TEORI-TEORI DAN METODE DALAM ILMU SENI
Takari, Frida, Fadlin, Torang, Arifni, dan Heristina
1 Pengenalan
Untuk mengkaji kesenian secara ilmiah, maka selalu digunakan berbagai teori dan metode. Kajian‑kajian terhadap seni pertunjukan (pertunjukan budaya) telah lama dilakukan orang, terutama oleh para ahli budaya, kurator museum, penyebar agama, antropolog, dan lainnya. Namun, dalam dan fokusnya kajian mereka secara keilmuan, tergantung dari latar belakang pendidikan, pengalaman, sikap, dan tujuan ia mengkaji kesenian. Kajian secara mendalam melalui pendekatan saintifik (ilmiah) tentang kesenian, khususnya seni pertunjukan baru dimulai akhir abad ke‑19, saat berdirinya etnomusikologi di Dunia Barat/Oksidental, yang kemudian disusul oleh tumbuhnya disiplin antropologi tari dan antropologi teater. Selain itu, kajian tentang seni rupa juga sudah muncul lebih awal.
Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mendirikan berbagai Jurusan/Departemen/ Program Studi yang mengkaji seni. Di Eropa, Amerika, dan Australia, kajian seni ada di universitas‑universitas‑seperti: Universitas Durham di Inggris, Universitas Jaap Kunst di Belanda, Universitas Alberta di Kanada, University Califomia at Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat, Washington University di Amerika Serikat, Univeristy Hawaii di Amerika Serikat, Monash University di Australia, The University of Sydney di Australia, dan lain‑lainnya. Di kawasan Asia Tenggara kajian seni ada di The University National Philipine, begitu juga di Universiti Malaya Malaysia, Universiti Sains Malaysia, dan lain‑lainnya.
Di Indonesia, kajian seni dilakukan baik itu di tingkat universitas, sekolah tinggi, maupun sekolah menengah. Misalnya Program Strata Dua (S‑2) dan Strata Tiga (S‑3) Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, S‑2 Pengkajian Seni di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Untuk strata satu Jurusan Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), Jurusan/Departemen Etnomusikologi di Universitas Suamtera Utara, Jurusan Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik) di beberapa universitas negeri pengembangan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, misalnya Universitas Negeri Medan (Unimed), Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan lainnya. Di Yogyakarta didirikan Institut Seni Indonesia (ISI) yang keseluruhan fakultasnya mengasuh ilmu‑ilmu seni, begitu juga dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang. Di tingkat sekolah menengah ada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) atau Sekolah Menengah Musik Negeri (SMMN) yang kini digabung ke dalam rumpun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Demikian gambaran umum institusi pendidikan yang mcngasuh kajian seni. Perkembangannya tampaknya tergantung pata tempat masing‑masing. Secara umum, perkembangan pengetahuan dan sains ini selalu berkaitan dengan perkembangan ilmu antropologi--karena mempelajari seni tujuan akhimya adalah untuk mengetahui tingkah laku manusia yang distudi.
2 Seni dalam Kajian Estetika
Dalam sejarah pengetahuan dan sains, studi terhadap unsur‑unsur keindahan, dilakukan dalam disiplin yang disebut estetika (aesthetic) atau dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat keindahan. [1]Dalam peradaban Barat, estetika dimulai dari sumber‑sumber‑sumber budaya Yunani dan Romawi. Edward et al. (eds.) membagi sejarah perkembangan filsafat Barat, termasuk estetika ke dalam periode‑periode: (1) Plato, yang pada prinsipnya memperbincangkan seni dan kerajinan (kriya), imitasi, keindahan, seni dan pengetahuan, dan seni serta moralitas; (2) Aristoteles, yang memperbincangkan pengetahuan tentang penikmatan seni, imitasi, penikmatan keindahan, keuniversalan seni, serta katarsis; (3) filosof klasik yang lebih akhir, yang umumnya berminat dalam puisi dan masalah semantik. Di antaranya Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus; (4) Abad Pertengahan yang ditokohi oleh St. Agustinus dan Thomas Aquinas. Keduanya memisahkan unsur penikmatan dan hasil dari keindahan. (5) Renaisans, yang berkembang pada abad ke‑15 dan 16. Pada saat ini dilakukan revivalisasi filsafat‑filsafat Plato, sehingga periode ini disebut juga dengan Neo‑Platonisme; (6) Rasionalisme Cartesian pada Zaman Pencerahan; (7) Empirisisme; (8) Idealisme Para Filosof Jerman yang ditokohi oleh Immanuel Kant; (9) Romantisisme, yang menekankan kepada unsur ekspresi emosional; serta (10) Pcrkembangan Kontemporer (Edward et al. 1967: volume I dan 2).
Sebagai sebuah gagasan, ada keterhubungan antara kesenian dan estetika. Berbagai cabang seni dapat juga ditampilkan seperti dalam seni teater yang mencakup seni: visual, musik, sastra, dan tari. Saling keterhubungan cabang‑cabang seni ini memperlihatkan adanya sumber-sumber yang sama, terutama dalam tahap ide, walaupun menggunakan media yang berbeda‑beda.
Berbagai kesenian merupakan petualangan manusia, dan sebagian besar karya‑karya tentang estetika pada masa kini, dimulai dari perbedaanperbedaan umum di antara. cabang‑cabang seni yang dihasilkan dalam kehidupan kita. Namun demikian, dalam tahapan tertentu berbagai cabang kesenian ini mempunyai satu kesatuan, yang memebentuk identitas masyarakat pendukungnya.
Studi tentang estetika ini secara eksplisit dikemukakan oleh Adler el al. (eds.) sebagai berikut:
The discipline called aesthetics may be described broadly as the study of beauty and, to a lesser extent, its opposite.' the ugly. It may include general or theoretical studies of the arts and of related types of experiences, such as those of the philosophy of art, arts criticism, and the psychology and sociology of the arts. The world general is emphasized because a narrowly specialized study of particular work of art or artist would not ordinarily be regarded as an example of aesthetics. Aesthetics has often defined more specifically as the science of the beautiful, a definition implying an organized body of knowledge covering a special field of subject matter.
The arts may be include the visual and theatre arts, music, dance, and literature. In the ancient world, there was no clear distinction between aesthetic and useful art. Aesthetic as a philosopher or scientific discipline is not to be confused with art, though it may undertake to study the arts in a more or less intellectual, logical way. (1986:161).
Estetika adalah disiplin terhadap keindahan atau seni. Bahasan seni dalam estetika mencakup masalah filosofis (pengetahuan) dan sains sekali gus. Kemudian, secara bertahap berkembanglah berbagai disiplin seni yang lebih mcngedepankan aspek rasional dan empiris‑‑yang didasari oleh interaksi bangsa‑bangsa di dunia ini. Dimulai oleh disiplin antropologi yang kemudian bersentuhan dengan disiplin seni, seperti yang diuraikan berikut ini.
2.1 Antropologi dan Seni
Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari manusia (anthropos), sebagai sebuah disiplin integrasi dari berbagai ilmu yang masing‑masing mempelajari suatu kompleks masalah‑masalah khusus mengenai makhIuk manusia (Iihat Koentjaraningrat 1980:1). Integrasinya ini mengalami proses sejarah yang panjang, dimulai sejak kira‑kira. awal abad ke‑19. Antropologi mulai mencapai bentuknya yang konkret setelah lebih dari 60 pakamya dari berbagai negara Eroamenka bertemu mengadakan simposium tahun 1951. Pendekatan ilmiah antropologi adalah berdasarkan kepada kajian menyeluruh (universal) terhadap manusia, yang mencakup bermacam jenis manusia, kebudayaannya, serta semua aspek pengalaman manusia. Pendalaman bidang‑bidang antropologi di antaranya adalah antropologi fisik, antropologi budaya, arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi.
Kesenian sebagai salah satu unsur dan ekspresi budaya, jelas dapat dikaji oleh antropologi budaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, beberapa disiplin yang objeknya adalah seni berdiri dan tetap memakai berbagai teori dan metode dalam antropologi, seperti persinggungannya dengan musikologi menghasilkan etnomusikologi, dengan tari menghasilkan antropologi tari, dengan teater menghasilkan antropologi teater, dan seterusnya. Oleh karena itu akan dibahas apa itu musikologi secara garis besar saja.
Musikologi lahir di Dunia Barat, yang pada dasamya mempelajari musik seni (art music) Barat seperti karya‑karya Bach, Beethoven, Stravinsky, musik gereja, trobadour, trouvere, dan lainnya. Ilmu ini membuat dikotomi yang mencolok antara "musik seni" dan "musik primitif' berdasarkan atas ada atau tidaknya budaya tulis dan teori yang telah berkembang. Secara keilmuan, musikologi bersifat humanistis dan cenderung mengesampingkan ilmu‑ilmu pengetahuan lain, kecuali yang bersinggungan saja. Secara mendasar, musikologi bersifat historis budaya Barat dan objek studinya adalah musik sebagaimana adanya.
Berbanding terbalik dengan musikologi, antropologi mempunyai ciri‑ciri mempelajari manusia sepanjang masa; melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai sekelompok variabel yang berinteraksi. Antropologi mempunyai orientasi saintifik, yang metodologinya sebagian historis akan tetapi pada dasamya bersifat saintifik. Tujuan antropologi adalah untuk memahami tingkah laku manusia.
Musikologi dan antropologi bukanlah bentuk studi yang sama. Yang pertama masuk pada studi humaniora, yang kedua adalah ilmu sosial. Setelah berpadu dalam disiplin baru etnomusikologi, maka terjadi perkembangan‑perkembangan lebih lanjut, disertai ciri khas setiap kawasan yang mengasuh ilmu ini, walaupun dasar‑dasamya adalah ingin mengetahui manusia, lewat jendela budaya musik secara universal. Dalam perkembangan selanjutnya, para musikolog yang sadar akan kemitraan dengan budaya di luar Barat, bahkan menjadi etnomusikolog. Atau ada juga etnomusikolog yang kajiannya adalah musik Eropa, biasanya musik folk atau rakyat.
2.2 Interaksi
Secara ilmiah, interaksi positif terjadi antara antropologi dengan teater, musik, dan tari. Yang pertama menghasilkan. disiplin antropologi teater, yang kedua etnomusikologi, dan ketiga etnologi tari, atau disebut juga antropologi tari dan etnokoreologi. Ketiga disiplin ilmu pengetahuan tersebut lahir di Barat, dan etnomusikologi muncul paling dahulu, yaitu akhir abad ke‑1 9 (1890‑an). . Demikian pula di Indonesia, etnomusikologi lebih dahulu dibuka di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara tahun 1979, yang kemudian diikuti oleh institusi seni lainnya. Kemudian disusul oleh berdirinya ilmu antropologi tari dan antropologi teater.
2.3 Etnomusikologi
Berdasarkan sejarah perkembangan disiplinnya, etnomusikologi mengenal dua kelompok definisi. Kelompok pertuna adalah pengertian yang lebih dekat dengan studi musikologi komparatif Barat. Definisi ini dapat dibedakan atas tiga macam. Pertama, definisi yang menekankan pada jenis musik yang dipelajari yaitu musik dan alat musik dari semua bangsa non‑Eropa, termasuk suku yang disebut primitif, dan bangsa‑bangsa Timur yang berbudaya (Kunst 1950). Kedua, definisi yang menekankan musik sebagai tradisi lisan, yaitu etnomusikologi pada dasamya mewarisi musik pada tradisi lisan (List 1962). Definisi ketiga, merumuskan etnomusikologi sebagai bidang yang mempelajari musik di luar masyarakat peneliti atau pengamat, yaitu etnomusikologi mempelajari musik bangsa‑bangsa lain (Wachsman 1969).
Selanjutnya definisi kelompok kedua menekankan kepada proses kepada ilmuwan etnomusikologi. Mereka mendefinisikan etnomusikologi adalah studi tentang musik di dalam konteks kebudayaan (Merriam 1964). Definisi‑definisi yang menekankan pada proses kerja, memaksa peneliti untuk memusatkan kepada totalitas bukan kepada seperangkat komponen dari bagian‑bagian tertentu, untuk memperlakukan deskripsi sebagai langkah awal dalmn mengadakan studi, dan untuk membuat konsepsi suara musik tidak terpisah, tetapi merupakan bagian dari totalitas masyarakat dan budaya.
2.4 Antropologi Tari
Antropologi tari adalah sebuah disiplin baru yang sebelumnya dikenal sebagai etnologi tari, atau oleh sebagian pakar disebut dengan etnokoreologi. Walau istilah etnologi tari baru tersebar luas, tetapi penelitian di bidang etnologi tari telah berlangsung sejak tahun 1930‑an. Jika di bidang etnomusikologi ada tokoh Alan P. Merriam, maka dalam antropologi tari salah seorang perintisnya adalah Getrude Prokosch Kurath yang kumpulan esainya diterbitkan tahun 1986 dengan judul Half Century of Dance Research oleh Cross Cultural Dance Research (CCDR, Flagstaff, Arizona, Amerika Serikat). Ada pula seorang tokoh yang dikenal cukup ahli baik di bidang etnomusikologi maupun antropologi tari yaitu Curt Sachs.
Kurath menggunakan 20 tahun pertama karimya sebagai penari dan produser pertunjukan budaya, tetapi kemudian menceburkan dirinya di bidang penelitian etnologi tari. Menurutnya, metode penelitian etnologi tari terdiri dari tiga tahap: (1) melakukan studi secara aktif dan mendatangi upacara‑upacara masyarakat yang diteliti; (2) mentransfer pola‑pola tari ke dalam bentuk tulisan, dengan deskripsi verbal dan layout visual; dan (3) menginterpretasikan fakta‑fakta yang telah diorganisasikan.
Seperti dalam studi etnomusikologi, yang tergantung latar belakang pendidikannya, dalam kajian tari pun ada peneliti‑peneliti yang lebih menekankan salah satu disiplin: antropologi atau tari. Seperti yang dikemukakan oleh Adrianne Kaeppler, bahwa para ahli etnologi tari biasanya adalah berlatarbelakang sebagai penari‑‑yang melihat tari terpisah dari konteks budaya masyarakatriya. Mereka selalu mendeskripsikan tari menurut pandangan mereka sendiri, bukan pandangan masyarakat pelaku tari itu. Mereka mendeskripsikan secara. struktural bagian‑bagian tari itu seperti pola gerak, motif, garis, arah, dan repetisi tari.
Sebaliknya, para etnolog tari ingin mengetahui lebih dari itu. Antropologi pada abad ke‑20 telah berkembang dari pendekatan deskriptif dan natural ke pendekatan yang menekankan kepada teori. Bagi antropolog, deskripsi tari dari seluruh dunia ini bukan etnologi, hanya sekedar data, yang lebih jauh harus dianalisis secara. etnografis, sehingga didapatkan makna‑makna kulturalnya, baik dengan memakai teori maupun metode ilmiah.
Menurut Janet Adshead dalam bukunya Dance Analysis: Theory and Practice (London, Dance Book, 1988:6) penelitian terhadap tari pada perkembangan sekarang ini memerlukan bantuan disiplin lainnya, seperti: antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi, teologi, dan lainnya. Disiplindisiplin ini sangat membantu untuk memahami tari dalam konteks yang lebih luas, serta menjelaskan fungsi‑ftmgsinya dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
2.5 Kajian Pertunjukan Budaya dan/atau Antropologi Teater
Kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu) yang relatif baru, yang dalam pendekatan saintifiknya berdasar kepada interdisiplin atau multidisiplin ilmu, yaitu mempertemukan antara lain antropologi, kajian teater, antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, kritik sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkemuka pada disiplin ini adalah Victor Tumer (antropolog) dan Richard Schechner (aktor, sutradara teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review).
Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang dilakukan di atas panggung, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperi olah raga, permainan, sirkus, kamaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia menulis buku yang terkenal From Ritual to Theatre: On the Edge of the Bush: Anthropology as Experience, The Anthropology of Performance, dan The Anthropology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersama Victor Tumer dan Edward M. Bruner tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia. Pada karya‑karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Tumer tampaknya menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik, praktik, dan pertunjukan dalam mengkaji kesenian. Tentunya pendekatan ini diperlukan berdasarkan asumsi dasar bahwa pengalaman yang kita alami tidak hanya dalam bentuk verbal, tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan). Keseluruhan disiplin pertunjukan budaya di atas umumnya mendasarkan kegiatanya pada pendekatan ilmiah dengan menggunakan teori-teori.
3. Pendekatan Ilmiah dan Teori‑teori
Ilmu pengetahuan (sains) adalah suatu disiplin yang mempunyai tahap‑tahap dan prosedur tertentu, yang sering disebut dengan pendekatan ilmiah. Di antaranya adalah: rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan, penelitian, dan lainnya (Lihat Denzin dan Lincoln 1995).
Pendekatan saintifik biasanya menggunakan teori tertentu. dalam mengkaji fenomena alam, biologi, sosial, budaya, dan lain‑lainnya. Teori memiliki peran penting dalam pendekatan ilmiah. Dengan teori seorang ilmuwan dibekali dasar‑dasar bagaimana mencari dan mengolah data‑-sehingga didapatkan kesimpulan yang absah. Teori menurut Marckward (1990:1302) memiliki tujuh pengertian: (1) sebuah rancangan atau skema pikiran, (2) prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan, (3) abstrak pengetahuan yang antonim dengan praktik, (4) rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena, (5) hipotesis yang mengarahkan seseorang, (6) dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik dari beberapa subjek, dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik. Jadi dengan demikian, teori berada dalam tataran ide orang, yang kebenarannya secara empiris dan rasional telah diujicoba. Dalam dimensi waktu teori‑teori dari semua disiplin ilmu terus berkembang. Teori‑teori yang dipergunakan dalam mengkaji tari, musik, teater/pertunjukan, seni rupa, diambil dari berbagai disiplin atau dikembangan sendiri secara khas, seperti beberapa contoh yang dikemukakan berikut ini.
3.1 Semiotika
Pendekatan seni salah satunya mengambil teori semiotika dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang‑lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang‑lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater‑-8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata‑kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make‑up, gaya rambut, kostum, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.
Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan‑pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan‑pertanyaan itu adalah mencakup: (1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur‑unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem‑sistem pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip‑prinsip estetis produksi, (e) kendala‑kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah, atau membosankan; (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang pertunjukan‑‑mencakup: arsitektur, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya., (d) prinsip‑prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on‑stage dan off‑stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistem tata cahaya; (4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain; (5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain; (6) pertunjukan (a) gaya individu atau konvensional, (b) hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan;
Selanjutnya (7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan pertunjukan: (a) tahap keseluruhan dan (b) tahap‑tahap tertentu. sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain‑lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba‑tiba; (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin‑poin apa yang dijelaskan, (d) bagaimana. struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya; (10) teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan. teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji; (11) penonton: (a) di mana pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna‑makna; (12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara: (a) teknis dan (b) imaji apa yang menjadi fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda‑tanda pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah‑masalah khusus yang perlu dijelaskan serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan.
Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang pakar bahasa dari Swiss--dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier, yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini.
Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign-using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce.
Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified.
Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians.
This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism.
Modem semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communications, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi-Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.
Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotika ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik).
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian, berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, atau harimau melambangkan negara Malaysia, maka disebut dengan simbol atau lambang.
Secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Manakala bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia sehari-hari. Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, termasuk: penggunaan lambang, isi pesan, dan cara penyampaiannya (Berlo 1960:54). Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara lambang, objek dan makna (Eco 1979: 15; Littlejohn 1992:64; Manning 1987:26; Barthes 1967:79). Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerima yang menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang berfungsi sebagai perantara antara lambang dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna lambang hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas saja interpretan menghubungkan lambang dengan objek.
Berdasarkan kepada diagram 3.1 berikut, yaitu segitiga Makna Ogden & Richards (1923) maka dapat dikaji bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara lambang atau isyarat dengan objek yang menjadi rujukan. Hubungan tak langsung ini digambarkan oleh garis terputus-putus antara lambang atau isyarat dengan objek. Garis penghubung antara pemikiran dengan lambang-lambang dan pemikiran dengan objek yang dirujuk adalah secara terus dan langsung. Hubungan ini menunjukkan bahwa pemikiran seseorang akan menginterpretasi makna lambang dengan objek atau peristiwa yang dirujuk. Ini bermakna bahwa pikiran seseorang mengkonseptualisasikan sesuatu objek yang dirujuk berdasarkan rupa bentuk lambang atau isyarat tertentu. Karena itu wujudlah hubungan secara tidak langsung antara lambang dengan objek walaupun pada kenyataannya hubungan itu tidak mutlak.
Hubungan antara pemikiran, lambang dan objek yang dirujuk itu akan menghasilkan makna (Littlejohn 1992). Oleh karena itu, hubungan lambang dengan objek bersifat arbitrer (Supardy 1990:29). Pengertian terhadap sesuatu lambang juga berubah-ubah dari masa ke masa menurut keadaan dan kehendak masyarakat.
Makna digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan. Pemancaran makna dan pesan itu melibatkan semua bentuk perlakukan dan konteks kewujudannya (Innis 1985:vii) baik dalam bentuk bahasa ataupun perbuatan, atau kedua-duanya sekaligus (Cherry 1957: 109-111). Pengirim akan memilih lambang-lambang tertentu dan disusun secara sistematik untuk mewujudkan makna tertentu (Berlo 1960:269). Oleh karena pengirim bebas memilih lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna adalah bersifat subjektif. Oleh karena itu, hubungan antara lambang dengan objek yang dilambangkan adalah berdasarkan imajinasi suatu objek (Littlejohn 1992:64). Pikiran penerima harus menafsir (Blumer 1962:2; Barthes 1967:44) lambang yang digunakan oleh pengrim pesan. Penafsiran penerima terhadap makna lambang adalah bergantung kepada situasi dan juga konteks (Eco 1979:15). Dalam hal ini cara pengirim menggunakan lambang sangat penting untuk merangsang fikiran penerima bagi mengkonseptualisasikan objek (Elam 1983:1; Anderson 1988:16; Panuti Sudjiman dan van Zoest 1992:27). Rangsangan itu juga sangat penting karena lambang mempunyai makna yang versatil yaitu lambang bisa membawa makna konotatif pada suatu rasa, dan pada masa dan ruang yang lain dapat membawa makna denotatif bergantung kepada konteksnya.
Diagram 3.1
Segi Tiga Makna dari Ogden dan Richard (1923)
Sumber: Theories of Human Communiction oleh Stephen Littlejohn, 1992:64, juga Zaleha Abu Hasan 1996: 57)
Menurut pendapat Morris (1946), dalam proses perlambangan, lambang mempunyai nilai tertentu seperti pergantungan (dependence), keterpisahan (detachment), dan keunggulan (dalam Littlejohn 1992:66). Nilai ini menunjukkan bahwa sistem lambang bersifat mempengaruhi dan dipengaruhi. Ada lambang yang dipengaruhi oleh lambang lain untuk membolehkannya berfungsi. Lambang yang mempengaruhi dikatakan sebagai lambang yang dominan atau unggul. Lambang yang dipengaruhi mempunyai nilai pergantungan, karena terpaksa bergantung kepada lambang lain. Selain itu ada pula lambang yang dapat berdiri sendiri untuk menghasilkan makna. Berdasarkan nilai dan fungsinya dalam komunikasi, lambang merupakan gambaran perasaan dan perlakuan. Misalnya lambang bisa bermaksud kumpulan orang, peristiwa luar biasa, pertanda kurang baik atau alamat yang baik (Schramm & Potter 1992: 74).
Echo (1976) memberikan empat cara manusia menggunakan lambang. Pertama, melalui cara pengakuan yaitu menggunakan konteks untuk menyatakan sesuatu maksud. Kedua menunjukkan peralatan sebenar. Ketiga melalui replika yaitu menggabungkan lambang bahasa dengan lambang lain. Akhir sekali, keempat melalui ciptaan sesuatu yang baru seperti lukisan. Cara pertama dan ketiga boleh memandu fikiran penerima untuk menghubungkan lambang dengan objek yang dirujuk berdasarkan mutu persamaan yang wujud pada cara perlambangan.
Umumnya lambang mempunyai makna. Makna itu merupakan lambangan sesuatu objek yang dilambangkan. Makna yang ada pada sesuatu lambang tidak mutlak. Untuk memancarkan makna, sesuatu unit lambang tidak boleh berdiri sendiri. Unit lambang itu harus berada dalam sistem yang merupakan gabungan pelbagai lambang karena biasanya pesan hanya dapat digambarkan melalui kombinasi beberapa lambang yang lebih kompleks (Langer 1942).
Hubungan antara lambang dengan makna dalam sesuatu sistem adalah arbitrer karena lambang tidak mempunyai makna yang tetap (Berlo 1960:54); Scramm & Porter 1992:79).
Suatu lambang boleh berubah makna berdasarkan situasi dan konteks tanpa menukar lambang dalam sesuatu sistem itu. Yang berubah hanyalah cara lambang digunakan. Bagaimanapun satu set lambang tidak dapat menyampaikan semua informasi yang diinginkan. Oleh karena itu, beberapa lambang lain seperti perlakukan akan disatukan untuk menjadi unit yang lebih besar. Seterusnya unit-unit yang besar ini akan dikombinasikan untuk menjadi sistem yang lebih besar. Setiap set pengucapan merupakan kombinasi dari unit-unit lambang (Leach 1976:33). Makna sebenamya yang tersembunyi hanya dapat dilihat dalam konteks yang menyeluruh. Kombinasi sistem lambang yang kompleks dan pelbagai ini membolehkan pengirimnya menyampaikan banyak pesan pada saat-saat tertentu.
Sebagai suatu pendekatan, semiotika melihat sesebuah karya sebagai satu sistem, yang berurusan dengan hal teknis dan mekanisme penciptaan--di samping mengkhususkan kepada sudut ekspresi dan komunikasi (Mana Sikana 1990:20). Unsur-unsur komunikasi itu mungkin dalam bentuk lisan atau bukan lisan. Gabungan dan pertautan antara unit-unit kecil itu akan menghasilkan makna dan pesan tertentu.
3.1.1 Semiotika dalam Musik
Semiotika dipakai dalam berbagai-bagai disiplin ilmu, demikian juga dalam musikologi. Dalam konteks tulisan ini, teori semiotika dalam musikologi yang penulis gunakan adalah dari tulisan Martinez yang bertajuk “A Semiotis Theory of Music: According to a Peircean Rationale.” Ia menyatakan secara tegas aspek komunikasi dalam musik seperti yang diuraikan berikut ini.
Perkembangan terakhir mengenai terapan teori umum Peirce mengenai tanda (signs) pada musik, seperti yang dilakukan oleh David Lidov (1986), Robert Hatten (1994) dan William Dougherty (1993 dan 1994), memperlihatkan bahwa pendekatan ini mencakup baik itu konteks musikal maupun semiotika, yang memusatkan perhatian pada kekuatan pertanyaan mengenai pentingnya peristiwa yang membangun aspek musikal. Martinez dalam tulisan ini menghadirkan struktur teori semiotika musik, sebagaimana yang dilakukannya dalam disertasi doktoralnya yang bertemakan semiotika dalam musik Hindustani, yang diajukannya kepada University of Helsinski tahun 1997.
Peirce dalam kajian-kajian semiotikanya, memasukkan berbagai pemikiran yang hanya mungkin terwujud dengan mengkaji makna-makna tanda. Musik adalah salah satu bahagian dari pemikiran manusia, bahwa ide mengenai musik adalah berupa tanda-tanda yang tergantung kepada proses-proses signifikatif atau semiosis. Sebuah tanda musikal dapat berupa satu sistem, satu komposisi atau pertunjukan, satu bentuk musikal, satu gaya, seorang komposer, seorang pemusik, alat-alat musik dan seterusnya. Menurut pendapat Peirce, semiotika melibatkan hubungan triadik antara tanda, objek, dan interpretan, yang dalam konteks musik tanda-tanda lainnya dibangun oleh pikiran pendengar (penonton), pemusik, komposer, serta analis dan pengkritik.
Di dalam sistem klasifikasi saintifik yang ditawarkan Peirce, semiotika (atau semeiotik) memiliki tiga cabang, yaitu: (a) grammar spekulatif, (b) kritik, dan (c) metodeutik (atau retorik spekulatif).
Selaras dengan pendapat Nathan Houser, para ilmuwan yang mengkaji gramar spekulatif biasanya melalui pendekatan tanda-tanda intrinsik yang sifatnya alamiah dan semiosis. Para ilmuwan ini menjelaskan hubungan-hubungan antara tanda-tanda, korelasi tiap bahagian dalam semiosis, tanda trikotomi yang diajukan Peirce, dan sepuluh atau yang lebih luas enam puluh enam klasifikasi tanda. Studi kritik biasanya memusatkan perhatian kepada tanda-tanda dan hubungannya dengan objek. Lebih khusus lagi adalah kondisi pelbagai referensi tanda dan hubungannya dengan signified object. Konsekuensinya, studi kritik dalam teori semiotika ini adalah untuk mendapatkan kebenaran, yang dipandu oleh pemikiran manusia yang logis. Atau melalui tiga jenis argumentasi yaitu: abduksi, induksi, dan deduksi. Studi metodeutik mengenai tanda-tanda adalah bagaimana melihat hubungan antara para interpretan. Dalam kaitan ini, semiosis memfokuskan kajian pada tingkatan interpretan, dan bagaimana interpretan itu sendiri dapat menafsirkan tanda-tanda selama terjadinya proses semiotika (Houser 1990:210-211).
Peirce membagi semiotika yang bersifat formal ke dalam tiga wilayah kajian. Sementara kajian musikal juga dapat diketahui melalui tiga lapangan yang saling berkaitan, yang memperhatikan aspek: (a) kondisi umum tanda-tanda, sebagai unsur intrinsik semiosis, atau kajian tanda-tanda dan sistem intemal yang saling berhubungan; (b) teori kondisi umum kerangkan simbol dan tanda-tanda lain dalam melihat objek, yang dianggap sebagai hubungan antara tanda-tanda dan objek-objeknya, dan (c) kondisi transmisi makna oleh tanda-tanda dari satu pikiran ke pikiran lain, atau dari seseorang ke orang lain, yang boleh disebut juga sebagai hubungan antara tanda-tanda kepada para interpretan, interpreter, dan sistem interpretasi. Dalam tingkatan mikrokospik, pembagian yang sama juga dilakukan oleh teori semiotikanya Peirce, yaitu: (a) tanda itu sendiri, (b) tanda dan hubungannya dengan objek-objek yang mungkin, dan (c) tanda yang berhubungan dengan interpretan yang mungkin.
Sesuai dengan jalan pikiran di atas, Martinez menawarkan tiga lapangan kajian yang saling berhubungan dalam semiotika musik. Pertama adalah semiotika intrinsik musik, atau studi mengenai tanda-tanda musik itu sendiri, yang memfokuskan perhatian kepada bahagian intemal musik. Semiotika intrinsik musik ini terdiri dari aspek-aspek kualitas musikal, aktualisasi karya-karya musik, dan pengorganisasian dalam musik yang dipandang sebagai sistem-sistem musikal. Kedua adalah referensi musikal, atau studi tanda-tanda musik dan hubungannya dengan objek-objek yang mungkin, yang memfokuskan perhatian kepada signifikasi musik dengan objek-objek klasifikasi yang lebih luas. Ketiga, interpretasi musikal, atau kajian tanda-tanda musikal yang berhubungan dengan pelbagai interpretannya, yang memfokuskan perhatian kepada aksi tanda-tanda musikal dalam pikiran manusia yang menerimanya atau lebih jauh dari itu. Isu-isu interpretasi musik dapat dibahagi lagi kepada tiga sub kajian, yaitu: (a) persepsi musik, (b) pertunjukan musik, dan (c) intelektualisasi musik yang merangkumi analisis, kritik, pengajaran, pembuatan teori musik, semiotika musik, dan komposisi.
Memandang kerangka teoretis tersebut di atas, Martinez mendiskusikan beberapa kemungkinan untuk menganalisis musik. Lapangan kajian semiotika musik intrinsik, dalam langkah pertama adalah kualitas musikal atau kualitas tanda. Misalnya berbagai variasi suara vokal manusia dalam berbagai budaya di dunia memperlihatkan pelbagai kualitas musik. Ada perbedaan antara aktivitas musik pada vokal yang dipersembahkan masyarakat Inuit dalam konteks permainan bel canto, musik Hindustani yang disebut khayal, nyanyian pada teater no di Jepang, dan nyanyian para penyanyi griot Afrika. Setiap aktivitas musik yang dilatarbelakangi budayanya ini memiliki kualitas dan makna-makna musikal tersendiri. Kualitas ini tidak saja mencakup wama bunyi (timbral), ritme atau melodi, tetapi juga merangkumi kualitas makna musikal.
Kajian referensi musikal menyangkut aspek hubungan antara tanda dan objek, yang memperjelas kapasiti representasi musikal, yang dapat ditandai sebagai objek-objek akustik atau bukan akustik. Terdapat beberapa makna musik. Salah satu yang fundamental adalah bahwa tanda dan objek menghadirkan sebuah keterhubungan identitas, bahwa tanda musikal adalah mumi sebagai sebuah ikon. Bagaimanapun, musik memiliki kapasistas tanda. Beberapa ahli estetika musik, seperti Eduard Hanslick (1989:61) dan para komposer seperti Pierre Boulez (1986:32), John Cage (1961:96), dan Kostelanetz 1988:200), mengemukakan bahwa estetika musik itu sangat bergantung kepada modus signifikasi. Sehingga ide musik mumi atau musik absolut tak mungkin terwujud dalam membicarakan musik dalam kebudayaan. Setiap tradisi musik di dunia ini memiliki asas dan konsepsi estetika yang berlainan.
Pentingnya mengkaji berbagai tanda ikonik dalam musik. Peirce membagi tanda-tanda ikonik dalam pelbagai imej, diagram dan metafor. Imej adalah ikon yang menghadirkan karakter objek. Contoh musikal ikonik adalah mulai dari suara burung sampai kepada musik sesungguhnya. Dalam analisis semiotika ini, purlu pula bagi para pengkajinya memperhatikan pada aspek metafor. Musik adalah bidang semiotika yang kompleks, yang dapat dikaji melalui berbagai titik pandang.
3.1.2 Semiotika dalam Seni Pertunjukan
Semiotika juga selalu dipergunakan oleh para ilmuwan seni dan budaya di dalam pengkajian teater atau seni pertunjukan. Teater itu sendiri merupakan wahana komunikasi yang begitu kompleks, karena ia melibatkan hubungan antara para pelakon dengan khalayak penonton. Proses menghasilkan makna dalam teater ini tertakluk sepenuhnya kepada sistem-sistem tertentu yang biasanya akan melibatkan gabungan dari pelbagai lambang lisan dan lambang bukan lisan. Sistem ini akan memperbolehkan orang ramai menafsirkan fenomena yag terjadi.
Teater merupakan wahana komunikasi yang kompleks karena ia melibatkan hubungan antara para pelakon dengan khalayak. Proses menghasilkan makna dalam teater, menurut kepada sistem tertentu yang melibatkan gabungan lambang lisan dan lambang bukan lisan. Sistem itu penting untuk membolehkan khalayak menginterpretasi fenomena yang dipaparkan.
Oleh karena seni pertunjukan merupakan media yang unidimensional, satu-satu unit lambang itu tidak boleh berdiri dengan sendirinya untuk menggambarkan sesuatu pesan. Ia harus dilihat sebagai satu gabungan yang menyeluruh dengan lambang-lambang lain dalam konteks tertentu. Misalnya gerak isyarat, mimik muka, dan bahasa digabung dan digunakan serentak untuk menampakkan sesuatu makna secara keseluruhan. Satu lagi contoh ialah penggunaan keris. Bagi masyarakat Melayu, keris bukan saja merupakan senjata untuk mempertahankan diri, tetapi juga melambangkan kekuatan dan kuasa. Jikalau diselitkan di pinggang, keris itu boleh ditafsirkan sebagai lambang kegagahan karena gambaran pakaian seorang wira Melayu dalam masyarakat Melayu tradisional tidak lengkap jikalau tidak ada keris di pinggang. Pemancaran makna keris itu adalah tertakluk kepada cara ia digunakan. Kajian yang menggunakan pendekatan semiotika mengupas segala unsur simbolik yang terdapat dalam sesebuah karya. Dalam hal yang berkaitan dengan keris itu, bukan saja cara pemakaiannya, tetapi rupa bentuknya juga berkaitan dengan kepercayaan dalam masyarakat Melayu.
Mukarovsky (1975) telah memulakan kajian semiotika dalam teater (Elam 1983). Bagi Mukarovsky sesebuah teks pertunjukan merupakan lambang makro yang maknanya hanya dapat difahami dalam rentetan lambang-ambang lain secara keseluruhan. Dalam teater, lambang atau isyarat memberikan makna yang simbolik. Oleh karena semua yang terdapat di atas pentas merupakan lambang (Jiri Veltrusky, dipetik dalam Elam 1983:7), maka segala objek dan perlakuan pelakon di atas pentas harus mempunyai hubungan dengan objek yang dimaksudkan. Ini bermakna, lambang non-literal harus dapat berfungsi seperti yang literal supaya khalayak mampu menafsirkan pesan yang disampaikan. Sesuatu objek mungkin boleh diwakili oleh penggunaan beberapa lambang jika lambang-lambang itu mampu menunjukkan kehadiran objek tersebut (Brusak dipetik dalam Elam 1983:9). Misalnya, lambang-lambang yang dihasilkan melalui pergerakan anggota badan boleh menukarkan seorang pelakon atau penari menjadi benda lain seperti seekor burung garuda yang sedang terbang, sepohon pokok yang bergoyang ataupun seekor gajah yang garang. Disebabkan makna sesuatu lambang tidak sama bagi semua orang, maka terpulang kepada kreativiti pihak sumber untuk memilih lambang yang sesuai untuk menonjolkan pesan yang dikehendaki.
Sifat lambang yang arbitrer menyebabkan penggunaannya dalam teater bebas dan tidak terbatas. Sejauh mana penggunaan lambang-lambang dapat menjelaskan makna sebenar berantung kepada konvensi semantik yang terdapat dalam lambang-lambang yang dipilih. Makna lambang-lambang ditentukan oleh cara perlambangan. Jika lambang yang digunakan jelas hubungannya dengan objek yang diwakilinya, maka jelas makna yang dimaksudkan. Sebaliknya jika hubungan lambang dengan objek atau rujukan tidak jelas, maka akan menjadi kabur. Dengan itu setiap aspek pertunjukan dalam teater seperti setting, perlakuan dan pertuturan pelakon saling bergantungan untuk menyumbang kepada pemaparan makna.
Menurut Elam (1983) tidak ada hubungan yang mutlak antara sesuatu lambang dengan apa yang dilambangkan, karena lambang itu merupakan sesuatu yang dinamik. Pada prinsipnya lambang-lambang yang digunakan di atas pentas boleh digunakan untuk mewakili fenomena apa saja. Misalnya, adegan yang dramatik tidak semestinya digambarkan melalui ruang, seni bina ataupun gambar, tetapi boleh ditunjukkan dengan gerak isyarat (seperti mimos), lisan dan juga kesan bunyi. Makna juga dikaitkan dengan konteks. Sesuatu lambang akan memberikan makna yang lain dalam konteks yang berbeda. Misalnya gerak tari yang meniru gaya burung terbang boleh melambangkan seekor burung. Dalam konteks yang lain gerak itu melambangkan kebebasan. Dalam shamanisme, gerak itu dikaitkan dengan air dan semangat yang hilang (Danaan 1985:50). Dengan kata lain, pergerakan yang menggambarkan seekor burung, mempunyai makna berlainan dalam konteks yang berbeda. Pentas lazimnya merupakan lambang ruang alam. Begitu juga dengan pedang yang selalu digunakan dalam cerita-cerita klasik Inggeris lazimnya dipergunakan untuk menentang musuh. Pada masa yang lain boleh digunakan sebagai pengayuh perahu, dengan hanya menukarkan cara memegangnya. Sifat arbitrari lambang membenarkan pelbagai sistem lambang dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang hampir serupa dengan objek atau pesan yang dimaksud.
Dalam teater, lambang bukan lisan itu terdapat dalam sistem-sistem lambang yang merangkumi ciri-ciri fisik, mimik muka, gerak-geri, sentuhan, artifak, persekitaran serta penggunaan ruang dan masa. Semua ciri ini terdapat dalam tarian. Ini menjadikan tarian sebagai lambang yang penting dalam teater. Selain untuk menarik perhatian khalayak, tarian juga digunakan untuk menyampaikan pesan, karena tarian merupakan himpunan lambang-lambang komunikasi yang kompleks (Hanna 1979:26). Menurut pendapat Hanna, semua tarian mempunyai tujuan. Sekurang-kurangnya tarian berupa hasil pergerakan yang melahirkan gagasan tertentu dengan menggunakan anggota badan sebagai mediumnya. Bagi Hanna (1979:25-26) tarian itu boleh mengatasi kemampuan media audio-visual dalam menyampaikan maklumat kepada khalayak.
De Danaan (1985) yang mengkaji tarian Menghadap Rebab mendapati gerak tari dan lirik dalam lagu tersebut saling melengkapi. Lambang-lambang gerak tari dalam menghadap Rebab menggambarkan “beberapa perengan” penyataan. Integrasi lirik lagu dan gerak tarinya menghasilkan satu penyataan yang lengkap karena lirik menggambarkan pergerakan dan seterusnya pergerakan menampakkan makna pada lirik. Menurut Danaan (1985) hubungan antara lirik dengan pergerakan dalam tarian Menghadap Rebab sangat rapat. Sukar bagi seseorang untuk memahami pesan dalam tarian tersebut jika tidak meneliti gerak tarian dan lirik lagunya.
Tarian dalam teater tidak semestinya diiringi oleh nyanyian atau sebaliknya. Ada kalanya dalam tempat tertentu, hanya tarian digunakan untuk menyatakan sesuatu. Dalam hal ini pergerakan ekspresif dalam tarian itu digunakan sepenuhnya sebagai medium komunikasi. Pergerakan bukan saja menampakkan nilai estetika, tetapi juga membawa pesan tertentu sebagai menggantikan perkataan (Russel 1958:21; Wigman 1966:10; Hanna 1979:25; dan Laban 1988:85).
Semiotika juga sentiasa dipergunakan dalam mengkaji lagu dan tari. Dengan menuruti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luamya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make-up, gaya rambut, kostium, properti, setting, lighting, musik dan efek suara.
3.1.3 Teori Fungsionalisme
Untuk mengkaji sejauh apa fungsi komunikasi dalam senipertunjukan, serta bagaimana fungsi lagu dan tari dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara, penyelidik menggunakan teori fungsionalisme. Mengiku Lorimer et al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa bada ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekad 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada masayarakat bukan Barat. Sejak dekad 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer et al. 1991-112-113).
Dalam bidang komunikasi, ada beberapa pakar yang mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi menurut keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi. Lantaran itu fungsi komunikasi boleh dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik dan metalinguitik yang berkaitan dengan bahasa (Ajid Che Kob 1991:16). Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan dan (4) untuk menghibur orang lain.
Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini menerimanya, yang kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Akhirya isi komunikasi itu akan dibalas oleh penerima, boleh jadi dalam bentuk perilaku, respons, dan lainnya. Pemberitahuan ini sangat penting dalam konteks sosial kemasyarakatan. Misalnya orang yang diberitahu bahwa salah seorang warganya meninggal dunia, melalui saluran komunikasi, seperti dalam bentuk lisan atau bukan lisan seperti bunyi bedug dengan pukulan dan irama tertentu, atau lambang-lambang, seperti bendera merah atau hijau di depan rumah, dan lainnya. Akibatnya penerima komunikasi akan menafsir pesan komunikasi dalam bentuk lisan dan bukan lisan tadi, kemudian datang bertakziah ke tempat warganya yang meninggal dunia.
Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhimya masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan.
Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau memujuk khlayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat boleh diubah, dari satu pandangan ke pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut stadar norma-norma sosial. Dalam konteks bemegara misalnya, pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan boleh dipujuk untuk menuruti ideologi yang selari dengan negara. Dalam konteks ini umumnya suatu kabinet di dalam negara, membentuk departemen komunikasi, informasi atau penerangan. Matlamat utamanya adalah memujuk masyarakat bangsa itu untuk menurut ideologi dan program-program pembangunan yang dianut dan dilaksanaka oleh kerajaan.
Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi, yang memang dalam konteks sosial diperlukan. Fungsi komunikasi sebagai sarana hiburan ini akan dapat membantu seseorang atau sekumpulan orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat berupa rasa simpati sumber kepada penerima. Bentuknya boleh saja seperti ungkapan verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima komunikasi, atau juga seperti bernyanyi, bermain musik, melucu dan lain-lainnya. Dengan demikian, melalui komunikasi terjadi hiburan, yang juga melegakan diri dari himpitan dan tekanan sosial.
Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru besar dalam ilmu sastera Slavik. Jadi tiadalah menghairankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman.
Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan ia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu ghaib, yang menyebabkan ia menjadi tertarik kepada ilmu etnologi. Ia melanjutkan belajar ke London School of Economics, tetapi karena di Perguruan Tinggi itu tak ada ilmu folklor atau etnologi, maka ia memilih ilmu yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empirikal. Gurunya ahli etnologi, yaitu C.G. Seligman. Tahun 1916 ia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai ganti disertasi, yaitu The Family among the Australian Aborigines (1913) dan The Native of Mailu (1913). Kemudian ia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian tahun 1914. Sehabis perang dunia pertama pada tahun 1918, ia pergi ke Inggeris karena mendapat pekerjaan sebagai asisten ahli di London School of Economics.
Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Caims dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam syarahan-syarahannya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry 1957:82), yaitu:
- Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
- Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat;
- Fungsi sosial dari suau adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhaap ilmu psikologi juga tampak ketika ia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana ia berteu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan-ulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau leaming theory, ini sangat menrik perhtian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan.
Seperti telah diuraikan di atas, saat Malinowski julung kali menulis karangan-karangannya tentang pelbagai aspek masyarakat orang Trobiand sebagai kebulatan, ia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-usur kebudayaan manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan leaming theory sebagai asa, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit selepas ia meninggal dunia. Bukunya bertajuk A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenamya bremaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keperluan naluri makhluk manusia yang berhubungkait dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu usur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan; ilmu pengetahan juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human needs itu. Dengan faham ini, kata Malinowski, seseorang penyelidik boleh mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.
Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Melinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam artikel bertajuk “The Group and the Individual in Functional Analysis”, dalam jumal American Joumal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-964. Dalam artikel ini Malinowski beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan yang telah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bahagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan asas atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan asas yaitu keperluan sekundari dari para warga suatu masyarakat. Keperluan pokok atau asas adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan asas itu. Untuk memenuhi keinginan asas ini, muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan sekundari yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang memenuhi keinginan akan makanan menimbulkan keinginan sekundari yaitu keinginan untuk kerja sama dalam mengumpulkan makanan atau yang untuk diproduksi. Untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhimya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi keinginan asas para warga masyarakat.
Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah nilai praktikal yang penting. Pengertian nili praktikal ini dapat dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarakat primitif. Ia menjelaskan sebagai berikut: “nilai yang praktis dari teori fungsionalisme ini adalah bahwa teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka ragam; bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial dan oleh mereka yang secara ekonomi mengekploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif.” (Malinowski 1927:40-41).[2]
Selain Malinowski pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi lainnya adalah Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Seperti Malinowski, ia mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justeru timbul untuk mempertahankan strukur sosial masyarakat. Struktur sosial sesebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown 1952).
Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor perkahwinan, yang terdapat dalam pelbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya orang beripar atau berbesanan. Ia menjelasnkan bahwa masyarakat boleh melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan betemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik antara anggota keluarga dapat dihindarkan dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga solidaritas sosial masyarakatnya.
Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalisme struktural adalah sulitnya menentukan apakah suatu kebiasaan tertentu pada kenyataannya berfungsi dalam erti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat. Dalam biologi, bagaimana sumbangan dari suatu organ terhadap kesihatan tubuh manusia atau kehidupan hewan dapat dinilai dengan mencuba menghilangkan organ tersebut misalnya. Namun kita tidak boleh meniadakan sesuatu unsur kebudayaan masyarakat untuk melihat apakah unsur itu memberi jasa dalam pemeliharaan struktur masyarakatnya. Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu tidak akan ada kaitan apa pun dengan pemeliharaan struktur masyarakat atau mungkin bahkan merugikan. Kita tak boleh mengadakan asumsi, bahwa semua kebiasaan dalam sesebuah masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat pada masa itu ada dan beraktivitas. Seandainya pun kita berhasil menilai apakah sebuah kebiasaan tertentu berfungsi, namun orientasi teoretikal ini tak kan berhasil memberikan penjelasan mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan keperluan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentu saja sesebuah masalah tertentu tidak semestinya dipechkan menurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa dipilih satu cara dari sekian cara atau altematif yang ada.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, khususnya yang mengkaji fungsi komunikasi dalam lagu dan tari Melayu Sumatera Utara, maka teori fungsionalisme dipergunakan untuk mengkaji bagaimana fungsi komunikasi memenuhi keinginan masyarakat Melayu akan komunikasi antara sesama mereka. Komunikasi ini berasas dari teori fungsionalisme Malinowski dan Radcliffe-Brown. Menurut Malinowski komunikasi melalui lagu dan tari Melayu Sumatera Utara wujud karena komunikasi diinginkan oleh masyarakatnya, untuk menyampaikan berbagai keperluan sosial, seperti pendidikan, tukar-menukar informasi, memberikan hiburan, mengubah pandangan, integrasi masyarakat dan lainnya. Sementara kalau menurut teori fungsional dan struktural Radcliffe-Brown komunikasi dalam lagu dan tari Melayu Sumatera Utara berfungsi untuk menjaga turai atau struktur sosial, karena dalam lagu dan tari terkandung ajaran-ajaran dan norma-norma sosial adat Melayu yang dipegang kukuh oleh orang Melayu dari generasi ke generasi. Struktur sosial masyarakat Melayu ini termasuk di dalamnya aspek hubungan bangsawan dan rakyat kebanyakan, antara yang tua dan muda, begitu juga pertuturan seperti ayah, emak, oyang, piut; urutan generasi seperti ulong, andak, ngah, icik, uncu dan seterusnya.
3.1.4 Teori Evolusi
Selain itu dalam seni dipergunakan pula teori evolusi. Pada dasamya. teori evolusi menyatakan bahwa unsur kebudayaan berkembang sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu, dari yang berbentuk sederhana menjadi lebih. kompleks. Teori ini dalam kesenian banyak digunakan untuk mengkaji sejarah seni. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Wan Abdul Kadir dari Malaysia dalam tulisannya. yang bedudul Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran (1988), yang mengkaji perkembangan kebudayaan Melayu dari masa kerajaan Melayu Melaka sampai akhir Perang Dunia Kedua‑‑yaitu. terdiri dari masa Kerajaan Melayu Melaka 1400‑an berkembang ke masa pendudukan Pulau Pinang oleh Inggris tahun 1786, pembukaan Singapura 1819, Pemerintahan Kolonial sampai 1874, 1880‑an pertumbuhan teater bangsawan, 1908 film, 1914 piringan hitam, 1930 film Melayu, dan 1930‑an radio. Wan Abdul Kadir melihat perkembangan budaya masyarakat Melayu dari yang sederhana ke yang lebih kompleks dalam batasan waktu tahun 1400‑an sampai pertengahan abad ke‑20 dan berdasarkan penemuan teknologi baru.
3.1.5 Teori Difusi
Teori difusi juga dipergunakan dalam mengkaji seni. Pada prinsipnya, teori ini mengemukakan bahwa suatu kebudayaan dapat menyebar ke kebudayaan lain melalui kontak budaya. Karena teori ini berpijak pada alasan adanya suatu sumber budaya, maka ia sering ~isebut juga dengan teori monogenesis (lahir dari suatau kebudayaan). Lawannya adalah teori poligenesis, yang menyatakan bahwa beberapa kebudayaan mungkin saja memiliki persamaan‑persamaan baik ide, aktivitas, maupun benda. Tetapi sejumlah persamaan itu bukanlah menjadi alasan adanya satu sumber kebudayaan. Bisa saja persamaan itu muncul secara kebetulan, karena ada unsur universal dalam diri manusia. Misalnya bentuk dayung perahu hampir sama di mana‑mana di dunia ini. Namun itu tidak berarti bahwa ada satu sumber budaya pembentuk dayung perahu. Teori ini banyak dipergunakan oleh para pengkaji seni yang mencoba mencari adanya sebuah sumber budaya. Dalam kajian seni, misalnya sebagian besar peneliti percaya bahwa zapin berasal dari Yaman. Hal ini didukung oleh fakta‑fakta sejarah dan persebaran kesenian ini ke berbagai kawasan di Nusantara.
3.1.6 Teori Siklus Kuint dan Lainnya
Dalam mengkaji timbulnya tangga nada di dunia ini, para etnomusikolog telah mencapai tahap generalisasi, dengan menggunakan teori siklus kuint (overblown fifth). Dari bahan‑bahan sejarah di China ditemui bahwa untuk membentuk sebuah tangga nada, seorang rajanya bemama Huang Ti memerintahkan memotong bambu dalam ukuran‑ukuran tertentu berdasarkan siklus interval kuint dengan rasio matematis 3/4 dan 2/3. Di Yunani‑Romawi, India, serta Timur Tengah, tangga nada diturunkan dari alat‑alat musik bersenar dengan membagi rasio panjangnya senar. Sehingga didapati tangga nada heptatonik (7 nada) yang dibagi ke dalam dua tetrakord (kumpulan empat nada tangga nada). Tangga nada jenis ini dianalisis dalam teori devisif. Para pengkaji seni yang meminati upacara‑upacara terutama kematian, selalu menggunakan teori rites de passages yang ditawarkan oleh antropolog Van Gennep. Bahwa sebuah kematian manusia adalah dalam kondisi transisi dari suatu dunia ke dunia lain.
Para etnomusikolog juga dalam mengkaji struktur musik sering menggunakan teori kantometrik, yaitu sebuah teori "general" untuk melihat bagaimana struktur umum budaya musik yang diteliti melalui 37 jenis parameter dimensi ruang dan waktu dalam musik. Selain itu juga dipergunakan teori weighted scale, yang melihat unsur‑unsur pembentuk ,melodi, seperti: tangga nada, wilayah nada, jumlah nada , interval, kontur, formula, dan lainnya.
Para etnolog tari, dalam mcngkaji struktur tari juga selalu menggunakan teori koreometrik, yang sama dasamya dengan kantometrik namun dipergunakan untuk mengkaji struktur tari. Unsur‑unsur tari yang dibahas di antaranya: waktu, ruang, dan tenaga.
Selain dari teori‑teori ilmu sosial dan humaniora dalam kajian seni tak kalah pentingnya juga dipergunakan teori‑teori dalam ilmu eksakta. Misalnya untuk mendeskripsikan pengecoran dalam pembuatan alat‑alat musik,. dipergunakan teori reduksi oksidasi (redoks) dan sejenisnya dari ilmu kimia. Atau untuk menguji aspek akustik dan timber bunyi alat‑alat musik, biasanya dipergunakan disiplin fisika gelombang. Salah satu karya monumental di bidang akustik musik adalah karya John Backus yang berjudul The Acoustical Foundation ofMusic (1977).
Teori‑teori yang dipergunakan dalam mengkaji seni akan terus berkembang, scsuai dengan perkembangan pcradaban manusia di muka bumi ini. Dengan demikian, seniman dan ilmuwan seni terus ditantang untuk mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan umat manusia secara umum atau secara khusus kelompoknya.
Temyata ilmu‑ilmu pertunjukan budaya umumnya cenderung untuk memakai pendekatan multidisiplin atau interdisiplin. Orang‑orang seni juga terbatas pengetahuannya berdasarkan latar belakang dan minat kajiannya. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih luas tentang teori dan metodemetode ilmu‑ilmu sosial, humaniora, dan eksakta, terutama yang dapat mengambangkan ilmu‑ilmu seni pertunjukan budaya. Abad ke‑21 adalah abad persaingan dan kemitraan sekaligus. Hanya mereka yang mampu mengkaji, mengarahkan, menerapkan kebudayaan dilandasi jiwa religiositas yang akan. mampu menjawab tantangan jaman dan menjadi masyarakat madani. Untuk itu marilah kita terus belajar sesuai dengan ilmu yang kita miliki, sambil mempelajari ilmu‑ilmu lain‑‑tidak tedebak dalam cabang ilmu secara sentris. Insya Allah.
4. Metodologi
Masalah metodologi penelitian dalam ilmu pengetahuan seni, adalah tidak jauh berbeda dengan metodologi penelitian bidang-bidang sains lainnya—meskipun dalam aplikasinya selalu merujuk kepada konteks, latar belakang masalah, dan tujuan penelitian. Sebelum seorang penyelidik bidang-bidang seni tertentu melakukan aktivitinya, sebaiknya ia mengenal dengan baik sains yang melingkupi kajian seni. Begitu juga dengan berbagai pendekatan, dan konsep-konsep peristilahan yang lazim digunakan dalam konteks kajian seni. Ilmu pengetahuan yang membidangi kajian seni dalam sejarah perkembangan sains juga relatif baru, meskipun seni itu sendiri sama tuanya dengan eksistensi manusia. Di antara sains seni itu adalah: etnomusikologi, antropologi teater, etnokoreologi, kajian seni pertunjukan, musikologi, media rakam dan seni rupa (tampak).
Metodologi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek: teoretikal, konseptual, metode dan teknikal, terutama yang umum dipergunakan dalam sains-sains kesenian. Konsep metodologi seperti itu, selari pula dengan pendapat Gorys Keraf sebagai berikut.
Yang dimaksud dengan metodologi di sini adalah kerangka teoretis yang dipergunakan oleh penulis untuk menganalisa, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi itu. Kerangka teoretis atau kerangka ilmiah merupakan metode-metode ilmiah yang akan diterapkan dalam pelaksanaan tugas itu. Melalui metode-metode yang digunakan, penerima usul dapat menilai apakah dapat diharapkan hasil yang memuaskan atau tidak pada tempat, dan kondisi tertentu.
Di lain pihak penerima usul akan mendiskusikan semua tawaran yang masuk pertama-tama dengan menilai kerangka teoretis yang disarankan untuk digunakan. Semakin komprehensif metodologi yang diusulkan untuk mengerjakan masalah yang dihadapi itu, semakin akan meyakinkan penerima usul. Masalah biaya dan sebagainya dapat dimasukkan dalam pertimbangan kedua (Keraf 1984:310-311).
Jadi metodologi berhubungkait dengan masala teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan penelitian. Berbeda dengan metode yang maknanya sealu dikaitkan dengan masalah-masalah teknikal. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam meneliti fungsi dan bentuk komunikasi lagu dan tari Melayu Sumatera Utara, adalah seperti yang diperturunkan berikut ini.
4.1 Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan yang dimaksud di sini adalah kegiatan yang dilakukan penyelidik, yang berkaitan dengan pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari pengamatan, wawancara (temu bual) dan perakaman.
(1) Pengamatan yang dilakukan adalah secara langsung, yaitu melihat langsung pertunjukan lagu dan tari Melyu Sumatera Utara. Tujuan observasi ini adalah untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan pengamatan dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial. Berasaskan jenisnya, maka observasi yang selalu digunakan dalam penelitian seni adalah partisipasi pengamat sebagai pertisipan (insider) yaitu sebagai anggota masyarakat yang ditelitinya walau harus tetap menjaga jarak. Menurut S. Nasution (1989:123) keuntungan cara ini adalah penyelidik merupakan bagian yang menyatu dari keadaan yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi keadaan itu dalam kewajarannya.
(2) Wawancara. Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui pengamatan tersebut (seperti konsep-konsep etnosainsnya tentang estetika), penyelidik seni biasanya melakukan wawancara. Dalam kaitan ini yang dilakukan adalah wawancara yang sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu (Koentjaraningrat 1980:139). S. Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut. Berdasarkan fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik dan (c) penelitian. Berdasarkan jumlah respondennya: (a) individual dan (b) kelompok. Berdasarkan lamanya wawancara: (a) singkat dan (b) panjang. Berdasarkan penanya dan responden: (a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non-direktif atau client centered dan (b) tertutup, berstruktur (S. Nasution 1989:135).
4.2 Metode Transkripsi
Dalam sains-sains seni, transkripsi dan analisis merupakan bagian dari kerja laboratorium (makmal). Meskipun demikian, pentraskripsian bunyi musik atau gerak tari dapat dilakukan di lapangan pada saat melakukan penelitian. Namun, dalam konteks pertunjukan, transkripsi secara langsung tentu lebih sulit dilakukan--terutama karena terbatasnya waktu yang dipergunakan untuk mentranskripsi, sehingga akan menghasilkan transkripsi yang sulit dipertanggungjawabkan ketepatannya. Oleh itu, penyelidik sebaiknya mencatat hal-hal yang dapat mendukung transkripsi di makmal nantinya, pada saat rekaman langsung di lapangan. Seperti mencatat nama, posisi, dan teknik pemain, seperti: teknik memukul gendang, improvisasi, cara masuk, cara membentuk tekstur, daerah tumpuan pukulan onomatopeik gendang, tenaga, gerak, pola lantai, improvisasi dan sejenisnya.
Transkripsi merupakan pencatatan (notasi) bunyi musik atau gerak-geri tari yang dihasilkan seseorang atau sekelompok pemusik atau penari, ke dalam bentuk lambang-lambang atau gambaran tertentu. Pada asasnya, secara kasar bentuk-bentuk notasi musik dapat dikelompokkan kepada dua jenis: (1) notasi tablatura dan (2) notasi grafik. Notasi tablatura merupakan cara pencatatan bunyi musik atau gerak tari yang diwujudkan ke dalam bentuk simbol, dengan tidak mewujudkan lintasan gerakan naik turunnya frekuensi nada. Contoh notasi ini adalah nota angka Barat, yang pada awalnya diperkenalkan oleh Guido de Arrezo dan Cheve tahun 1850. Contoh lain adalah nota dalam musikologi Jepang, untuk nada-nada G, A, C, D, E, dan G', ditulis dengan simbol ( ). Juga dalam musik Jawa dikenal sistem notasi kepatihan dan sari swara yang mempergunakan angka-angka Arabik. Nota grafik merupakan sistem pencatatan bunyi musik yang diwujudkan ke dalam bentuk simbol dengan menuruti lintasan gerak naik turunnya frekuensi nada atau lintasan melodi (melodic line). Contoh notasi seperti ini adalah notasi balok (noten balk) Barat. Disadari bahwa selain kelebihannya, notasi balok juga mempunyai kekurangan-kekurangan (Nettl 1946:33).
Menurut Nettl, kenyataan menunjukkan bahwa beberapa ritme dan tangga nada dari tradisi non-Barat tidak selalu cocok dengan sistem notasi Barat--sehingga agak menyulitkan untuk memproduksi ulang kembali ke dalam notasi konvensional. Beberapa pentranskripsi menambah simbol-simbol khusus dari notasi konvensional tersebut, dengan simbol yang diinginkan, sesuai dengan suara yang dihasilkan. Misalnya interval yang lebih besar dari setengah langkah ditambahi tanda "tambah" atau yang lebih kecil ditambahi tanda "kurang" di atas notnya (Nettl 1946:31).
Untuk mendapatkan hasil transkripsi yang akurat dan objektif, dapat dipergunakan berbagai-bagai mesin yang dapat mengukur nada dan mentranskripsi musik, seperti monokord--yaitu sebuah senar yang diregangkan di atas sebuah vibrator yang mempunyai skala. Monokord ini mula-mula diperkenalkan oleh Jaap Kunst, yang selanjutnya dijadikan dasar cara bekerjanya osiloskop dan komputer, alat yang lebih peka mentranskripsi bunyi musik.
Dalam menotasikan gerak tari, umumnya penyelidik mempergunakan notasi Laban. Menurut Hutchinson tujuan notasi Laban adalah: (1) sebagai makna komunikasi intemasional, (2) ekuivalen terhadap notasi musik, (3) preservasi koreografi, (4) membantu teknologi filem, (5) peralatan pendidikan gerak, (6) untuk mengembangkan konsep-konsep gerak, (7) latihan dalam mengamati gerak, (8) peralatan untuk meneliti gerak, (9) pengembangan profesi baru dan (10) pendirian perpustakaan tari (Hutchinson 1990: 6-10).
Selanjutnya dalam kaitannya mengkaji tari, menurut Soedarsono tampaknya orang merasa perlu menggunakan notasi tari setelah disadari betapa pentingnya sarana dan wahana ini bagi preservasi bentuk tari. Notasi ini diharapkan dapat menolong mengungkapkan kembali tari-tari pada masa lampau (Soedarsono 1986:34).
Assuming that we include dance as a proper subject for anthropological investigation then we must insist that dance study conform the same standards and procedures that anthropologists use in studying other aspects of human kind. Structure views dance from the pesrpective of form, function from the perspective of context and contribution to context. ... Europeans emphasized form and the Americans function. The desirability of marrying structure and function (Royce1980:37).
Diasumsikan bahwa kita memasukkan tari sebagai suatu subjek studi yang pantas untuk penelitian pakar antropologi. Sementara itu kita harus menegaskan bahwa studi tari menyesuaikan diri dengan beberapa penggunaan prosedur dan standar yang dilakukan para pakar antropologi dalam melakukan studi aspek-aspek manusia lainnya. Struktur melihat tari dari perspektif bentuk, fungsi dari perspektif konteks dan sumbangan terhadap konteks. Orang-orang Eropa lebih menekankan studi terhadap bentuk dan orang-orang Amerika lebih menekankan studi terhadap fungsi, yang diinginkan adalah mengawinkan antara struktur dan fungsi.
4.3 Metode Penelitian
Menurut Merriam dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metod lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, meliputi dasar-dasar teoretis yang menjadi acuan bagi teknik penelitian lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai-bagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam 1964:39-40).
Selain itu dalam penelitian seni dikenal metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada hakekatnya bertujuan untuk mencari makna-makna yang terkadung dari kegiatan atau artifak tertentu. Selanjutnya peneltian kuantitatif biasanya bertujuan untuk mengukur fenomena yang ada berdasarkan rentangan-rentangan kuantitas tertentu. Sejauh pengamatan penulis, kajian seni lebih banyak didekati oleh metode kualitatif, walaupun demikian bukan berarti metode kuantitatif tidak diperlukan dalam mengkaji seni.
Yang perlu difahami adalah kedua metode digunakan cocok untuk membahas permasalahan apa. Misalnya untuk mengkaji seberapa banyak degradasi jumlah ronggeng Melayu di Sumatera Utara, tentu metode yang cocok adalah metode kuantitatif. Sebaliknya untuk mengetahui sejauh mana makna semiotis yang ingin dikomunikasikan seniman dalam pertunjukan guro-guro aron, tentulah lebih cocok didekati dengan metode kualitatif. Dalam konteks penelitian tertentu, bahkan kedua-dua metode diperlukan.
Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif berdasarkan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam aliran Chicago, di bidang disiplin antropologi sebagai berikut.
QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to studycustoms and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln 1995:1).
Lebih jauh Nelson mentrakrifkan menegnai apa itu penelitian kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang diperturunkan berikut ini.
Qualitative research is an interdisiplinary, transdisi-plinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).
Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kumpulan penyelidik. Penelitian ini melibatkan berbagai-bagai jenis disiplin, sama ada dari ilmu kemanusiaan, sosial ataupun ilmu alam. Para penyelidiknya percaya kepada perspektif naturalistik, serta menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai-bagai nilai etika posisi politik. Namun demikian, penelitian seni dengan metode kualitatif juga selalu melibatkan data-data yang bersifat kuantitatif. dengan melihat kepada pemyataan S. Nasution bahwa setiap penelitian (kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan. Untuk itu diperlukan desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data, (e) cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya menggunakan statistik, (g) cara mengambil kesimpulan dan sebagainya (Nasution 1982:31).
Dengan demikian, untuk mengkaji seni secara ilmiah, diperlukan teori-teori dari berbagai bidang disiplin ilmu, baik ilmu humaniora, sosial, maupun eksakta. Sejalan dengan perkembangan zaman, sudah selayaknya teori-teori yang dipergunakan dalam rangka mengkaji seni terus dikembangkan baik secara intensif maupun secara ekstensif. Sesuai dengan filsafat ilmu-ilmu seni, bahwa tujuan akhir mengkaji seni adalah mengapa manusia pelaku dan pendukung seni itu menghasilkan kesenian yang sedemikian rupa. Kajian kesenian bukan hanya sampai pada bagaimana struktur seni itu dihasilkan manusia.
Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian
Adler, Mortimer J. et al. (eds.) Encyclopaedia Britannica (Vol. XII).(Chicago: Helen Hemingway Benton).
Adshead, Janet 1988 Dance Analysis: Theoy and Practice.London: Dance Book.
Aston, Elaine dan George Savona 1991 Theatre as Sign‑System:A Semiotics of Text and Performance. London dan New York.‑ Routledge. (Dalam buku ini termuat analisis semiotis teater olch Tadeus Kowzan dan Patrice pavis).
Backus, John 1977 The Acoustical Foundation of Music. New York: W.W. Norton Company.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.) 1995 Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.
Edwards, Paul et at. (eds.) 1967 The Encyclopedia ofPhilosophy (vol. I dan 2), New York dan London: Collier Macmillan Publisher.
Kadir, Wan Abdul 1988 Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Banduran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Ul Press.
Kunst, Jaap, 1959. Ethnomusicology (edisi ke‑3). The Hague: Martinus Nijhoff.
Kurath, Getrude Prokosch, 1986. Century of Dance Research. Arizona: Cross Cultural Dance Research.
List, George 1962, "Ethnomusicology in Higher Education." Music‑Joumal. 20:20.
Wachsman, K.P. 1967, "Music." Joumal of the Folklore Institute. 6:164‑191.
Marckward, Albert H. et al. (eds.)Webster Comprehensive Dictionary (Vol. 2). Chicago: Ferguson.
Merriam, Alan P. 1966, The Anthropology of Music. Chicago: North Westem University Press.
Murgiyanto, Sal. 1995, "Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan." Seni Pertunjukan Indonesia, JumalMasyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Sadie, Stanley (ed.). 1980, The New Grove Dictionary Music and Musicians. London: Macmillan.
Schechner, Richard. 1980, The End ofHumanism: Writing on Performance. New York: PAJ Publication.
Suriasumantri, Yuyun S. 1983, Rmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Tumer, Victor. 1980, From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play. New York: PAJ Publication.
Tumer Victor dan Edward M. Bruner (eds.)The Anthropology of Performance. Urbana dan Chicago: University Illinois.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
CATATAN AKHIR
[1]Dalam bahasa Indonesia kata philosophy dalam bahasa Inggeris selalu dipadankan dengan kata filsafat. Sementara dalam bahasa Melayu Malaysia kata ini lebih sering dipadankan dengan kata falsafah. Ahli filsafat sering disebut dengan filosof padanan dari kata philosopher dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Melayu Malaysia sering disebut dengan filosof.
[2]Keberatan utama terhadap teori fungsionalismenya Malinowski adalah bahwa teori ini tidak dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginan-keinginan yang diidentifikasikannya, sedikit banyak bersifat universal, seperti keinginan akan makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori fungsionalisme memang dapat menerangkan kepada kita bahwa semua masyarakat menginginkan pengurusan soal mendapatkan makanan, namun teori ini tak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap mesyarakat berbeda pengurusannya mengenai pengadaan makanan mereka. Dengan kata lain teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa pola-pola kebudayaan tertentu timbul untuk memenuhi suatu keinginan manusia, yang sebenamya boleh saja dipeuhi dengan cara yang lain yang boleh dipilih dari sejumlah altematif dan mungkin cara itu lebih mudah.