GAMBARAN UMUM SUKU-SUKU BANGSA
DI INDONESIA DALAM KONTEKS RAS DAN
WILAYAH BUDAYA AUSTRONESIA
Pengenalan
Tentu anda pernah mendengarkan lagu Rhoma Irama yang menceritakan tentang keberadaan penduduk Indonesia, yang beraneka suku bangsa serta begitu besar jumlahnya. Lagu karya beliau ini, secara komunikasi, ingin menyampaikan pesan pentingnya nasionlaisme kita sebagai satu bangsa. Kenyataan bahwa mengurus bangsa yang besar dengan segala macam masalah besar bukan hal yang mudah. Lagu ini diciptakan pada dasawarsa 1980-an.
Seratus tiga puluh lima juta penduduk Indonesia,
Terdiri dari banyak suku bangsa itulah Indonesia,
Ada Jawa, ada Batak, ada Sunda dan ada lagi
yang lainnya
Cuplikan lagu yang digubah Rhoma Irama tersebut menggambarkan bagaimana Indonesia ini dihuni oleh berbagai macam kelompok etnik atau lazim disebut suku bangsa, atau kadang suku saja. Selain itu banyak juga lagu-lagu nasional Indonesia menggambarkanakan keanekaagaman suku bangsa dan kekayaan serta keindahan alamnya. Misalnya lagu kebangsaan Indonesia Raya, teksnya menggambarkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia untuk kejayaan Indonesia. Kemudian lagu Rayuan Pulau Kelapa menggambarkan betapa indah dan makmurnya negeri ini. Semua ini menggambarkan betapa mereka memiliki jiwa persatuan dan kesatuan untuk membangun Indoensia yang sejahtera berdasarkan keadilan.
Sementara itu, penyebutan suku-suku bangsa di Indonesia ini ada yang umum saja misalnya suku bangsa Batak, suku bangsa Aceh, suku bangsa Kalimantan, dan seterusnya. Namun di sisi lain, suku-suku bangsa ini bisa juga disebut lebih khusus lagi. Contohnya suku bangsa Aceh terdiri lagi dari suku-suku bangsa: Alas, Gayo, Simeuleu, Aceh Rayeuk, Tamiang, Aneuk Jamee, dan seterusnya. Suku bangsa Batak terdiri dari: Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak Toba, Mandailing, Angkola, dan seterusnya. Selain itu ada pula suku-suku bangsa ini yang setelahberinteraksi selama ratusan tahun membentuk kebudayaan dan kelompok etnik atau suku bangsa sendiri, misalnya etnik Pesisir di Sumatera Utara yang secara keturunan atau garis darah adalah nenek moyangnya berasal dari suku bangsa Batak Toba, Angkola, Mandailing, dan Minangkabau. Mereka menggunakan adat sumando, namun berasaskan sistem garis keturunan dari pihak ayah (patrilineal). Bahasa yang digunakan adalah dekat dengan bahasa Minangkabau. Adat yang dibunakan berdasar kepada konsep adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan kitabullah. Artinya adat berdaarkan kepada agama Islam.
Pengelompokkan suku bangsa atau etnik ini juga sifatnya adalah lentur dan relatif. Misalnya saja, orang-orang suku bangsa apa pun dari Indonesia, seperti Bugis, Makasar, Bawean, Sunda, Minangkabau, Aceh, ketika hijrah ke Malaysia mereka kemudian disebut sebagai suku bangsa atau bangsa Melayu. Dalam hal ini suku bangsa Melayu dapat disetarakan dengan suku bangsa China dan India yang juga bermukim dan menjadi warga negara Malaysia. Apalagi istilah Melayu ini sering juga digunakan sebagai mengidentifikasikan mereka secara ras dan kebudayaan yang dipergunakan. Namun demikian, secara keilmuan marilah kita lihat bagaimana ilmuwan antropologi budaya memandang ras, suku bangsa, wilayah budaya, dan sejenisnya dalam konteks Indonesia dan sekitarnya.
Ras
Dalam ilmu antropologi, ras (race) mendapat perhatian dari para ahlinya. Yang dimaksud dengan ras adalah ciri-ciri umum fisik manusia. Misalnya ras Kaukasoid, bermata biru, berkulit putih, ukuran badan yang relatif besar, dan seterusnya. Ras Mongoloid, berkulit sampai sawo matang, ukuran badannya relatif sedang, berambut hitam lurus, bundaran biji mata hitam, dan seterusnya.
Berasaskan kajian-kajian para pakar ilmu antropologi, ras di dunia ini dibagi ke dalam 10 kelompok. (1) Yang pertama adalah ras Kaukasoid, terdiri dari: Indo-Iranian, Mediteranian, Dinarian, Alpin, Nordik, Baltik, Uralik, dan Armenik. (2) Kedua adalah ras Mongoloid yang terdiri dari: Mongoloid Tenggara (Malayan Mongoloid), Mongoloid Siberia Selatan, Mongoloid Asia Timur (Classic Mongoloid), Mongoloid Asia Utara, Mongoloid Kutub (Arctic Mongoloid, atau disebut juga Classic Mongoloid, bersama dengan Mongoloid Asia Timur minus orang Tionghoa), dan Mongoloid Amerika. (3) selanjutnya ras Negroid yang terdiri atas: Negroid Umum, Nilote, dan Negrito (di Afrika, Andaman, dan Filipina). (4) Ras Australoid yang terdiri dari: Australoid Khusus dan Weddoid. (5) Kelima adalah ras Polynesia. (6) Keenam adalah Ras Melanesia. (7) Yang ketujuh adalah Ras Mikronesia. (8) Kedelapan ras Ainu yang ada di Jepang. (9) Kesembilan adalah ras Dravida di India Selatan, dan (10) adalah ras Bushmen.
Dalam konteks Indonesia atau Asia Tenggara pada umumnya, masyarakatnya memiliki ras Mongoloid Melayu. Namun seiring datangnya migrasi dari China ke wilayah ini ada juga mereka yang memiliki ras Mongoloid Asia Utara dan Timur. Sementara untuk wilayah budaya Papua mereka memiliki ras Melanesoid. Kadang orang-orang Indonesia secara umum disebut rasnya ras Melayu Tua dan Melayu Muda. Di mana istilah ini merujuk keada gelombang migrasi mereka dari daratan Asia Tenggara ke Indonesia. Ras Melayu Tua migrasi lebih dahulu, baru disusul oleh ras Melayu Muda.
Dalam penelitian-penelitian kebudayaan, terjadi penggunaan istilah-istilah yang agak berbeda antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmulainnya. Misalnya dalam ilmu linguistik kelompok ras Mongoloid Melayu dan kelompok as Polinesia sering disatukan, karena secara linguistik mereka memiliki hubungan-hubungan baik dari kosa kata struktur gramatik, semantik, sintaksis dan lainnya. Sehingga mereka disebut keluarga ras Melayu-Polinesia. Dalam ilmu arkeologi pula kelompok ras Mongoloid Melayu dan ras Polinesia, sering disebut dengan kelompok ras Melayu-Austronesia, karena adanya berbagai alur budaya yang sama dalam artifak-artifak yang mereka tinggalkan.
Peta 1.
Persebaran Rumpun Bahasa-bahasa Austronesia
Tentu anda pernah mendengarkan lagu Rhoma Irama yang menceritakan tentang keberadaan penduduk Indonesia, yang beraneka suku bangsa serta begitu besar jumlahnya. Lagu karya beliau ini, secara komunikasi, ingin menyampaikan pesan pentingnya nasionlaisme kita sebagai satu bangsa. Kenyataan bahwa mengurus bangsa yang besar dengan segala macam masalah besar bukan hal yang mudah. Lagu ini diciptakan pada dasawarsa 1980-an.
Seratus tiga puluh lima juta penduduk Indonesia,
Terdiri dari banyak suku bangsa itulah Indonesia,
Ada Jawa, ada Batak, ada Sunda dan ada lagi
yang lainnya
Cuplikan lagu yang digubah Rhoma Irama tersebut menggambarkan bagaimana Indonesia ini dihuni oleh berbagai macam kelompok etnik atau lazim disebut suku bangsa, atau kadang suku saja. Selain itu banyak juga lagu-lagu nasional Indonesia menggambarkanakan keanekaagaman suku bangsa dan kekayaan serta keindahan alamnya. Misalnya lagu kebangsaan Indonesia Raya, teksnya menggambarkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia untuk kejayaan Indonesia. Kemudian lagu Rayuan Pulau Kelapa menggambarkan betapa indah dan makmurnya negeri ini. Semua ini menggambarkan betapa mereka memiliki jiwa persatuan dan kesatuan untuk membangun Indoensia yang sejahtera berdasarkan keadilan.
Sementara itu, penyebutan suku-suku bangsa di Indonesia ini ada yang umum saja misalnya suku bangsa Batak, suku bangsa Aceh, suku bangsa Kalimantan, dan seterusnya. Namun di sisi lain, suku-suku bangsa ini bisa juga disebut lebih khusus lagi. Contohnya suku bangsa Aceh terdiri lagi dari suku-suku bangsa: Alas, Gayo, Simeuleu, Aceh Rayeuk, Tamiang, Aneuk Jamee, dan seterusnya. Suku bangsa Batak terdiri dari: Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak Toba, Mandailing, Angkola, dan seterusnya. Selain itu ada pula suku-suku bangsa ini yang setelahberinteraksi selama ratusan tahun membentuk kebudayaan dan kelompok etnik atau suku bangsa sendiri, misalnya etnik Pesisir di Sumatera Utara yang secara keturunan atau garis darah adalah nenek moyangnya berasal dari suku bangsa Batak Toba, Angkola, Mandailing, dan Minangkabau. Mereka menggunakan adat sumando, namun berasaskan sistem garis keturunan dari pihak ayah (patrilineal). Bahasa yang digunakan adalah dekat dengan bahasa Minangkabau. Adat yang dibunakan berdasar kepada konsep adat bersendikan syarak, dan syarak bersendikan kitabullah. Artinya adat berdaarkan kepada agama Islam.
Pengelompokkan suku bangsa atau etnik ini juga sifatnya adalah lentur dan relatif. Misalnya saja, orang-orang suku bangsa apa pun dari Indonesia, seperti Bugis, Makasar, Bawean, Sunda, Minangkabau, Aceh, ketika hijrah ke Malaysia mereka kemudian disebut sebagai suku bangsa atau bangsa Melayu. Dalam hal ini suku bangsa Melayu dapat disetarakan dengan suku bangsa China dan India yang juga bermukim dan menjadi warga negara Malaysia. Apalagi istilah Melayu ini sering juga digunakan sebagai mengidentifikasikan mereka secara ras dan kebudayaan yang dipergunakan. Namun demikian, secara keilmuan marilah kita lihat bagaimana ilmuwan antropologi budaya memandang ras, suku bangsa, wilayah budaya, dan sejenisnya dalam konteks Indonesia dan sekitarnya.
Ras
Dalam ilmu antropologi, ras (race) mendapat perhatian dari para ahlinya. Yang dimaksud dengan ras adalah ciri-ciri umum fisik manusia. Misalnya ras Kaukasoid, bermata biru, berkulit putih, ukuran badan yang relatif besar, dan seterusnya. Ras Mongoloid, berkulit sampai sawo matang, ukuran badannya relatif sedang, berambut hitam lurus, bundaran biji mata hitam, dan seterusnya.
Berasaskan kajian-kajian para pakar ilmu antropologi, ras di dunia ini dibagi ke dalam 10 kelompok. (1) Yang pertama adalah ras Kaukasoid, terdiri dari: Indo-Iranian, Mediteranian, Dinarian, Alpin, Nordik, Baltik, Uralik, dan Armenik. (2) Kedua adalah ras Mongoloid yang terdiri dari: Mongoloid Tenggara (Malayan Mongoloid), Mongoloid Siberia Selatan, Mongoloid Asia Timur (Classic Mongoloid), Mongoloid Asia Utara, Mongoloid Kutub (Arctic Mongoloid, atau disebut juga Classic Mongoloid, bersama dengan Mongoloid Asia Timur minus orang Tionghoa), dan Mongoloid Amerika. (3) selanjutnya ras Negroid yang terdiri atas: Negroid Umum, Nilote, dan Negrito (di Afrika, Andaman, dan Filipina). (4) Ras Australoid yang terdiri dari: Australoid Khusus dan Weddoid. (5) Kelima adalah ras Polynesia. (6) Keenam adalah Ras Melanesia. (7) Yang ketujuh adalah Ras Mikronesia. (8) Kedelapan ras Ainu yang ada di Jepang. (9) Kesembilan adalah ras Dravida di India Selatan, dan (10) adalah ras Bushmen.
Dalam konteks Indonesia atau Asia Tenggara pada umumnya, masyarakatnya memiliki ras Mongoloid Melayu. Namun seiring datangnya migrasi dari China ke wilayah ini ada juga mereka yang memiliki ras Mongoloid Asia Utara dan Timur. Sementara untuk wilayah budaya Papua mereka memiliki ras Melanesoid. Kadang orang-orang Indonesia secara umum disebut rasnya ras Melayu Tua dan Melayu Muda. Di mana istilah ini merujuk keada gelombang migrasi mereka dari daratan Asia Tenggara ke Indonesia. Ras Melayu Tua migrasi lebih dahulu, baru disusul oleh ras Melayu Muda.
Dalam penelitian-penelitian kebudayaan, terjadi penggunaan istilah-istilah yang agak berbeda antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmulainnya. Misalnya dalam ilmu linguistik kelompok ras Mongoloid Melayu dan kelompok as Polinesia sering disatukan, karena secara linguistik mereka memiliki hubungan-hubungan baik dari kosa kata struktur gramatik, semantik, sintaksis dan lainnya. Sehingga mereka disebut keluarga ras Melayu-Polinesia. Dalam ilmu arkeologi pula kelompok ras Mongoloid Melayu dan ras Polinesia, sering disebut dengan kelompok ras Melayu-Austronesia, karena adanya berbagai alur budaya yang sama dalam artifak-artifak yang mereka tinggalkan.
Peta 1.
Persebaran Rumpun Bahasa-bahasa Austronesia
Wilayah Budaya Melayu
Secara antropologis masyarakat ras Mongoloid Melayu Asia Tenggara memiliki sebuah wilayah budaya yang lazim disebut sebagai wilayah budaya Melayu (Malay culture area). Wilayah budaya ini, pada masa sekarang terdiri dari pecahan-pecahan negara bangsa: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Kesatuan budaya ini telah berlaku dalam arti yang sangat luas ditinjau dari ilmu antropologi. Keadaan itu kekal hingga sekarang, walau telah berpecah ke dalam berbagai negara bangsa, berbatasan, dan memiliki kedaulatan nasional sendiri. Kesatuan wilayah budaya ini diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan seluruh bangsa di dunia.
Penelitian bentuk-bentuk kebudayaan (cultural formations) oleh ahli-ahli antraopologi, di wailayah geopolitik Asia Tenggara termasuk Taiwan adalah merupakan satu kesatuan yang dikenal sebagai wilayah kebudayaan Melayu. Hal itu mengingatkan kita kepada kesatuan dan keutuhan wilayah budaya sejak ribuan tahun hingga kini, sebelum dipecahkan oleh negara-negara bangsa. Orang Yunani yang mewakili sudut pandang orang Eropa kuno sejak zaman Claudius Ptolomeus menulis kitab Geografica pada tahun 165 di Iskandariah, yang melihat kawasan ini senagai the golden chersonese (semenanjug atau kepulauan emas). Pengetahuan tentang sumber emas di wilayah ini , diperoleh dari India oleh para ahli dan ilmuwan Yunani kuno.
Sementara itu, bagi ilmuwan dan agamawan India yang banyak mempengaruhi kawasan Melayu ini, dari awal sudah mengenal wilayah kita ini sebagai suvarnabhumi (tanah emas) atau juga javadwipa (pulau Jawa) dan svarnadvipa (pulau Sumatera). Kedatangan para pedagang Arab mengenal kesatuan wilayah ini sebagai Jawi, yang pastinya berlandaskan tanah Jawa. Ilmuwan-ilmuwan China pula mengenal kawasan ini sebagai Nan Yang (Laut Selatan) yang dihuni oleh manusia berkulit hitam atau k’un lun. Di zaman pengembaraan bangsa Eropa ke timur pada abad keenam belas mereka menemukan kesatuan wilayahini sebagai kepulauan Melayu (Malay Archipelago). Sejak akhir-akhir ini masyarakat Asia Tenggara sendiri menyebut wilayahnya sebagai Alam Melayu, Dunia Melayu atau Nusantara (dengan mengingat cita-cita imperialisme Patih Gadjah Mada) akan kesatuan wilayah taklukan Majapahit.
Bukan sekedar persepsi luaran bangsa-bangsa dunia kuno melihat kesatuan wilayah ini, bahkan pelbagai bahan budaya dari sejak zaman prasejarah neolitik telah memperlihatkan kesatuan wilayah berbudaya sama. Sekurang-kurangnya antropologi ragawi (fisik) telah menggolongkan wilayah kelautan Asia Tenggara, khususnya wilayah Melayu sebagai sebahagian dari lanskap buatan manusia Mongoloid Melayu. Secara khusus pula, para ahli linguistik sejarawi menggolongkan manusia Austronesia (Melayu-Polinesia) sebagai pembawa peradaban pertanian ke kawasan ini melalui migrasi utara-selatan. Hall misalnya memberikan beberapa ciri persamaan bagi manusia Austronesia yang menghuni wilayah dari taiwan hingga seluruh Nusantara (termasuk Malaysia, Indonesia, Thailand, serta Vietnam). Bellwood pula menganggap kelompok Austronesia juga yang menaklukkan Lautan Pasifik serta pulau Madagaskar.
Pastilah kebijaksanaan dan jenius lokal manusia Austronesia ini telah membangun sebuah peradaban (sivilisasi) dengan memberi nama dan jati diri mereka kepada seluruh wilayah kelautan Asi tenggara sehingga menjadi satu wilayah budaya yang sama lamanya sebelum muncul pengaruh luar dari India, China atau Barat (Arab, Parsi, dan Eropa). Hall meletakkan ciri seperti shamanisme, animisme, batik, gamelan, perahu, dan kerajinan logam seperti persenjataan sebagai ciri menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Bellwood dan W.G. Solheim melihat segala bentuk kapak batu zaman neolitikum dan tembikar. Jadi lama sebelum terciptanya negara bangsa kesan daripenjajahan dan kolonialisme Eropa ke Dunia Melayu, seluruh wilayah ini adalah satu wilayah yang didiami dan dibangun identitas kebudayaan dan kemanusiaannya bersama oleh orang-orang Austronesia atau Melayu-Polinesia.
Dari kesatuan budaya ini lahir kesatuan kenegaraan yang muncul sejak abad kedua Masehi, hasil dari perkembangan pedesaan dan penempatan di muara-muara serta kuala sungai yang kemudian menerima sekian banyak pengaruh budaya luar, terutama India, hingga membangun negara adalah petanda kepada wujudnya peradaban tinggi yang memerlukan organisasi besar dan luas bagi penguasaan total dan tuntas terhadap alam yang ditempatinya. Kesatuan ini diperteguh pula oleh kesamaan akar bahasa yang terdiri dari banyak jenis dalam satu rumpun besar yang dikenal sebagai rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia. Pada masa sekarang wilayah budaya Melayu yang luas ini didukung oleh sub-sub suku bangsa yang tergabung dalam ras Melayu-Polinesia. Untuk itu perlu dikaji sejauh apa keberadaan suku bangsa (kelompok etnik) yang ada di Alam Melayu ini.
Konsep Suku Bangsa atau Kelompok Etnik
Dalam buku-buku antropologi (misalnya Narroll 1964), kelompok etnik atau suku bangsa didefinisikan sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa. Asumsiini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesmpuln bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menhasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri.
Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai satu komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari ke hari di dalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur‑unsur yang berbeda mencolok dengan kebudayaan miliknya sendiri.
Corak khas sebuah kebudayaan dapat tampil karena kebudayaan itu menghasilkan satu unsur kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus. Atau karena di antara pranata‑pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus. Dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang khas. Sebaliknya, corak khas dapat disebabkan karena adanya kompleks unsur‑unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan yang lain.
Pokok perhatian dari suatu deskripsi etnografi adalah kebudayaan‑kebudayaan dengan corak khas seperti itu. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah "suku bangsa,” atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Koentjaraningrat (1990) menganjurkan untuk memakai istilah “suku bangsa" saja, karena istilah kelompok di dalam hal ini kurang cocok. Sifat kesatuan dari suatu suku bangsa bukan sifat kesatuan "kelompok," melainkan sifat kesatuan "golongan."
Konsep yang tercakup dalam istilah "suku bangsa" adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan "kesatuan kebudayaan", sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan demikian "kesatuan kebudayaan" bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, misalnya oleh seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, dengan metode‑metode analisis ilmiah, tetapi oleh warga kebudayaan itu sendiri. Dengan dernikian, misalnya kebudayaan Minangkabau merupakan suatu kesatuan, bukan karena ada peneliti‑peneliti yang secara etnografi telah menentukan bahwa kebudayaan Minangkabau itu suatu kebudayaan tersendiri yang berbeda dari kebudayaan Jawa, Makasar, atau Bali--tetapi karena orang‑orang Minangkabau sendiri sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman budaya, yaitu budaya Minangkabau yang mempunyai kepribadian dan jati diri khusus. Berbeda dengan budaya-budaya etnik lainnya dalam wilayah Indonesia. Apalagi bahasa Minangkabau berbeda dengan bahasa Jawa atau Bali, maka akan lebih mempertinggi kesadaran akan kepribadian khusus tadi.
Dalam kenyataan, konsep "suku bangsa" lebih kompleks daripada apa yang terurai di atas. Ini disebabkan karena dalarn kenyataan, batas kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu, dapat meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan. Misalnya, penduduk natif Sumatera Utara yang terdiri dari orang Karo, Simalungun, Toba, Pakpak-Dairi, Nias, Melayu, Pesisir, Lubu, Siladang, dan lainnya. Kepribadian khas dari setiap suku bangsa ini dikuatkan olehbahasa-bahasa suku bangsa yang khusus. Walaupun demikian, kalau orang Sumatera Utara berada di Jakarta, yang menyebabkan mereka harus berhadapan dengan kelompok lain dalam konteks kekejaman perjuangan hidup di skota besar, maka mereka akan merasa bersatu sebagai Putra Sumatera Utara (atau yang dikonsepkan sebagai anak Medan), dan tidak sebagai orang Karo, Simalungun, Toba, Pakpak-Dairi, Nias, Melayu, Pesisir, Lubu, dan Siladang.
Deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah karangan etnografi.[1] Namun karena ada suku bangsa yang besar sekali, yang terdiri dari berjutajuta penduduk (seperti suku bangsa Jawa), maka ahli antropologi yang mengarang sebuah etnografi sudah tentu tak dapat mencakup keseluruhan hal etnografis suku bangsa besar itu dalam deskripsinya. Maka biasanya ia hanya melukiskan sebagian dari kebudayaan suku bangsa itu. Etnografi tentang kebudayaan Jawa misalnya hanya akan terbatas kepada kebudayaan Jawa dalarn suatu desa atau beberapa desa tertentu. Atau kebudayaan Jawa dalarn suatu daerah dialek dan sosiolek Jawa yang tertentu (Pesisiran, Kasultanan, atau Kasunanan), kebudayaan Jawa dalam suatu kabupaten tertentu, kebudayaan Jawa di pegunungan atau kebudayaan Jawa di pantai, atau kebudayaan Jawa dalam suatu lapisan sosial tertentu.
Selain mengenai besar‑kecilnya jumlah penduduk dalarn kesatuan masyarakat suku bangsa, seorang ilmuwan antropologi tentu juga menghadapi soal perbedaan asas dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalarn kaitan ini, para ilmuwan antropologi, sebaiknya membedakan kesatuan masyarakat suku‑suku bangsa di dunia berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup enarn macarn: (1) masyarakat pemburu dan peramu, atau hunting and gathering societies; (2) masyarakat peternak atau pastoral societies; (3) masyarakat peladang atau societies of shifting cultivators; (4) masyarakat nelayan, atau fishing communities, (5) masyarakat petani pedesaan, atau peasant communities; dan (6) masyarakat perkotaan yang kompleks, atau complex urban societies.
Pembatasan deskripsi tentang suatu kebudayaan suku bangsa dalam sebuah karya etnografi, memerlukan metode dalam menentukan asas‑asas pembatasan. Selain itu dibicarakan bagaimana unsur‑unsur dalam kebudayaan sesuatu suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur‑unsur sejenis dalam kebudayaan suku‑suku bangsa lain. Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan lain. Untuk itu perlu suatu konsep yang mencakup persamaan unsur‑unsur kebudayaan antara suku‑suku bangsa menjadi kesatuan‑kesatuan yang lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep "daerah kebudayaan" atau culture area.
Konsep Daerah Kebudayaan
Sebuah "daerah kebudayaan" atau culture area merupakan penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku‑suku bangsa yang dalam masing‑masing kebudayaannya yang beraneka warna. Namun mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Suatu sistem penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang mengkelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau benua besar, ke dalam golongan‑golongan berdasarkan atas beberapa persarnaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalarn rangka penelitian analisis atau penelitian komparatif terhadap suku‑suku bangsa di daerah atau benua tertentu.
Saran‑saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari seorang pelopor ilmu antropologi Amerika, Frans Boas. Namun demikian, para pengarang tentang kebudayaan masyarakat suku‑suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika abad ke‑19 telah mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan daerah‑daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang. Walaupun benih‑benih untuk sistern klasifikasi culture area itu sudah lama ada pada para pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas, bernama C. Wissler, adalah yang membuat konsep itu populer, terutama karena bukunya The American Indian (1920). Dalam karya ini Wissler membicarakan berbagai kebudayaan suku bangsa Indian Amerika Utara dalam sembilan buah culture area.
Suatu daerah kebudayaan terbentuk berdasarkan atas persamaan dengan sejumlah ciri mencolok dalam kebudayaan‑kebudayaan yang membentuknya. Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik saja, seperti alat‑alat berburu, alat‑alat bertani, alat‑alat transpor, senjata, bentuk‑bentuk ornamen perhiasan, bentuk‑bentuk dan gaya pakaian, bentuk‑bentuk tempat kediaman, alat-alat musik, propeti tari dan teater, dan sebagainya, tetapi juga unsur‑unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya, seperti unsur‑unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian, upacara‑upacara keagamaan, cara berpikir, filsafat, adat‑istiadat, dan lainnya. Ciri‑ciri mencolok yang sama dalam berbagai kebudayaan menjadi alasan untuk klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat dari suatu culture area itu menunjukkan persamaan‑persamaan besar dari unsur‑unsur alasan tadi. Semakin kita menjauh dari pusat, makin berkurang pula jumlah unsur‑unsur yang sama, dan akhirnya persamaan itu tidak ada lagi, sehingga pengkaji masuk ke dalarn culture area tetangga. Dengan demikian, garis‑garis yang membatasi dua culture area itu tidak pernah terang, karena pada daerah perbatasan itu unsur‑unsur dari kedua culture area itu selalu tampak tercampur.
Sifat kurang eksak dari metode klasifikasi culture area tadi telah menimbulkan banyak kritik dari kalangan ilmuwan antropologi sendiri. Kelemahan‑kelemahan metode ini memang telah lama dirasakan oleh para sarjana, dan suatu verifikasi yang lebih mendalam rupa‑rupanya tidak akan mempertajam batas‑batas dari culture area, tetapi malah akan mengaburkannya. Walau demikian, metode klasifikasi diterapkan oleh para sarjana lain terhadap tempat‑tempat lain di muka bumi, dan masih banyak dipakai sampai sekarang karena pernbagian ke dalarn culture area itu memudahkan gambaran keseluruhan dalam hal menghadapi suatu daerah luas dengan banyak aneka warna kebudayaan di dalamnya. Daerah kebudayaan ini boleh saja luas atau boleh juga lebih sempit. Contoh daerah kebudayaan Alam Melayu, mencakup Taiwan, Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, Kamboja, Filipina, Madagaskar, dan Polinesia. Daerah kebudayaan Dunia Melayu ini boleh diperkecil lagi menjadi daerah kebudayaan Kalimantan, daerah kebudayaan Pattani dan Kelantan, daerah kebudayaan Minangkabau (Sumatera dan Negeri Sembilan), dan seterusnya. Kemudian perlu dideskripsikan tentang keberadaan suku bangsa di Indonesia.
Berbagai Suku Bangsa (Etnik) di Indonesia
Menurut Koentjaraningrat (1990:300) seorang ilmuwan antropologi Indonesia sudah tentu tidak dapat mengikuti syarat-syarat kenvensional yang lazim diterima dalam disiplin ini. Seorang ilmuwan antropologi Indonesia wajib mengenal bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan di wilayah Indonesia, di mana ia berada dan sebagai warganya. Wilayah Indonesia ini meliputi Papua. Mengapa demikan? Dalam ilmu antropologi Papua wilayah Indonesia dan Papua Niugini digolongkan menjadi satu dengan kebudayaan-kebudayaan penduduk Melanesia. Dipelajari secara mendalam oleh para ahli antropologi dengan kekhususan atau kejuruan Melanesia atau Oseania. Selain memfokuskan kajian terhadap wilayah Indonesia, seorang ilmuwan antropologi Indonesia wajib pula mengetahui dengan mendalam menegnai berbagai masyarakat dan kebudayaan di wilayah negara tetangga, yaitu: Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, dan kawasan Asia Tenggara lainnya.
Sampai sekarang ini, klasifikasi terhadap aneka warna suku bangsa di wilayah Indonesia, masihberdasarkan kepada sistem lingkaran-lingkaran hukum adat yang awalnya disusun oleh seorang ilmuwan pakar hukum adat Belanda Van Vollenhoven. Menurutnya lingkaran hukum adat di Indonesia terdiri dari 19 kawasan, seperti pada Peta 2 dan keterangannya berikut ini.
Dari peta 2 dapat terlihat bahwa, setiap pulau besar di Indonesia, terdiri dari berbagai lingakaran hukum adat sekali gus suku bangsa, yang didukung oleh pulau-pulau kecil di sekitarnya. Di pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, terdapat suku bangsa: Aceh, Gayo-Alas-Batak, Nias dan Batu, Minangkabau, Mentawai, Enggano, Melayu, serta Bangka dan Biliton. Di pulau Jawa dan pulau-pulau sekitarnya terdapat suku bangsa Jawa (Tengah, Timur, Surakarta, Yogyakarta), dan Jawa Barat. Sementara Kalimantan hanya terdiri dari suku bangsa Kalimantan saja. Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya terdiri dari: Sangir-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, Ternate, Ambon Maluku, dan Kepulauan barat Daya. Kemudian disusul oleh suku bangsa dalam lingkaran hukum adat Bali dan Lombok. Papua yang begitu besar pun hanya terdrii dari satu lingkaran hukum adat atau suku bangsa Papua (Irian). Kemudian Nusa Timur didiami suku bangsa Timor yang sama etnisitasnya dengan orang di negara Timor Loro Sae sekarang ini.
Mengenai lokasi suku-suku bangsa di Indonesia yang masih berdasar kepada peta bahasa karya J. Esser, mesti diperhatikan bahwa terutama utuk daerah-daerah seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur, bahkan untuk beberapa bagian Sumatera, masih menyisakan berbagai keragu-raguan. Biasanya dalam konteks penelitian antropologi tentang lokasi suku bangsa di Indonesia selalu terjadi perbedaan pendapat antara para ahlinya. Demikian sekilas tentang keberadaan suku bangsa di Indonesia, yang mendukung keberadaan kesenian-kesenian yang begitu kaya dan eksotik dari Sabang sampai ke Merauke.
Peta 2.Lingkaran-lingkaran Hukum Adat di Indonesia
[1]Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlahrelatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Melayu Desa Batang Kuis, atau lebih besar sedikit masyarakat Melayu Kabupaten Serdang Bedagai, atau masyarakat Melayu Labuhan Batu, dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi berbeda denganetnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia.
Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian
Barth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan. (Penerjemah Nining E. Soesilo). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, UI-Press.
Barth, Fredrik, 1964. “Ethnic Processes on the Pathan-Baluch Boundary, “ dalam G. Redard (ed.), Indo Iranica. Wiesbaden.
Cooper, J.M. , 1925. “Culture Diffussion and Culture Areas in Southern South America.” Congress International des Americanists ke-21.
Herskovits, J.M., 1925. “A Preliminary Consideration of the Culture Areas of Africa.” American Anthropologist, XXVI.
Koentjaraningrat, 1969. Atlas Etnografi Sedunia. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Koentjaraningrat, 1970. Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat. Jakarta: Seri Monografi, LIPI Nomor 1/4.
Kroeber, A.L., 1947. “Culture Grouping in Asia.” Southwestern Journal of Anthropology, III.
Le Bar, F.M. (editor) , 1972. Ethnic Groups of Insular Southeast Asia. New Haven, Human Relations Area Files. Jilid I : Indonesia, Andaman Islands, Madagascar; Jilid II : Philippines.
Mandelbaum, D.G. 1955. “The study of Complex Civilizations.” Yearbook of Anthropology. W.L. Thomas editor, Chicago, Wenner Gren Foundation for Anthropological Research.
Tolstov S.P. (ed.), 1954-57. Narody Mira. Izdatel’svto. Akademii Nauli SSSR. Jilid I – VIII.
Ter Haar, B., 1948. Adat Law in Indonesia. New Yor: Institute of Pacific Relations.
Vayda, A.P., 1968. People and Cultures of the Pacific: An Anthropological Reader. New York: The Natural History ress.