaial
Seperti telah dijelaskan dalarn pada Kebudayaan di Indonesia kebudayaan etnik di Indonesia sangat banyak misalnya ada kebudayaan etnik Aceh, Melayu, Batak Toba, Karo, Mandailing-Angkola, Pakpak-Dairi, Simalungun, Melayu, Bali, Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Jawa, Sulawesi, sampai ke Papua (Irianjaya) dan lainnya, funggsinya tidak lebih selain untuk memperkaya, dan sebagai sumber inspirasi bagi kebudayaan Indonesia, juga sebagai kebanggaan etnik pendukungnya. Sedangkan kebudayaan bangsa asing ini seperti Arab, Inggris, Belanda, Cina (dalam pengertian terbatas) dan lainnya. Maka kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan etnik, dan kebudayaan asing dapat didefinisikan berdasarkan sisi material adalah semua produk suatu etnik atau bangsa asing yang dan berkembang di Indonesia. Produk ini banyak, sesuai dengan jumlah etniknya, semua ini, bila diakui, atau diserap oleh etnik lain, kemudian dijadikan menjadi bagian dari kebudayaannya, maka produk kebudayaan tersebut dapat dikategorikan akan menjadi memperkaya kebudayaan Indonesia. Misalnya seni zapin dari Arab yang diserap bangsa Indonesia, dan menjadi bagian dari budaya Indonesia.
12. Penutup
Secara nyata diakui atau tidak, gagasan kolektif yang telah menjadi kebudayaan Indonesia sudah ada. Maka kebudayaan Indonesia saat ini, (a) ada yang sudah terbentuk, seperti antara lain bentuk Negara Indonesia, Pancasila, dan UUD 45, sebagai pandangan hidup dan dasar negara, bahasa Indonesia, produk‑produk hukum selama Indonesia merdeka, teknologi yang diambil dari luar, pendidikan, moderenisasi dalarn segala lapangan, sistem politik, kesenian seperti musik dengan variasinya yang banyak digandrungi oleh lapisan tertentu, dengan melewati batas agama, suku, daerah, pendidikan dan status sosial, tanpa mempersoalkan asal‑usul musik tersebut, dan sebagainya, (b) ada yang sedang dalam proses pembentukan, misalnya semangat berdemokrasi. Negara Indonesia dikatakan menganut demokrasi Pancasila, (c) ada yang sedang dalam proses pencarian, misalnya bagaimana, menata hubungan antar umat beragama, agar tidak mudah tersinggung bila timbul gesekan antar umat lapisan bawah, bagaimana memandirikan masyarakat Indonesia secara individu, sehingga tidak mudah diprovokasi dan sebagainya.
Daftar Pustaka untuk Mendalami KajianAlfian (ed.).1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Alisjahbana, S Takdir. 1981. “Pernbangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,” dalarn Prisma No. 11. Jakarta: LP3ES.
Bakker. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta‑Jakarta: Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Brahmana, Pertampilan S. 1996. “Materialisme Budaya Sebagai Suatu Pernahaman Perubahan Budaya” (Karya Tulis). Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. “Gagasan Kebudayaan Nasional dalam Masa Kolonial: dalarn Perkembangan Masyarakat” (Karya Tulis). Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. “Awal Pertumbuhan Kebudayaan Nasional Indonesia” (Karya Tulis). Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia: Pandangan,” dalarn Prisma, 10 Oktober. Jakarta: LP3ES.
Kayam, Umar. 1981. Transformasi Budaya Kita. Yogyakarta: UGM press.
Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Poespowardojo, Soerjanto. 1993. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia.
Sastrosupono M, Suprihadi. 1982. Mengharnpiri Kebudayaan. Bandung: Penerbit Alumni.
http://satunet.conVartikel/isi/01/05/13/51525.hbnl
http://satunet.com/artikel/isi/01/05/13/51525.html?page=2
Seperti telah dijelaskan dalarn pada Kebudayaan di Indonesia kebudayaan etnik di Indonesia sangat banyak misalnya ada kebudayaan etnik Aceh, Melayu, Batak Toba, Karo, Mandailing-Angkola, Pakpak-Dairi, Simalungun, Melayu, Bali, Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Jawa, Sulawesi, sampai ke Papua (Irianjaya) dan lainnya, funggsinya tidak lebih selain untuk memperkaya, dan sebagai sumber inspirasi bagi kebudayaan Indonesia, juga sebagai kebanggaan etnik pendukungnya. Sedangkan kebudayaan bangsa asing ini seperti Arab, Inggris, Belanda, Cina (dalam pengertian terbatas) dan lainnya. Maka kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan etnik, dan kebudayaan asing dapat didefinisikan berdasarkan sisi material adalah semua produk suatu etnik atau bangsa asing yang dan berkembang di Indonesia. Produk ini banyak, sesuai dengan jumlah etniknya, semua ini, bila diakui, atau diserap oleh etnik lain, kemudian dijadikan menjadi bagian dari kebudayaannya, maka produk kebudayaan tersebut dapat dikategorikan akan menjadi memperkaya kebudayaan Indonesia. Misalnya seni zapin dari Arab yang diserap bangsa Indonesia, dan menjadi bagian dari budaya Indonesia.
12. Penutup
Secara nyata diakui atau tidak, gagasan kolektif yang telah menjadi kebudayaan Indonesia sudah ada. Maka kebudayaan Indonesia saat ini, (a) ada yang sudah terbentuk, seperti antara lain bentuk Negara Indonesia, Pancasila, dan UUD 45, sebagai pandangan hidup dan dasar negara, bahasa Indonesia, produk‑produk hukum selama Indonesia merdeka, teknologi yang diambil dari luar, pendidikan, moderenisasi dalarn segala lapangan, sistem politik, kesenian seperti musik dengan variasinya yang banyak digandrungi oleh lapisan tertentu, dengan melewati batas agama, suku, daerah, pendidikan dan status sosial, tanpa mempersoalkan asal‑usul musik tersebut, dan sebagainya, (b) ada yang sedang dalam proses pembentukan, misalnya semangat berdemokrasi. Negara Indonesia dikatakan menganut demokrasi Pancasila, (c) ada yang sedang dalam proses pencarian, misalnya bagaimana, menata hubungan antar umat beragama, agar tidak mudah tersinggung bila timbul gesekan antar umat lapisan bawah, bagaimana memandirikan masyarakat Indonesia secara individu, sehingga tidak mudah diprovokasi dan sebagainya.
Daftar Pustaka untuk Mendalami KajianAlfian (ed.).1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Alisjahbana, S Takdir. 1981. “Pernbangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,” dalarn Prisma No. 11. Jakarta: LP3ES.
Bakker. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta‑Jakarta: Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Brahmana, Pertampilan S. 1996. “Materialisme Budaya Sebagai Suatu Pernahaman Perubahan Budaya” (Karya Tulis). Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. “Gagasan Kebudayaan Nasional dalam Masa Kolonial: dalarn Perkembangan Masyarakat” (Karya Tulis). Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. “Awal Pertumbuhan Kebudayaan Nasional Indonesia” (Karya Tulis). Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia: Pandangan,” dalarn Prisma, 10 Oktober. Jakarta: LP3ES.
Kayam, Umar. 1981. Transformasi Budaya Kita. Yogyakarta: UGM press.
Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Poespowardojo, Soerjanto. 1993. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia.
Sastrosupono M, Suprihadi. 1982. Mengharnpiri Kebudayaan. Bandung: Penerbit Alumni.
http://satunet.conVartikel/isi/01/05/13/51525.hbnl
http://satunet.com/artikel/isi/01/05/13/51525.html?page=2